Anomali HBA vs Demand Coal
Lanjutan dari diskusi sebelumnya di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Langkah pemerintah menaikkan Harga Batubara Acuan (HBA) Indonesia menjadi US$107,35 per ton untuk batubara kalori tinggi di Juli 2025 bisa dibilang langkah berani, atau kalau mau jujur agak nekat, di tengah situasi pasar global yang sedang serba menurun. Menaikkan harga acuan saat ekspor turun, buyer berkurang, dan harga global sedang longgar, ibarat orang jualan nasi goreng harga naik padahal pelanggan udah mulai pindah makan mi instan. Apakah ini strategi jitu atau justru blunder kebijakan? Jawabannya ada di data. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau kita buka data ekspor batubara Indonesia dari Badan Pusat Statistik (BPS), selama Januari sampai Mei 2025, nilai ekspor anjlok 19,1% YoY. Dari US$12,68 miliar di 2024 jadi tinggal US$10,26 miliar di 2025. Bukan itu saja, volume ekspornya juga turun 4,65%, dari 164 juta ton jadi 156,37 juta ton. Lalu, harga rata-rata jual? Turun juga, dari US$77,42 per ton ke US$65,66 per ton, alias turun 15,19%. Artinya, yang kita ekspor makin sedikit, harganya makin murah, dan nilai totalnya makin jeblok. Jadi ketika HBA dinaikkan, itu seperti menaikkan tarif parkir di mal yang sepi. Terlihat tegas, tapi berisiko mengusir yang masih mau datang.
Kalau kita zoom in ke bulan Mei 2025, nilainya cuma US$1,94 miliar, alias turun 25,32% YoY. Dan penurunan ini bukan karena force majeure atau bencana alam. Penyebabnya struktural. China sebagai buyer utama lagi-lagi ngurangin impor batubara dari Indonesia karena mereka lebih suka batubara dalam negeri yang murah dan dekat. Produksi domestik China naik 4% di Mei 2025 dan mereka sedang mempercepat transisi ke energi bersih. India juga sama. Mereka sekarang lebih banyak pakai batubara lokal. Impor dari Indonesia malah turun 15% karena harga kita sudah nggak kompetitif lagi dibanding Rusia dan Afrika Selatan.
Sementara itu, harga batubara acuan global seperti Newcastle juga ikut longsor, turun lebih dari 15% YoY. Rusia jual batubara ke India di harga diskon US$68–73 per ton, bahkan ada yang lebih rendah. Australia juga mulai agresif main di Asia Tenggara. Jadi buyer punya banyak pilihan. Dan batubara kita yang mayoritas kalori rendah sekitar 4.200 kcal per kg makin sulit bersaing karena buyer sekarang lebih tertarik sama batubara high CV yang lebih efisien secara energi. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Di tengah kondisi kayak begini, pemerintah justru menaikkan HBA. Kenapa?
Pertama, ada permintaan sesaat dari China dan India buat stok musim panas yang sempat bikin harga batubara high CV rebound.
Kedua, sejak Maret 2025 ada aturan baru dari pemerintah lewat Kepmen ESDM No. 72 per 2025 yang mewajibkan semua ekspor batubara mengacu ke HBA, nggak boleh lebih murah. Tujuannya mulia, supaya negara dapat royalti lebih tinggi dan eksportir nggak jual batubaranya terlalu murah ke buyer luar.
Ketiga, program makan siang gratis, program bansos, program Koperasi Merah Putih, gaji menteri dan wakil menteri dan staf ahli semuanya butuh anggaran besar sehingga setoran royalti harus dikejar.
Tapi yang jadi masalah adalah HBA ini cenderung lebih tinggi dari harga pasar spot, apalagi untuk batubara low CV. Akibatnya, banyak kontrak dievaluasi ulang. Buyer dari China mulai minta negosiasi ulang atau mundur pelan-pelan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Yang lebih miris, harga batubara kita di pasar spot untuk 4.200 kcal per kg sekarang cuma sekitar US$46,20 per ton, jauh dari HBA yang US$107,35 per ton untuk high CV. Gap harga ini makin bikin buyer ogah ngelirik RI. Di pasar global, pembeli bukan cuma lihat harga acuan. Mereka lihat harga real di pelabuhan, ongkos angkut, kualitas batubara, dan kemudahan kontrak. Dan Indonesia dengan kualitas batubara low CV, logistik yang masih rumit, plus sekarang harga acuan yang tinggi, jadi makin kehilangan daya saing.
Jadi apakah langkah menaikkan HBA ini bijak?
Kalau kita pakai kacamata penerimaan negara jangka pendek, mungkin ini bisa dimaklumi. Negara ingin jaga pendapatan dari royalti dan PNBP. Tapi kalau pakai kacamata eksportir dan pelaku industri, ini langkah yang bikin sesak napas. Buyer makin menjauh, volume ekspor makin turun, dan daya saing makin melemah. Apalagi kita udah lihat datanya. Selama Januari sampai Mei 2025, volume ekspor turun, nilai turun, dan harga rata-rata juga ikut turun. Anggaran bayar gaji staf ahli dan wakil menteri butuh banyak uang, apalagi koperasi merah putih 3 Miliar x 80.000 desa.
Yang diharapkan sebenarnya sederhana. Pemerintah ingin eksportir tidak banting harga, pembeli tetap beli, dan negara tetap dapat bagiannya. Tapi yang tidak diharapkan justru sedang terjadi. Buyer merasa harga terlalu tinggi, negosiasi mandek, dan volume ekspor makin drop. Bahkan China yang biasanya ramai borong saat Imlek, tahun ini adem ayem saja. Mereka cukup dengan stok lokal. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lalu buat investor saham batubara, situasinya serba tanggung. Kalau masih optimis, hal-hal yang perlu dicek antara lain:
1. Apakah perusahaan itu punya cadangan batubara high CV yang lebih laku di pasar sekarang?
2. Apakah mereka punya kontrak jangka panjang dengan China, India, atau Vietnam yang sudah aman secara volume?
3. Apakah mereka punya CFO yang tetap positif walau harga jual turun?
4. Dan apakah mereka bisa menjaga margin EBITDA atau net margin di atas 20% walau kondisi harga lagi tidak bersahabat?
Tapi kalau sudah mulai pesimis, yang biasanya jadi lampu merah adalah penurunan drastis volume ekspor per kuartal. Buyer utama mundur atau renegosiasi. Laporan keuangan menunjukkan CFO mulai ketat, dan arus kas investasi tetap tinggi. Sahamnya stagnan padahal komoditas lain kayak CPO malah naik. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Buat yang sudah nyangkut di saham coal, penting untuk bedakan apakah nyangkut karena valuasi murah tapi fundamental bagus, atau nyangkut karena fundamental sudah mulai keropos. Kalau kamu masih yakin, indikatornya harus kuat. Misalnya harga jual masih di atas HPP, ekspor ke India stabil, dan kontrak jangka panjang jalan terus. Tapi kalau data-data itu sudah nggak ada, mungkin saatnya realistis.
Sekarang kalau kita lihat ke depan, tren jangka menengahnya jelas. China akan mencapai puncak konsumsi batubara antara 2027 sampai 2028, lalu melandai. Dunia makin mendorong transisi energi. Permintaan batubara global akan tetap ada, tapi tidak akan tumbuh agresif seperti dekade lalu. Jadi andai HBA kita terus dipaksa tinggi, dan kita tidak mampu menyesuaikan kualitas batubara atau membuka pasar baru, maka kita hanya akan jadi penonton dalam peta energi dunia yang berubah cepat.
Dan inilah ironi sesungguhnya. Kita punya komoditas, punya volume, tapi kalau buyer ogah beli karena harga kita terlalu ngotot, maka semua itu cuma akan menumpuk di pelabuhan. Atau lebih buruk, tak digali sama sekali. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Semoga ada harapan untuk Coal bangkit lagi.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$AADI $ADRO $PTBA
1/10