imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

ZERO SUM

Kalau sebuah aset tidak menciptakan arus kas, tidak tumbuh nilainya secara mandiri, dan satu-satunya cara untung adalah menjualnya ke orang lain di harga lebih tinggi, maka secara ekonomi itu disebut non-produktif. Dan selama sistemnya bergantung pada perpindahan harga antar pemain tanpa surplus baru, maka itu bersifat zero-sum. Untungmu berasal dari potensi rugi orang lain.

Sekarang, mari kita turunkan bahasanya sedikit. Kita sering terlalu semangat bertanya, “Naik gak harganya?” padahal yang jauh lebih penting adalah, “Naik karena apa?” Sama seperti hubungan. Kalau seseorang tiba-tiba baik banget, jangan langsung GR. Bisa jadi bukan cinta, tapi tagihan cicilan. Dalam dunia aset, banyak orang menganggap asal harga naik, berarti mereka makin kaya. Padahal bisa jadi mereka hanya pegang barang yang nilainya tidak bertambah, dan berharap ada orang lain yang lebih semangat beli nanti.

Aset non-produktif itu bukan berarti tidak bermanfaat. Piring berguna. Pacul membantu kerja. Genteng melindungi rumah. Smart contract memungkinkan transaksi otomatis. Bahkan pahala, dalam konteks spiritual, punya tempatnya sendiri. Tapi secara ekonomi, semua ini tidak menciptakan nilai selama hanya disimpan. Tidak ada dividen, tidak ada bunga, tidak ada output. Kalau kamu ingin dapat uang dari aset semacam ini, kamu harus menjualnya ke orang lain. Atau menggadaikannya, yang artinya kamu menyerahkan hak pakai demi likuiditas.

Berbeda dengan aset produktif, seperti saham perusahaan yang mencetak laba, properti yang disewakan, atau kebun yang menghasilkan panen. Aset-aset ini bekerja bahkan ketika kamu diam. Ada proses ekonomi nyata yang terjadi. Ada surplus yang diciptakan. Kamu tidak perlu mengandalkan orang lain untuk beli lebih mahal agar kamu untung. Kamu hanya perlu duduk, dan biarkan asetnya bekerja.

Tentu, aset non-produktif bisa naik harganya. Bahkan kadang lebih cepat dan lebih tinggi. Tapi pertanyaannya tetap: dari mana nilainya berasal? Kalau jawabannya adalah “karena makin banyak yang percaya,” maka itu bukan nilai, tapi keyakinan kolektif. Dan sistem seperti ini hanya bisa bertahan selama masih ada orang baru yang bersedia masuk. Saat tidak ada lagi yang beli, harga jatuh. Dan kamu sadar, piring ya tetap piring, token ya tetap barisan angka di blockchain.

Masalahnya, makin besar euforianya, makin absurd narasinya. Token disebut sebagai masa depan sistem keuangan. Smart contract disebut sebagai revolusi ekonomi umat. Kadang bahkan dibumbui istilah seperti “syariah” dan “pahala jariyah” seolah bisa menutup kenyataan bahwa tidak ada aliran uang yang benar-benar diciptakan. Semua hanya berpindah tangan.

Ini bukan soal boleh beli atau tidak. Silakan beli token, NFT, bahkan genteng digital. Tapi kalau kamu tidak bisa menjelaskan dari mana aset itu menghasilkan nilai, maka kamu hanya sedang ikut permainan tebak-tebakan. Boleh berharap untung, tapi jangan sebut itu investasi produktif.

Dan pada akhirnya, meski pahala bisa jadi datang, kalau arus kas tidak ada, maka dalam kerangka ekonomi, kamu tetap sedang menyimpan sesuatu yang diam. Bukan karena kamu sabar, tapi karena barang itu memang tidak bekerja.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy