Masalah Sekuritas dan Broker di Indonesia: Predatory UI/UX yang Menipu Nasabah Dalam Menggunakan Margin dan Trading Limit Tanpa Sadar Sehingga Akhirnya Nasabahnya Loss Doll Miskin Mendadak
Request salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Sebenarnya saya enggan bahas masalah ini karena dulu pernah saya bahas tentang kasus portofolio nasabah salah satu sekuritas yang tiba-tiba berubah dari saham bluechip ke saham gorengan, padahal nasabah tersebut tidak pernah belanja saham aneh-aneh. Tapi saat kasus itu saya angkat, saya malah dituduh melakukan black campaign. Bahkan nasabah yang awalnya mengadu dan minta bantuan, tiba-tiba berubah sikap dan minta semua postingan tentang kasus dia di-take down. Sejak saat itu saya malas sebenarnya bahas kasus-kasus nasabah di sekuritas lain, karena seringkali yang berusaha bantu justru diposisikan sebagai pihak yang bikin gaduh. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Namun karena ada beberapa user Stockbit yang meminta saya untuk bahas kasus ini, saya akhirnya memutuskan untuk buka suara lagi.
Di salah satu sekuritas, ada kejadian yang entah karena faktor desain antarmuka atau User Interface/User Experience (UI/UX) yang membingungkan, kelalaian dari sisi pengguna, atau bahkan kemungkinan bug teknis, hasil akhirnya benar-benar mengejutkan. Nasabah merasa hanya ingin beli saham senilai Rp1 juta, $BBTN tepatnya. Tapi yang muncul di portofolionya adalah pembelian 16.541 lot senilai Rp1,8 miliar, dan yang lebih parah, transaksi itu sudah matched menggunakan dana margin alias trade limit. Yang bikin makin janggal, si nasabah mengaku tidak pernah melihat pop-up konfirmasi pemakaian dana limit. Bahkan dia sempat minta bukti back-end log dari sistem, tapi tidak diberikan. Sebaliknya, justru diminta untuk coba ulangi transaksi pakai margin demi membuktikan bahwa pop-up konfirmasi muncul. Ini investasi, bukan eksperimen usability testing.
Akibat kejadian itu, dia ditagih Rp1,8 miliar, dikenakan denda keterlambatan belasan juta, akunnya dibekukan, tidak bisa melihat portofolionya sendiri, Relationship Manager-nya tidak bisa dihubungi, dan janji kompensasi juga tidak ditepati. Semua respons terkesan formalitas dan defensif, bukan penyelesaian substantif. Padahal kalau sistem memang berjalan sesuai SOP, cukup tunjukkan saja siapa klik apa, kapan, di device mana, dan pop-up apa yang muncul. Simple. Tapi kalau itu pun tidak bisa diberikan, maka yang muncul bukan kejelasan, melainkan kecurigaan sistemik. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Yang lebih menakutkan, ini bukan kasus tunggal. Ada banyak testimoni serupa yang menyebutkan bahwa sistem secara default langsung menggunakan margin bahkan tanpa peringatan eksplisit. Bahkan ada yang mengaku RDN-nya cuma Rp3 juta, tapi bisa beli saham senilai Rp78 juta. Artinya, ada leverage 26x yang aktif begitu saja. Sudah tidak kalah dengan platform forex. Bedanya, trader forex biasanya sadar kalau mereka pakai leverage. Di sini, investor pemula bahkan tidak tahu sedang bermain margin. Itu yang membuatnya berbahaya.
Di dunia UI/UX, ini dikenal sebagai predatory interface atau dark pattern, sebuah desain sistematis yang sengaja dibuat untuk mempengaruhi, membingungkan, atau mendorong user ke keputusan yang tidak sepenuhnya sadar. Dan praktik seperti ini bukan cuma teori, tapi sudah terbukti nyata di berbagai negara maju.
Beberapa kasus global yang sudah tercatat:
1. Robinhood (AS) didenda $70 juta oleh FINRA karena gamifikasi dan akses margin yang terlalu mudah, menyebabkan pengguna salah paham hingga ada kasus bunuh diri karena shock dengan saldo minus akibat margin.
2. Revolut (Eropa) ditegur karena membuka akses ke derivatif berisiko tinggi lewat UI yang tidak menjelaskan potensi rugi besar. User mengira beli produk biasa, ternyata beli turbo option.
3. Amazon, disidik oleh FTC dan Komisi Eropa karena tombol berlangganan Prime terlalu dominan, sementara tombol keluar tersembunyi.
4. Booking dot com dan Ryanair, ditegur karena menyembunyikan biaya tambahan dan menggunakan kalimat manipulatif seperti tinggal 1 kamar lagi padahal itu tipu - tipu dan tidak berbasis data.
5. Meta/Facebook, didenda €390 juta karena desain UI yang menyulitkan user untuk menolak iklan personalisasi, membuat default setting bekerja melawan pilihan sadar pengguna.
Semua contoh di atas adalah sinyal bahwa UI/UX bisa menjadi instrumen manipulatif yang merugikan publik kalau tidak diawasi. Dan ketika praktik seperti itu merambah ke sektor pasar modal, yang notabene menyimpan uang jutaan rakyat investor pemula, maka kerusakannya bisa lebih parah daripada sekadar rugi sekali transaksi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di titik ini, peran Bursa Efek Indonesia sebagai SRO (Self Regulatory Organization) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator menjadi sangat krusial. Kalau BEI dan OJK tidak segera mengatur secara tegas standar UI/UX untuk aplikasi sekuritas, terutama terkait fitur margin, leverage, order confirmation, dan proteksi pemula, maka ke depan akan makin banyak sekuritas yang berlomba-lomba bikin UI yang secara default menjebak user. Tujuannya bukan lagi edukasi investor, tapi mempercepat turnover dan fee lewat volume transaksi spekulatif.
Dan kalau tren ini dibiarkan, kita akan menghadapi masalah jauh lebih besar, kepercayaan investor ritel akan hancur. Mereka akan merasa pasar modal bukan tempat untuk membangun kekayaan jangka panjang, tapi arena jebakan digital yang menyamar jadi edukasi keuangan. Ujungnya, mereka tidak akan kembali. Dan ketika partisipasi publik merosot, maka kita kehilangan satu generasi investor potensial, bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka dikhianati oleh sistem.
Saya tidak mau menuduh siapa-siapa. Tapi fakta-fakta yang ada menunjukkan pola yang sangat serius. Ini bukan sekadar insiden teknis atau salah input. Ini adalah konsekuensi dari desain sistem yang dibangun tanpa prinsip perlindungan, tanpa empati, dan tanpa tanggung jawab. Kalau dibiarkan, ini bukan cuma merugikan satu-dua investor. Ini merusak kepercayaan ritel terhadap pasar modal itu sendiri.
Kalau kasus seperti ini dibiarkan menguap tanpa investigasi terbuka, tanpa audit sistem oleh regulator, dan tanpa sanksi yang setimpal, maka pesan yang tersisa untuk investor ritel cuma satu, kalau kamu kalah, itu salahmu sendiri. Karena sistem tidak akan pernah berpihak ke kamu.
Di negara yang matang secara hukum, ini sudah masuk ranah class action, reformasi regulasi, dan intervensi parlemen. Tapi ini Indonesia. Dan di sini, semua masih bisa diatur. Dan itu justru yang paling menyedihkan.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$CDIA $BBRI
1/8