imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Cerita Inspiratif "Pria Tua dan Pelayan Restoran" (fiksi )


Hari itu langit kota sedikit berawan, angin bertiup pelan menyusuri jalan-jalan besar yang sibuk. Di antara riuh kendaraan dan pejalan kaki, tampak seorang kakek berjalan tertatih menuju sebuah rumah makan mewah di pusat kota.

Namanya Pak Darso. Usianya hampir delapan puluh, tubuhnya kurus, pakaiannya bersih meski tampak sederhana.

Di tangannya ada topi usang, dan di sakunya bergemerincing uang receh.

Pak Darso melongok pelan ke dalam rumah makan besar itu. Beberapa tamu tampak makan dengan nikmat di kursi empuk, sementara pelayan-pelayan berpakaian rapi sibuk ke sana kemari.

Dengan langkah mantap, Pak Darso masuk dan duduk di salah satu meja kosong dekat jendela. Tak lama kemudian, seorang pelayan muda nan cantik menghampirinya sambil membawa buku menu.

Gadis itu menatap kakek tersebut dari ujung kaki sampai kepala. Terlihat olehnya, sang kakek memakai sandal jepit yang sudah menipis, bahkan kiri dan kanan warnanya berbeda.

"Selamat siang, Pak. Mau pesan apa?" ucapnya sambil tersenyum kecil, namun nada suaranya terdengar agak ragu.

Pak Darso membuka menu perlahan dan membaca harga-harga yang tertera. Matanya lalu menatap pelayan itu, “Nak, berapa harga nasi ayam lengkap dengan lalapan, sambal dan minumannya?” tanyanya ramah.

“Delapan puluh lima ribu, Pak,” jawab pelayan itu cepat, lalu menambahkan, “Kalau hanya nasi dan ayamnya saja, enam puluh ribu.”

Pak Darso mengangguk pelan. Tangannya masuk ke dalam saku dan mengeluarkan beberapa receh serta uang lembaran kecil. Ia menghitung dengan cermat di atas meja.

“Kalau nasi dengan ikan dan es jeruk tanpa lalapan, berapa, ya?” tanyanya lagi.

Pelayan itu mulai menunjukkan ekspresi tak sabar. “Ya... kira-kira lima puluh ribuan lah, Pak.”
“Kalau hanya setengah porsi dengan ayam?” tanya Pak Darso lembut.

Dengan nada sedikit kesal, pelayan menjawab, “Empat puluh ribu, Pak.”
“Baiklah. Saya pesan itu saja. Terima kasih, ya, Nak,” ujar Pak Darso sambil tersenyum.

Pelayan itu kembali ke dapur dan bergumam pelan, “Ngapain sih orang kayak gitu makan di sini? Ribet amat cuma buat satu piring nasi ayam.” Ia menyerahkan catatan pesanan dengan malas.

Tak lama kemudian, pesanan datang. Tapi, pelayan itu membawa sepiring penuh ayam goreng dan memilih yang paling kecil, lalu mengambilnya dengan garpu dan menaruhnya di atas nasi, padahal itu bukan prosedur yang biasa ia lakukan jika pada pelanggan yang terlihat kaya.

Meski diperlukan demikian, Pak Darso menyambutnya dengan senyum hangat. Ia mengangguk hormat pada pelayan dan berkata, “Terima kasih, Nak. Sudah repot-repot.”

Ia makan perlahan, penuh rasa syukur. Matanya sesekali memandang keluar jendela, lalu kembali menikmati tiap suapan nasi ayam itu seolah sedang merayakan sesuatu.

Setelah selesai, Pak Darso menyusun rapi piringnya dan berdiri. Ia merogoh sakunya, lalu mengambil beberapa receh dan uang lembaran. Ia menghitung dengan tenang dan meletakkan empat puluh ribu di atas meja.

Pelayan itu datang membawa nota pembayaran, namun sebelum sempat bicara, Pak Darso mengeluarkan dompet kulit tua, ia keluarkan selembar uang seratus ribu dari dalamnya.
“Dan ini untuk kamu, sebagai tip”
katanya sambil tersenyum, “Terima kasih sudah melayaniku.”

Pelayan itu terkejut. “Lho, Pak… tapi tadi Bapak… saya kira”

“Tidak apa-apa. Kadang orang datang tidak untuk menguji rasa, tapi menguji sikap, juga memberikan rezeki.” kata Pak Darso pelan.
Pelayan itu bengong, terpaku di tempatnya.
Pak Darso kemudian melangkah ke pintu keluar.

Saat ia hampir melewati ambang pintu, tiba-tiba terdengar suara berat dari arah dalam.
“Ayah!” seru seseorang.
Seorang pria berpakaian necis keluar tergesa dari ruang dalam.

Wajahnya tampak kaget sekaligus hormat.
“Ayah? Kenapa datang tidak bilang dulu?” ucap pria itu, yang tak lain adalah pemilik rumah makan tersebut.

Pak Darso menoleh dan tersenyum tenang. “Kalau Ayah bilang dulu, semua pasti disiapkan. Tapi Bapak ingin melihat pelayanan asli dari tempat usaha milik anak Ayah.”

Sang pelayan yang tadi melayani Pak Darso langsung pucat. Tangannya gemetar saat menyadari siapa pria tua itu. Ia segera menghampiri.

“Pak… saya… saya sungguh minta maaf. Saya tidak tahu…” ucapnya terbata.

Pak Darso memandangnya lembut. “Nak, tidak masalah kamu tidak tahu siapa saya. Tapi kamu seharusnya tahu bagaimana cara memperlakukan tamu, siapa pun dia.”

Pemilik rumah makan, yang ternyata adalah anak Pak Darso, ikut menunduk. “Saya mohon maaf juga, Ayah. Saya salah karena kurang memperhatikan pelayanan dari pekerja di sini.”

Pak Darso menepuk bahu anaknya. “Usaha ini sudah besar. Tapi besar atau kecilnya tempat ini bukan hanya karena rasa makananmu, tapi karena etika orang-orang yang bekerja di dalamnya.”

Pelayan itu menunduk dalam-dalam. “Saya sadar, Pak. Saya janji tidak akan menilai orang dari penampilannya lagi.”

Anak Pak Darso menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Ayah selalu punya cara untuk mengajari tanpa memarahi.”

Pria tua itu hanya tersenyum, “Kadang orang belajar lebih dalam dari kejutan kecil.”

Sejak hari itu, rumah makan "Ayam Gemuk Demplon" berubah. Semua pelayan mendapat pelatihan etika, bukan hanya untuk meningkatkan pelayanan, tapi untuk menyadari pentingnya menghargai setiap manusia.

Pelayan yang dulu meremehkan Pak Darso kini menjadi pelayan paling ramah. Ia selalu tersenyum pada siapa pun tamunya, tak peduli berpakaian seperti apa.

Pak Darso sesekali datang kembali, masih dengan pakaian sederhananya. Tapi kali ini, ia selalu disambut dengan senyum hangat dan segelas air jeruk hangat yang langsung disuguhkan tanpa diminta.

Di dapur, nama Pak Darso mulai dikenal diam-diam sebagai “pengetes hati”. Mereka yang tak tahu siapa dia akan menghadap ujian. Tapi mereka yang bersikap baik akan mendapatkan pelajaran dan keberuntungan.

Anak Pak Darso pun kerap menceritakan kejadian itu kepada staf barunya, sebagai pengingat bahwa usaha bukan hanya soal untung-rugi, tapi juga soal nurani.

Dan Pak Darso? Ia tak pernah merasa bangga karena berhasil ‘menguji’ siapa pun. Ia hanya merasa lega, karena anaknya kini lebih bijaksana, dan rumah makan itu menjadi tempat yang lebih manusiawi.

Pada malam yang tenang, Pak Darso duduk di teras rumahnya yang sederhana. Ia menatap langit dan berkata lirih, “Ya Tuhan, terima kasih. Anak hamba kini bukan hanya tahu cara memimpin, tapi juga cara memanusiakan manusia.”

Sebuah angin lembut bertiup, menyapu rambut putihnya yang tertiup pelan. Di tangannya, ada catatan kecil yang bertuliskan,
"Rezeki bisa datang lewat siapa saja. Bahkan lewat kakek tua dengan sandal jepit dan topi lusuh".
Penulis: Edi Warsono

Pesan Moral: Jangan pernah menilai seseorang dari penampilannya. Rezeki bisa datang dari mana saja, dan kadang datang dalam wujud yang paling tidak kita sangka. Bersikap ramah, hormat, dan sopan kepada semua orang bukan hanya soal etika, tapi juga soal membuka pintu keberkahan dalam hidup kita.
Jangan lupa untuk selalu bersyukur.

"Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menghargai kita, tetapi kita bisa memulainya dari diri kita sendiri." -Anonymous.

Random: $BMRI $SIMP $BBRI

Happy Weekend and Stay Healthy 😉

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy