THE GO-GO SIXTIES
Setelah tiga dekade, pada tahun 1960-an terjadi kembali euforia di pasar saham. Karena begitu trauma oleh kehancuran pasar tahun 1929, seluruh generasi di US menghindari market. Bursa saham dianggap sebagai dosa dan kejahatan. Namun semua mulai berubah pada akhir 1950-an, didorong oleh ekonomi yang berkembang pesat, pengangguran rendah, dan peningkatan produktivitas, yang berlanjut ke dekade berikutnya, didorong oleh optimisme yang dihasilkan oleh Kennedy muda. 1960an adalah dekade ekstrim yang memuncak dengan kehancuran pasar saham serta malapetaka sosial dan kesuraman ekonomi.
Selama tahun 1950-an, orang-orang dengan kenangan Depresi Besar akhirnya pensiun dan generasi baru muncul tanpa kenangan pahit tentang tahun 1920-an dan 30-an. Pada tahun 1969, setengah dari semua tenaga penjualan dan analis di Wall Street memulai bisnis pada tahun 1962 atau sesudahnya. Sebagian besar manajer portofolio di berbagai dana dan pialang hanya melihat saat-saat indah yang dimulai setelah Perang Dunia II. Jika di tahun 1920-an terdapat 3 hingga 4 juta orang yang terlibat dengan pasar saham, maka diperkirakan di tahun 1960-an jumlahnya telah meningkat menjadi sekitar 31 juta orang di USA.
The Go-Go years, memiliki unsur mania dan kegembiraan klasik. Ada growth stocks Nifty 50, optimisme tentang perusahaan ‘Tronic’, terpikat dengan aksi konglomerat, dan ledakan reksadana yang dipimpin oleh manajer bintang. Ditambah juga dengan periode perselisihan sosial yang ekstrim dan periode ketegangan geopolitik ekstrim yang didorong oleh Perang Dingin. Semua hal Ini memiliki kesamaan yang menakutkan dengan dunia kita saat ini, sehingga masuk akal untuk meninjau kembali The Go-go years dan belajar darinya. Berikut beberapa major events yang terjadi di era Go-go Sixties dan beberapa tahun awal 1970-an.
*Growth Stock New Issue Craze
Investor memiliki selera besar untuk saham space-age di Soaring Sixties. Lebih banyak penerbitan saham baru terjadi di periode 1959-62 daripada periode sebelumnya dalam sejarah pasar saham karena ledakan "tronics". Banyak IPO saham memiliki nama dengan beberapa versi kata "elektronik" yang kacau dalam nama mereka, bahkan jika perusahaan tersebut tidak ada hubungannya dengan elektronik. Investor dengan cepat membeli saham di hampir semua perusahaan dengan "tronics" atas namanya. Astron, Dutron, Vulcatron, Transitron, Circuitronics, Supronics, Videotronics, dan Powertron Ultrasonics adalah beberapa contoh di antaranya.
*Conglomerate Craze
Apa yang diinginkan investor adalah pertumbuhan laba per saham. Pada pertengahan 1960-an, bisnis menemukan cara untuk menciptakan ini dengan konglomerat yang menggembar-gemborkan "sinergi". Sinergisme adalah kualitas di mana 2+2 = 5. Karena mengharapkan sinergi, dua perusahaan yang digabungkan akan menciptakan lebih banyak laba per saham daripada jika keduanya terpisah. Pada dasarnya, perusahaan dengan P/E yang lebih tinggi akan membeli perusahaan lain yang dengan P/E yang lebih rendah. Perusahaan gabungan ini diharapkan akan memiliki laba per saham yang lebih tinggi, sehingga memiliki peningkatan pertumbuhan laba per saham. Tapi, yang terjadi hanyalah konglomerat (perusahaan gabungan) revaluing earnings dari perusahaan dengan P/E rendah pada P/E perusahaan satunya yang lebih tinggi. Semuanya kelihatannya akan berhasil, sampai pada satu titik di mana konglomerat tidak mampu lagi menerukan pembelian perusahaan yang lebih murah untuk dikatrol P/E nya. Sinergi yang diharapkan tidak pernah terjadi. Booming konglomerat kemudian runtuh. Beberapa konglomerat yang terkenal di era ini adalah Litton, Gulf and Western, and Ling-Temco-Vaught.
*Star Manager Idolizing
Total investasi reksadana pada tahun 1946 hanya 1,3 milyar dollar, namun di tahun 1967, jumlahnya berlipat ganda berkali-kali menjadi 35 milyar dollar. Menariknya, dari uang sebanyak itu banyak yang terkonsentrasi kepada satu pria saja, Tsai. Gerald Tsai adalah manajer selebritas, seorang momentum investor, short-term oriented, dan cenderung spekulatif. Fidelity Fund yang dia kelola tumbuh dari 12,3 juta dollar di tahun 1959 menjadi 340 juta dollar di tahun 1965. Ia putuskan sudah waktunya untuk memonetisasi ketenarannya dan memulai fund-nya sendiri. Pada tahun 1965, Tsai mendirikan Manhattan Fund, dengan dana kelolaan 247 juta dollar, 10x lebih banyak dari ekspektasinya. Manhattan Fund mulai trading pada Februari 1966, bulan yang sama saat Dow Jones mencapai level tertinggi di dekade ini. Dua tahun kemudian, kinerjanya menguap. Pada Juli 1968, Manhattan Fund adalah fund dengan kinerja terburuk ke-6 di US. Menjadi oportunis abadi, dia menjualnya dengan harga teratas ke sebuah perusahaan asuransi. CNA Financial Corporation seharga 30 juta dollar. Fund ini kemudian jatuh secara spektakuler, kehilangan 90% nilainya di tahun berikutnya ketika market crash tahun 1969.
*The Nifty Fifty
Nifty Fifty adalah kelompok saham blue chip dengan karakteristik pertumbuhan tinggi. Setelah beberapa bubble terakhir, investor memutuskan bahwa mereka membutuhkan growth stocks yang aman. Tokoh-tokoh investasi saat itu seperti, T Rowe Price dan Phillip Fisher giat menganjurkan investasi di growth companies untuk menghasilkan gain jangka panjang di atas rata-rata. Sekitar 50 saham dianggap sebagai growth stocks yang aman. Ini termasuk nama-nama terkenal seperti IBM, Xerox, Avon, Kodak, McDonalds, Polaroid, dan Disney. Karena semakin banyak investor membeli saham-saham yang seharusnya aman ini, harga saham mereka terdorong terus ke level yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Rata-rata P/E Nifty Fifty adalah 42x, lebih dari dua kali lipat P/E 19x S&P 500. Lebih dari 20% dari perusahaan-perusahaan ini memiliki rasio P/E lebih dari 50x pada akhir tahun 1972. Ini mirip dengan Mag 7 masa kini yang merupakan saham sejuta umat. Akhirnya bubble ini pecah dan saham Nifty Fifty jatuh membumi kembali. Polaroid turun 91%, Xerox turun 71% dan Avon turun 86% dari pucuknya.
Quote berikut dari majalah Forbes menyimpulkan dengan baik.
“The delusion was that these companies were so good, it didn’t matter what you paid for them; their inexorable growth would bail you out. Obviously, the problem was not with the companies but with the temporary insanity of money managers — proving again that stupidity well-packaged can sound like wisdom. It was so easy to forget that no sizable company could possibly be worth over 50 times normal earnings.”
Membaca tentang Go-Go Years memberikan kesan dejavu. History might not repeat, but it definitely rhymes. Dotcom bubble maupun market crash lainnya memiliki karakteristik yang serupa dan familiar. Semua tersangka biasanya ada di sana, mulai dari growth stocks, concept stocks, meme stocks, momentum investing, star managers, dan pengabaian dasar-dasar kegiatan investasi. Otak manusia tidak dirancang untuk data, melainkan untuk cerita. Narasilah yang memikat dan menangkap imajinasi kita. Story membiarkan kita membayangkan masa depan yang diinginkan, menawarkan iming-iming untuk melarikan diri ke dunia utopia itu. Narasi seputar model bisnis, potensi pendapatan, dan disrupsi selalu menarik perhatian manusia yang kemudian menyelaraskannya sesuai dengan keyakinannya.
Setiap bubble ditandai dengan kehadiran investor pemula atau yang tidak mau ribet. Kelompok ini cenderung terlalu optimis dan terlalu percaya diri, yang mengarah pada keputusan pembelian yang buruk dan meningkatkan demand terhadap aset-aset berisiko. "Noise traders" ini terlalu bullish, tidak berpengalaman, dan kurang melek keuangan. Mereka adalah mangsa empuk bagi narasi tentang peluang potensial yang baru dan tampak menarik. Dan sejarah dengan 'begitu baik hatinya' telah berulang-ulang kali menunjukkannya kepada kita, untuk mengingatkan manusia yang berada di masa kini.
Happy Weekend!
$BBRI $BMRI $BBCA