Tentang $STAA dan Israel
Pertanyaan salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kalau bicara soal konflik Iran–Israel dan dampaknya ke pasar minyak dunia, reaksi pasar bisa dibilang cepat panik, tapi juga cepat pulih. Begitu muncul kabar bahwa Israel menyerang fasilitas militer dan infrastruktur nuklir Iran di pertengahan 2025, harga minyak Brent langsung terbang ke US$81 per barel, naik sekitar 10% dari posisi pekan sebelumnya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pasar langsung bereaksi karena jalur ekspor utama, Selat Hormuz, jadi pusat perhatian. Jalur sempit ini membawa lebih dari 20% pasokan minyak global setiap hari. Jadi, kalau sampai ditutup, dampaknya bakal luar biasa ke seluruh rantai pasok energi dunia. Tapi yang terjadi, hanya berselang beberapa hari, diumumkan gencatan senjata, dan harga minyak langsung nyungsep lagi ke US$68, bahkan sempat menyentuh US$65. Pasar bereaksi seolah tidak jadi panik dan harga kembali ke level normal.
Pertanyaannya, apakah konflik singkat itu benar-benar berdampak besar ke komoditas lain seperti CPO. Jawaban singkatnya, enggak juga. Meski secara teori ada kaitan karena CPO bisa dipakai buat bahan bakar nabati biodiesel, kenyataannya harga CPO jauh lebih ditentukan oleh faktor-faktor regional seperti pasokan dari Indonesia dan Malaysia, kebijakan ekspor, serta program biodiesel dalam negeri. Data Q1 2025 nunjukin harga CPO milik STAA naik 20,5% YoY ke Rp14630 per kg. Tapi lonjakan itu bukan karena perang Iran–Israel, melainkan karena tight supply, implementasi B35, dan cuaca yang kurang bersahabat. Jadi, konflik di Timur Tengah belum jadi penggerak utama bagi pasar CPO. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Yang lebih terasa justru efek tidak langsung lewat inflasi biaya energi. Ketika harga minyak mentah naik, biaya logistik, pupuk, dan bahan bakar untuk alat berat juga ikut naik. Ini yang pelan-pelan bisa menggerus margin perusahaan sawit. Tapi STAA berhasil menunjukkan ketahanan operasional yang solid. Mereka bisa cetak laba Rp1,45 triliun di 2024, naik 88% dari tahun sebelumnya. Dan di Q1 2025, laba mereka tetap naik 54,2% YoY jadi Rp304,7 miliar. Rahasianya ada di produktivitas. Produksi TBS naik 9,7%, yield kebun naik 8,8%, dan output CPO naik 10,1%. Margin EBITDA mereka juga kuat di angka 32,6%. Artinya, meskipun biaya naik, mereka tetap bisa jaga profitabilitas lewat efisiensi.
Strategi ekspansi mereka juga kelihatan matang. Refinery baru di Dumai yang berkapasitas 2000 ton per hari ditargetkan mulai beroperasi di 2025, dengan kontribusi produk turunan seperti RBD Olein dan Stearin yang bisa menyumbang sampai 35% penjualan. Selain itu, dua PKS baru di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan juga lagi dibangun. Yang menarik, mereka tidak asal buka lahan baru. Fokusnya ke akuisisi kebun produktif yang sudah beroperasi. Ini penting untuk jaga reputasi ESG dan menghindari konflik lahan atau tekanan dari investor institusional yang makin ketat soal isu lingkungan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Struktur kepemilikan STAA juga khas untuk perusahaan berbasis keluarga. PT Malibu Indah Lestari 36,69% dan PT Kedaton Perkasa 28,87% jadi dua pemegang saham terbesar, dan keduanya masih dalam lingkaran keluarga pendiri, mendiang Suito Widjaja. Figur sentral sekarang adalah Suwandi Widjaja sebagai Komisaris Utama, yang juga anak dari pendiri. Ia memegang peran penting dalam arah strategi besar, mulai dari hilirisasi sampai ekspansi kebun. Sementara urusan operasional sehari-hari dijalankan oleh Mosfly Ang, seorang profesional non keluarga yang sudah membawa STAA dari perusahaan keluarga jadi emiten publik sejak IPO 2022. Keseimbangan antara profesionalisme dan kontrol keluarga ini yang jadi ciri khas STAA.
Sejak pertengahan 2025, STAA menjalankan program buyback senilai Rp200 miliar, dengan sebagian besar saham nanti dialokasikan untuk ESOP, program saham karyawan. Harga maksimal buyback ditetapkan di Rp900 per saham, jadi bisa menjadi semacam bantalan bawah harga di pasar. Ini juga memberi sinyal positif buat investor bahwa manajemen percaya diri dengan valuasi sahamnya. Secara angka, valuasi STAA masih relatif murah. P E ratio mereka di sekitar 6,97x, PBV 1,63x, dan dividend yield tembus 7,19% berdasarkan dividen Rp55 per saham dari laba 2024. Dibandingkan rata-rata sektor sawit yang cuma 3 sampai 4%, yield ini termasuk sangat menarik. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Tapi bukan berarti semuanya aman. Free float mereka cuma 16,75%, artinya saham ini bisa gampang goyang kalau ada aksi jual besar dari pemegang mayoritas. Selain itu, walaupun mereka kuat di pasar domestik 95,5% penjualan dalam negeri, tetap ada risiko dari fluktuasi harga CPO global. Kalau harga CPO tiba-tiba drop karena permintaan lesu atau pasokan membanjir, laba bisa kena langsung. Dan kalau konflik Iran–Israel ternyata bereskalasi di masa depan, misalnya sampai ke titik penutupan Selat Hormuz, harga energi bisa melonjak drastis. Dampaknya bukan cuma ke biaya produksi, tapi bisa merambat ke inflasi nasional, pelemahan rupiah, dan naiknya biaya pendanaan. Itu jadi skenario risiko terburuk.
Selama Hormuz tetap terbuka dan pasar energi tidak terguncang terlalu dalam, faktor utama penentu kinerja STAA tetap datang dari dalam, yaitu produktivitas kebun, efisiensi operasional, dan strategi hilirisasi. Kalaupun ada tekanan dari sisi biaya, manajemen masih punya ruang untuk manuver lewat pengendalian cost dan peningkatan yield. Ditambah lagi, warisan Suito Widjaja lewat Suito Widjaja Foundation SWF menjaga hubungan STAA dengan komunitas lokal lewat program beasiswa, sekolah gratis, dan bantuan sosial. Ini penting untuk menjaga keberlanjutan operasi, terutama di daerah-daerah terpencil. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Konflik Iran–Israel saat ini belum jadi pemicu besar buat harga CPO atau kinerja STAA. Dampaknya lebih ke potensi jangka panjang yang masih belum terwujud. Sementara itu, faktor-faktor internal seperti efisiensi produksi, pasar domestik, strategi hilirisasi, dan pengelolaan modal tetap jadi penentu utama arah laba perusahaan. Kalau harga CPO bertahan di atas Rp13000 per kg dan hilirisasi jalan mulus, bukan tidak mungkin STAA cetak rekor laba baru di 2025 sampai 2026. Tapi kalau global shock benar-benar terjadi, seperti penutupan Hormuz atau stagflasi global, maka daya tahan struktur keuangan dan disiplin eksekusi manajemen akan diuji sepenuhnya. Untuk saat ini, STAA tetap layak diposisikan sebagai saham defensif berbasis komoditas dengan prospek bagus selama manajemen tetap menjaga efisiensi dan disiplin ekspansi.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10