CDIA – Semua Ingin Masuk, Padahal Isinya Sudah Keluar

PT Cipta Dewa Ilusi Aset tbk atau CDIA hadir ke hadapan publik dan dengan cepat menjelma menjadi simbol berhala baru bagi banyak investor. Sebuah figur investasi yang lahir dari rahim konglomerasi energi yang perkasa, ia dipuja, dipromosikan, bahkan dibela mati-matian, seolah kedatangannya akan otomatis mengalirkan cuan. Ia datang membawa janji ambisius, menjadi mercusuar strategis di sektor infrastruktur Indonesia yang sedang bertumbuh, merangkul listrik, pelabuhan, air bersih, dan logistik.

Ada bisikan tentang efisiensi, integrasi vertikal, dan hilirisasi yang akan mengalirkan kemakmuran, didukung oleh dua nama raksasa yang reputasinya telah terpahat kokoh dalam peta industri nasional.

Namun di altar forum, ia duduk megah. Disembah tanpa sempat dipertanyakan. Seolah substansi di baliknya belum sepenuhnya dipahami.

Ketika CDIA mengumumkan niatnya untuk melantai di bursa, gelombang euforia segera menyapu investor ritel. Forum-forum ramai bergemuruh, grafik-grafik dibanjiri spekulasi, dan rumor bertebaran bak serbuk sihir. CDIA dielu-elukan sebagai "TITAN" berikutnya. Bahkan ada yang rela mengalihkan dananya dari saham-saham bluechip demi mendapatkan satu kursi di barisan depan antrean. Semua mata tertuju padanya, percaya ini adalah kendaraan masa depan yang akan membawa mereka melaju kencang, seolah teori greater fool tinggal mitos lama yang tak perlu lagi dipercaya.

Namun di balik semua janji manis dan euforia yang membara, selalu ada satu dokumen yang berbicara lebih jujur, lebih dingin, dan tanpa bias: laporan keuangan.
------------------------------------------------------------------------------

Ekuitas yang Besar, Namun Sebagian Telah Berpindah Tangan

Bayangkan sebuah rumah besar yang megah, dengan fondasi ekuitas sebesar USD 649 juta per 31 Desember 2024. Sebuah angka yang mengesankan, bukan? Namun jika kita melihat lebih dekat, sebagian besar dari kekayaan itu ternyata tidak lagi menetap di dalam rumah. Ibarat air yang mengalir keluar dari wadahnya.

Sebanyak USD 326 juta dari ekuitas itu telah digunakan untuk membeli obligasi dari CPN, sebuah perusahaan berelasi yang ironisnya belum menjadi anak usaha resmi. Lalu USD 38 juta lainnya disalurkan sebagai pinjaman kepada pihak berelasi lain, seolah dana itu dipinjamkan ke tetangga sebelah. Dan tak lama kemudian, di awal tahun 2025, USD 20 juta lagi menguap dalam bentuk dividen tunai.

Setelah semua aliran ini dikurangi, ekuitas yang benar-benar masih tinggal di dalam perusahaan hanyalah sebesar USD 264 juta. Inilah yang saya sebut sebagai “ekuitas ekonomis”- sebuah istilah non-teknis yang merujuk pada bagian ekuitas yang secara substansi masih tinggal di dalam entitas, belum mengalir keluar melalui investasi internal, pinjaman atau distribusi kepada pihak berelasi.

Ini bukan terminologi PSAK atau IFRS, melainkan cara pandang untuk melihat seberapa banyak kekayaan bersih perusahaan yang benar-benar siap digunakan untuk menciptakan nilai di masa depan.
------------------------------------------------------------------------------

Publik Membayar Mahal untuk Kursi yang Sama

Dalam IPO yang akan datang, publik diundang untuk membeli 10% saham baru CDIA dengan menyetor sekitar USD 143,7 juta. Ini berarti, untuk setiap 1% saham, harga yang harus dibayar adalah sekitar USD 14,4 juta.

Bandingkan dengan Pemegang Saham Pengendali (PSP) yang menguasai 90% saham dengan ekuitas ekonomis sebesar USD 264 juta. Jika kita hitung, biaya per 1% saham bagi PSP hanya sekitar USD 2,9 juta.

Artinya, publik membayar hampir 5 kali lebih mahal untuk saham yang sama persis. Satu suara. Satu hak dividen. Satu posisi dalam rapat umum. Namun harga tiket masuknya sungguh timpang, seolah nama besar PSP sudah cukup menjadi alasan untuk percaya bahkan tanpa perlu bertanya.
------------------------------------------------------------------------------

Laba yang Tumbuh dari Relasi, Bukan dari Pasar Luas

Memang benar, CDIA mencatat lonjakan laba. Sebuah berita gembira di permukaan. Namun saat kita menyelami lebih dalam, laba ini tampaknya tidak tumbuh dari kekuatan bisnis di pasar terbuka, melainkan dari pendapatan bunga atas obligasi yang dibeli dari pihak berelasi, serta penyesuaian nilai wajar atas aset keuangan internal.

CDIA menerima bunga sebesar USD 11,3 juta dari aset keuangan lainnya. Namun di tahun yang sama, CDIA kembali menyalurkan pinjaman ke pihak berelasi sebesar USD 38,4 juta. Angka ini 3 kali lebih besar dari bunga yang diterima. Uang memang masuk sebentar, tetapi kemudian keluar lagi dalam jumlah yang lebih besar.

Dan karena ini terjadi hanya dalam kurun waktu satu tahun, mungkin pola ini akan terus berulang di tahun-tahun berikutnya. Bunga dibayar seolah untuk menciptakan kesan penghasilan, namun dana pokok kembali dialirkan ke arah yang sama.
------------------------------------------------------------------------------

Jika CPN Jadi Anak Usaha, Justru Ekuitas Bisa Menyusut

Beberapa pihak mungkin berargumen bahwa CPN pada akhirnya akan menjadi anak usaha dan semua akan terkonsolidasi. Namun ada detail akuntansi yang penting. Jika akuisisi dilakukan dengan harga di atas nilai buku, selisihnya tidak bisa diakui sebagai goodwill karena ini adalah transaksi antar entitas sepengendali.

Sesuai Standar Akuntansi Keuangan, selisih itu harus dicatat sebagai pengurang ekuitas. Ini berarti, publik yang sudah membeli saham dengan harga tinggi bisa saja menyaksikan ekuitas mereka menyusut, bukan karena kerugian operasional, tetapi karena akuisisi internal yang mungkin terlalu manis bagi pihak-pihak tertentu.
------------------------------------------------------------------------------

Dana Segar, Proyeksi Cerah, Tapi Jalurnya Tetap Satu Arah

Dana segar dari IPO memang tidak akan menganggur. Prospektus menjanjikan dana ini akan digunakan untuk menyuntik anak usaha, memperluas jaringan, dan menyokong investasi yang diharapkan kelak menjadi mesin kas utama CDIA.

Secara naratif, ini adalah langkah strategis. Secara proyeksi, mungkin rasional. Jika dikelola dengan efisien, bisa saja menghasilkan dividen atau arus kas positif yang menarik.

Namun jika kita melihat arah kebijakan PSP selama ini yang cenderung ekspansif daripada distributif, maka alih-alih menuai dividen, publik bisa saja dihadapkan pada babak baru. Rights issue edisi pertama, kedua, sampai yang keseribu. Atau anak usahanya kembali di-IPO-kan, seperti kakek Tbk yang meng-IPO-kan bapak Tbk, lalu sang bapak Tbk pun meng-IPO-kan anak Tbk. Dan anak Tbk itu adalah CDIA.

Intinya tetap sama. Uang publik terus-menerus diundang masuk, daripada uang keluar untuk kesejahteraan pemegang saham publik. Setiap uang masuk dibelanjakan, butuh dana lagi, lalu setoran berikutnya dimulai. Dan publik tetap duduk di kursi yang sama dengan piring yang belum tentu kembali terisi.
------------------------------------------------------------------------------

Harga Sama, Nilai yang Tak Lagi Utuh

IPO CDIA bukanlah upaya menyembunyikan sesuatu. Tetapi di dalamnya ada perbedaan harga yang mencolok. Publik membayar hampir 5 kali lipat lebih mahal untuk saham yang haknya sama persis dengan milik PSP. Tidak ada preferensi. Tidak ada struktur dua kelas saham. Tidak ada insentif khusus bagi investor publik. Yang berbeda hanyalah waktu masuk, dan siapa yang lebih dulu menyusun altar penyembahan.

Dari laporan keuangan kita dapat membaca aliran dana internal. Laba dicetak dari bunga internal. Arus kas berputar dalam sirkuit yang sudah dirancang dengan cermat. Dan ketika publik datang, mereka membeli perusahaan yang nilainya sudah mengalir, dan ekuitasnya berpotensi menyusut bukan karena kerugian bisnis, tetapi karena akuisisi internal yang akan menciptakan penurunan ekuitas.

Pada akhirnya, publik membayar penuh untuk kursi yang haknya setara, tetapi nilainya tidak lagi utuh.
------------------------------------------------------------------------------

Disclaimer
Tulisan ini adalah cerita fiksi ilmiah berbasis prospektus IPO.
Bukan ajakan beli, bukan pula teriakan untuk lari.
Jika terdapat kesamaan istilah, singkatan, yang menyerupai entitas tertentu,
hal itu murni cuman kebetulan belaka.
Saya hanya mengajak belajar membaca, sebelum menjadi percaya.
Sebab di pasar modal,
yang penting bukan berhala yang disembah,
tetapi siapa yang sejak awal menyulut dupa.

$COIN $BLOG $CDIA

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy