Ketika Infrastruktur Menjadi Simulakra
Dari kejauhan, PT Chandra Daya Investasi Tbk alias $CDIA tampak seperti permata baru dalam mahkota kekuasaan Prajogo Pangestu: posisinya strategis, asetnya terlihat kokoh, dan labanya melonjak lebih dari seribu persen hanya dalam satu tahun. Namun saat kita mulai menguliti laporan keuangannya dengan saksama, yang muncul justru bukan kisah sukses operasional, melainkan parade angka yang dirias agar tampak menarik di mata publik.
CDIA, anak dari PT Chandra Asri Pacific Tbk alias $TPIA dan EGCO Group, sebenarnya baru berdiri pada 2023. Tapi hanya dalam waktu setahun, ia sudah memamerkan laba bersih senilai Rp530 miliar. Masalahnya, lebih dari 80 persen angka itu tidak berasal dari bisnis pelabuhan, kelistrikan, atau logistik, melainkan dari tiga sumber yang sulit disebut andal: bunga dari pinjaman kepada entitas dalam satu grup, keuntungan dari perusahaan asosiasi, dan selisih penilaian instrumen investasi. Sementara itu, margin laba dari kegiatan utamanya hanya 2,2 persen, nyaris tak cukup untuk menyebut ini perusahaan infrastruktur yang efisien.
Kondisi keuangan pun menimbulkan tanda tanya. CDIA memiliki kas lebih dari Rp9 triliun, tetapi tetap mengincar dana publik sebesar Rp2,37 triliun lewat IPO. Alasannya disebut untuk ekspansi, namun lebih masuk akal jika ini dibaca sebagai bagian dari manuver grup induk untuk memoles neraca atau menyalurkan dana segar ke unit lain yang sedang kesulitan. TPIA sebagai induk justru melaporkan rugi bersih dan arus kas operasional negatif tahun lalu. Sulit untuk tidak mengaitkan kedua peristiwa ini.
Tak berhenti di situ, CDIA juga sempat membagikan dividen tunai sebesar Rp326 miliar sebelum IPO, kepada pemegang saham yang lama. Jadi di saat publik diajak ikut menaruh dana untuk ekspansi, kelompok lama justru sudah lebih dulu menarik uang keluar. Bukankah ini seperti menjual rumah dengan pondasi belum jelas, lalu meminta pembeli membayar renovasinya, sementara pemilik lama buru-buru pergi membawa isi lemari?
Sebagai pembanding, PT Nusantara Infrastructure Tbk alias $META bisa dijadikan contoh. Meski tumbuh pelan, setidaknya mereka menjalani proses pembangunan aset infrastruktur dengan konsisten dan berbasis arus kas yang nyata.
CDIA justru tampak mengambil jalan pintas: mengumpulkan aset dari grup, mencetak angka yang enak dibaca, lalu membuka pintu ke publik lewat IPO. Ini bukan kisah perusahaan yang sedang tumbuh dari bawah, melainkan kendaraan yang sengaja disiapkan untuk masuk ke bursa. Dan seperti banyak kendaraan cepat lainnya, pertanyaannya bukan apakah ia bisa melaju, tetapi seberapa tahan banting saat jalan mulai bergelombang.
Investor yang lebih mementingkan arus kas dan ketangguhan bisnis sebaiknya bertanya pada diri sendiri: apakah mereka membeli perusahaan dengan fondasi operasional yang kuat, atau hanya ikut serta dalam pertunjukan keuangan yang dikemas apik? Karena dalam pesta seperti ini, yang paling untung biasanya bukan yang baru masuk, tapi mereka yang keluar sebelum musik berhenti.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.