Ironi CPO Indonesia di Titik Jenuh
Ada ironi yang menggelayuti industri kelapa sawit Indonesia belakangan ini. Saat harga mulai pulih, justru stok CPO dalam negeri melonjak ke titik tertingginya sejak tahun lalu. Pada April 2025, volume persediaan naik tajam hingga 50 persen secara bulanan menjadi 3,04 juta ton. Alih-alih menyusut di bulan berikutnya, jumlahnya malah bertambah, menembus 5,3 juta ton. Ini bukan sekadar angka di laporan, tapi gejala dari pasar yang kehilangan daya serap, di saat kebijakan domestik juga gagal membaca arah angin global.
Penyusutan ekspor sebesar 38 persen di bulan April jadi alasan yang gampang diajukan. Namun sesungguhnya, akar masalahnya lebih dalam dari sekadar permintaan luar negeri yang lemah. Produksi dalam negeri tetap berjalan seperti mesin tua yang tak mengenal jeda, sementara upaya menyerap kelebihan pasokan lewat program biodiesel masih belum cukup kuat menarik rem tangan. Bahkan India, yang kembali aktif mengimpor lebih dari 500 ribu ton di bulan Mei, belum mampu sepenuhnya mengurangi kelebihan pasokan ini.
Harga jual yang lebih murah sempat memberikan angin segar. CPO menjadi minyak nabati dengan harga paling bersahabat di pasar internasional, bahkan terpaut sekitar 50 dolar per ton dari minyak kedelai. Namun pasar global bukan sekadar tempat obral diskon. Ada ketegangan geopolitik, regulasi baru dari Eropa yang makin ketat, dan Malaysia yang bermain lebih cerdik dengan struktur pajak yang lebih bersahabat. Dalam konteks ini, Indonesia seperti petani yang menjual hasil panen ke kota, tapi dihadang oleh berbagai pungutan di sepanjang jalan. Ketika sampai di pasar, keuntungan yang tersisa tinggal remah-remah.
Program B40 yang digadang-gadang akan menyerap hampir 15 juta ton CPO dalam negeri terlihat menjanjikan di atas kertas. Tapi implementasinya lamban dan belum terasa pengaruhnya di lapangan. Pemerintah berniat menjaga harga tetap stabil, tapi lupa bahwa yang dibutuhkan saat ini bukan pagar harga, melainkan jalan keluar bagi pasokan yang menumpuk. Ironisnya, saat sinyal pemulihan permintaan mulai terlihat, justru pungutan ekspor dinaikkan pertengahan Mei, seperti menutup pintu yang baru saja terbuka. Gabungan antara kebijakan yang terlalu berhati-hati dan permintaan yang belum stabil membuat pasokan makin terjebak di dalam negeri.
Bagaimana dampaknya ke emiten? $AALI, sebagai pemain besar dengan jaringan luas dan efisiensi yang sudah teruji, masih punya cukup bantalan untuk menghadapi situasi ini. Tapi $LSIP, yang masih sangat bergantung pada penjualan berbasis harga harian dan belum banyak bergerak ke segmen hilir, bisa lebih cepat terdampak. Sementara $TAPG, dengan keunggulan di sisi lahan dan pertumbuhan volume, tetap menghadapi risiko besar dari ketidakpastian harga jual dan ketergantungan terhadap insentif fiskal yang berubah-ubah. Situasi saat ini menuntut lebih dari sekadar produksi besar. Ia menuntut adaptasi, efisiensi, dan kejelian membaca arah pasar.
CPO selama ini kerap dianggap penyelamat ketika harga sedang naik. Namun ketika kebijakan energi berubah atau isu lingkungan naik ke permukaan, ia dengan cepat berubah jadi beban. Indonesia memang pemain dominan, tetapi sayangnya masih bersikap seperti penumpang di dalam pasar global. Saat harga naik, kita ikut menikmati. Tapi saat harga turun, kita hanya bisa menunjuk pada cuaca atau aturan asing. Ini bukan posisi yang menguntungkan dalam jangka panjang.
Jika stok terus meningkat meski permintaan mulai pulih, dan jika pemerintah justru memperberat jalan keluar lewat kebijakan pungutan, maka kita sedang menghadapi ketidakseimbangan struktural, bukan sekadar dinamika bulanan. Dalam kondisi seperti ini, kelebihan pasokan bukan berkah, tapi jebakan. Bagi investor yang tergoda oleh kenaikan harga, perlu diingat bahwa lonjakan harga belum tentu berarti laba mengalir, apalagi jika komoditasnya lebih banyak tinggal di tangki ketimbang dikirim ke pelabuhan.
Minyak sawit, sehebat apa pun fungsinya, tidak akan berarti jika hanya diam di tempat. Pasar mungkin akan kembali bergairah, tapi stok yang terus membengkak adalah bayangan panjang dari industri yang terlalu nyaman dengan masa lalu. Selama kebijakan lebih fokus menahan ketimbang melepas, dan pelaku pasar lebih sibuk menunggu daripada bergerak, maka harga tinggi hanya akan menjadi fatamorgana. Yang nyata justru beban logistik, tekanan biaya, dan seleksi pasar yang makin ketat. Dalam situasi seperti ini, yang lambat bukan hanya akan tertinggal, tapi bisa tergilas.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.