imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Ketika Negara Menyerahkan Pungutan ke Tangan Marketplace

Ada satu hal yang kerap luput saat pemerintah mengumumkan kebijakan baru soal pajak: maksud sebenarnya di balik kebijakan itu. Ketika muncul rencana agar platform e-commerce seperti marketplace mewajibkan para penjualnya membayar pajak 0,5 persen dari omzet tahunan antara 500 juta hingga 4,8 miliar rupiah, narasi yang disampaikan terdengar rapi. Katanya demi keadilan, demi kesetaraan antara toko fisik dan toko daring, demi menambah penerimaan negara yang sedang lesu. Tapi mari bicara jujur. Ini bukan cuma soal tarif pajak. Ini soal siapa yang sekarang disuruh memungutnya.

Dalam aturan perpajakan UMKM, angka 0,5 persen sebenarnya sudah lama ada. Tapi yang berubah bukan besarannya, melainkan cara pemungutannya. Negara tak lagi repot mengejar para pelapak satu per satu. Sekarang tugas itu diserahkan ke Shopee, Tokopedia, Lazada, dan platform-platform lain. Marketplace bukan cuma tempat jual beli, tapi sekarang juga ditugasi memungut pajak untuk negara. Terlihat praktis memang, tapi di balik itu tampak jelas satu hal: negara sedang mencari cara cepat memanfaatkan geliat ekonomi digital.

Tarifnya memang kecil, tetapi beban administratif, risiko teknis, dan biaya tambahan kini beralih ke perusahaan platform. Shopee kemungkinan sudah siap. $GOTO, lewat Tokopedia, bisa jadi akan mengintegrasikan ini ke sistem pembayaran Gopay dan jaringan logistiknya. Tapi bagaimana dengan $BELI, yang baru melantai di bursa dan masih membangun skala bisnisnya? Atau $BUKA, yang sejak awal membawa semangat memberdayakan UMKM dan sekarang harus menghadapi tantangan aturan pajak yang lebih rumit? Mereka tidak punya cadangan dana sebesar pemain besar. Bukan tidak mungkin beberapa dari mereka terpaksa menyerah lebih cepat. Akibatnya, pasar jadi semakin dikuasai oleh segelintir pemain besar. Bukan karena persaingan sehat, tapi karena aturan diam-diam mengarahkan industri ke arah yang lebih terkonsentrasi.

Pemerintah bilang ini demi menyamakan perlakuan antara toko online dan toko fisik. Tapi argumen ini rapuh sejak awal. Banyak penjual online bukan pemilik toko besar. Mereka hanyalah penjual rumahan, ibu-ibu yang berjualan dari rumah demi bertahan hidup, atau mantan karyawan yang kehilangan pekerjaan. Menyamakan mereka dengan ritel di pusat perbelanjaan adalah penyederhanaan yang terlalu nyaman. Ini seperti menilai bebek dan elang dari seberapa tinggi mereka bisa terbang.

Yang lebih menarik, ini bukan cerita baru. Pada 2018, pemerintah pernah mewacanakan aturan serupa, tapi hanya bertahan beberapa bulan sebelum ditarik kembali. Alasannya? Penolakan industri dan belum siapnya sistem. Sekarang, dengan sistem pajak daring pemerintah yang bahkan baru saja bermasalah, pemerintah tampaknya memilih jalur "coba dulu, nanti lihat hasilnya". Kalau gagal, tinggal dibatalkan. Ini bukan strategi jangka panjang. Ini eksperimen yang siap dibatalkan sewaktu-waktu.

Dari sisi pasar, kebijakan ini bisa punya dua dampak. Bagi investor, ini bisa dianggap langkah menuju ekonomi digital yang lebih teratur. Tapi bagi para pelapak kecil, ini sinyal bahaya. Mereka bisa kehilangan pembeli, margin keuntungan makin tipis, dan tak sedikit yang mungkin kembali ke transaksi lewat jalur pribadi, pindah ke platform luar, atau berhenti berjualan sama sekali. Jangan heran kalau dua atau tiga bulan setelah aturan ini berlaku, kita mulai melihat penjualan online dalam negeri melemah, sementara produk dari luar negeri tetap mengalir deras.

Shopee, yang sudah menjalankan pemotongan pajak serupa di Filipina, kemungkinan akan lebih mudah menyesuaikan. GOTO, yang kinerjanya memang mulai membaik tapi masih merugi, harus lebih hati-hati. Bisa jadi ini justru kesempatan bagi mereka untuk memperkuat sistem internal. BELI, yang sedang mencoba membangun sinergi dengan jaringan ritel Djarum, bisa mengambil keuntungan jika mampu mengeksekusi aturan ini dengan rapi. Sementara BUKA, yang basis pasarnya banyak di warung-warung kecil, bisa jadi justru lebih berat terdampak karena mayoritas penggunanya belum tentu siap menghadapi proses kepatuhan pajak yang baru.

Pemerintah bisa saja bilang ini bagian dari strategi besar. Tapi publik berhak bertanya: kalau ini betul strategi, kenapa kesannya seperti reaksi spontan? Mengapa tidak ada uji coba, dukungan infrastruktur, atau masa transisi yang memadai? Yang terasa justru suasana tergesa. Negara butuh uang, data e-commerce mudah diakses, dan siapa lagi yang lebih siap diminta bantu negara selain para unicorn?

Catatan akhirnya tetap sama. Pajak 0,5 persen ini memang kecil secara nominal, tapi besar dari sisi makna. Ini menunjukkan bahwa negara mulai menggantungkan harapan pada ekonomi digital. Bukan hanya sebagai sumber pertumbuhan, tapi juga sebagai tempat mencari pemasukan. Dan seperti biasa, yang paling terpukul bukan perusahaan besar yang punya tim pajak sendiri, tapi penjual kecil yang bahkan belum tahu bahwa bulan depan, uangnya akan dipotong otomatis dari transaksi.

Pasar digital, yang dulu menjanjikan kemudahan dan kebebasan, kini berubah perlahan jadi lorong panjang yang penuh rambu dan aturan. Tapi publik diminta percaya bahwa ini adalah bentuk kemajuan.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy