Rights Issue $WIFI dan Mimpi FTTH untuk Rakyat Jelata
Dalam dunia korporasi yang gemar menjual mimpi lewat jargon “inklusi digital”, WIFI memilih langkah lebih berani: rights issue jumbo Rp 5,9 triliun, bahkan lebih besar dari nilai pasarnya sendiri. Ambisinya tidak main-main: membangun internet rumah Rp 100.000 per bulan untuk 4 juta rumah tangga. Di atas kertas, ini terdengar seperti gebrakan visioner. Tapi di balik segala presentasi dan janji ekspansi, ada baiknya kita menengok ulang realitas bisnis ini dengan nalar jernih, bukan sekadar semangat mendukung wacana murah-meriah.
PT Solusi Sinergi Digital Tbk alias WIFI sejatinya bukan pemain baru dalam infrastruktur digital. Portofolionya mencakup periklanan DOOH, sewa jalur serat optik, hingga bisnis layanan digital di lingkungan stasiun kereta. Tapi kali ini, mereka sedang mencoba hal yang lebih besar dan lebih padat modal, yakni menjadi ISP rakyat. Dengan menargetkan segmen rumah tangga kelas menengah ke bawah, WIFI hendak menawarkan internet FTTH 200 Mbps hanya Rp 100.000 per bulan. Sebuah angka yang bahkan membuat penyedia sekelas ICONNET dan XL Home terlihat mahal.
Untuk merealisasikan mimpi ini, mereka mengandalkan rights issue dengan menawarkan 2,95 miliar saham baru seharga Rp 2.000 per saham. Total dana yang dibidik mencapai Rp 5,9 triliun. Rasio 4:5 artinya investor akan terdilusi lebih dari separuh jika tak ikut serta. Untungnya, pemegang saham utama, PT Investasi Sukses Bersama (ISB), sudah menyatakan komitmennya menebus penuh porsi haknya senilai hampir Rp 3 triliun. Namun komitmen itu tak serta-merta menjawab satu pertanyaan besar: apakah pasar ini layak diguyur triliunan modal dengan margin yang masuk akal?
WIFI menyebut dana akan dialirkan ke anak usaha, PT Integrasi Jaringan Ekosistem (IJE), yang akan membangun infrastruktur FTTH untuk menjangkau 4 juta homepass di Pulau Jawa. Dengan tarif Rp 100 ribu per bulan, angka kasar revenue tahunan jika semua homepass aktif hanya Rp 4,8 triliun. Itu pun asumsi yang nyaris mustahil. Dalam praktiknya, konversi homepass ke pelanggan aktif di industri FTTH jarang menyentuh 50 persen. Lebih realistis jika menghitung potensi pendapatan sekitar Rp 2 triliun per tahun, itupun kotor. Maka pertanyaan lanjutan muncul: bagaimana menjaga profitabilitas dengan ARPU serendah itu setelah menggelontorkan investasi triliunan?
WIFI mencoba menurunkan biaya lewat pendekatan unik. Mereka memanfaatkan jalur rel kereta api untuk backbone, menggandeng Nokia dan OREX SAI (JV dari NEC & NTT DoCoMo), serta menjalin aliansi dengan lebih dari 50 ISP lokal. Strategi ini memang terdengar hemat, tapi tetap tak menghilangkan beban biaya akuisisi pelanggan, perawatan jaringan, serta kebutuhan layanan pelanggan skala massal. Semuanya tidak murah. Perusahaan telko besar saja seringkali merugi di segmen B2C harga rendah. Bagaimana WIFI akan bertahan tanpa ekosistem dan neraca sekuat pemain mapan seperti Telkom atau MORA?
Yang menarik adalah momentum rights issue ini terjadi saat kinerja keuangan sedang bagus-bagusnya. Pendapatan 2024 tumbuh 53 persen, EBITDA margin tercatat 73 persen, dan laba bersih melonjak 295 persen. Tapi justru itu yang patut dipertanyakan. Jika arus kas solid dan prospek cerah, mengapa tidak mengambil pinjaman perbankan atau menerbitkan obligasi? Mengapa harus mengorbankan kepemilikan lama lewat rights issue yang sangat dilutif? Apakah manajemen tahu bahwa margin hari ini bukan cermin masa depan ketika tarif Rp 100.000 mulai berlaku?
Valuasi saham pun sudah premium. PBV 5,06x dan PSR 7,30x, hanya PER yang masih tampak “diskon” di kisaran 21x. Tapi angka ini belum mencerminkan potensi penurunan margin jika proyek FTTH mulai berjalan. Sebagai pembanding, $MORA dan $DSSA (melalui MyRepublic) punya strategi ekspansi jaringan yang lebih konservatif, baik dari sisi pricing, target pasar, maupun sumber pendanaan.
Rights issue ini memang bisa menjadi titik lompatan bagi perusahaan untuk keluar dari bayang-bayang "perusahaan reklame" menjadi penyedia infrastruktur konektivitas. Tapi juga bisa menjadi lonceng alarm jika eksekusinya meleset. Di industri yang padat modal, berdarah-darah di awal, dan sensitif terhadap churn rate, harga murah tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah skala, loyalitas pelanggan, efisiensi operasional, dan kekuatan modal kerja yang tidak habis hanya karena gagal mencapai target konversi.
Dalam iklim bisnis yang kian sensitif terhadap narasi pertumbuhan, rights issue senilai Rp 5,9 triliun dengan janji internet murah bukan sekadar aksi korporasi. Ini pertaruhan besar yang menuntut presisi eksekusi. Bagi investor, hak untuk menebus saham baru bukanlah sekadar hak. Ia adalah pilihan: apakah Anda percaya pada mimpi besar, atau sekadar menjadi penonton dari drama yang mungkin berakhir mahal.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.