$CHEK – Menjelajahi Samudra Bursa, Menjual Janji, Menyusun Neraca

"Ketika ombak surut, barulah kau tahu siapa yang berenang tanpa busana." Ini adalah kearifan Warren Buffett yang menggema di setiap sudut pasar modal. Di samudra luas ini, tak semua kapal berlayar dengan tujuan menyeberang jauh. Ada yang sekadar menepi, mengisi perbekalan, atau bahkan menjual peta sebelum tahu ke mana arah angin berembus.

Dan kini, sebuah kapal bernama PT Diastika Biotekindo Tbk (CHEK), resmi membentangkan layarnya ke publik. CHEK ini ibarat jembatan. Bukan produsen raksasa, bukan pula pemilik merek legendaris. Mereka hanya penghubung, simpul antara merek global sekelas Bio-Rad, Thermo Fisher, dan Siemens, dengan nadi-nadi kehidupan bernama rumah sakit lokal. Namun, jembatan ini, layaknya jembatan awan yang terbentuk dari uap air, bukanlah struktur permanen. Kontrak-kontrak distribusinya? Ah, itu seperti sinyal Wi-Fi gratis di bandara: berguna, menolong di saat butuh, tapi bisa lenyap begitu saja tanpa sepatah kata pun.

Bisnis ini memang lincah, bergerak gesit seperti burung kolibri. Tapi, kelincahan, kawan, bukanlah jaminan kekekalan. Sebab, fondasinya tak berpijak pada bumi kepemilikan yang kokoh, melainkan pada janji-janji dalam sebuah perjanjian. Dan setiap perjanjian, seperti bayangan yang mengikuti cahaya, selalu hidup dalam bayang-bayang waktu yang terus berdetak.

Nyala Lilin di Tengah Malam: Stabil, tapi Tak Menyulut Mimpi
Mari kita tengok catatan keuangannya. Laba bersih CHEK, dari Rp13 miliar di 2022, naik syahdu menjadi Rp15 miliar di 2024. Pendapatan tumbuh rata-rata 14% per tahun. Angka-angka ini, sejujurnya, baik-baik saja. Tak ada yang salah. Namun, ini adalah pertumbuhan yang tenang, tak bergejolak. Bagai nyala lilin di malam hari: cukup terang untuk membaca lembar demi lembar, tapi belum cukup panas untuk menyulut mimpi-mimpi besar. Stabil, iya. Revolusioner? Rasanya tidak. Wajar jika seorang investor, dengan kacamata analitisnya, akan bertanya pelan: "Apakah bisnis yang setenang embun pagi ini layak diberi valuasi yang meletup-letup seperti letusan gunung berapi?"

Membeli Teh Botol Rasa Kopi Single Origin: Siapa Bayar Lebih Mahal?
Ketika IPO ini digulirkan, ada fenomena menarik, seperti hukum alam tentang keseimbangan yang terkoyak. Publik membeli 20,04% saham CHEK seharga Rp114 miliar. Sementara itu, sang Pemegang Saham Pengendali (PSP) memegang 79,96% saham dengan dasar ekuitas hanya Rp93,2 miliar.
Jika kita bedah per 1% kepemilikan, angkanya menjadi cerminan yang menggelitik:
• Publik merogoh kocek sekitar Rp5,69 miliar per 1% saham.
• Sang pengendali? Hanya sekitar Rp1,16 miliar per 1% saham.

Artinya apa? Publik membeli kepemilikan yang sama, namun dengan harga 4,9 kali lipat lebih mahal. Ini seperti memesan teh botol di warung pinggir jalan, tapi diminta membayar setara kopi single origin di lobi hotel bintang lima. Kadang, ada humor renyah dalam ketimpangan ini, sebuah satir tentang siapa yang paling lapar di meja perjamuan IPO.

Debit Card Masih Ada, Kenapa Ngajak Patungan?
Lalu, kita dihadapkan pada pertanyaan fundamental: Apakah CHEK benar-benar butuh dana segar ini? Menurut prospektus, dana IPO seluruhnya untuk modal kerja. Kebutuhan modal kerja tidak termasuk kas dan investasi pada reksadana, khususnya untuk pembiayaan piutang dan persediaan saat ini (2024) sekitar Rp68,8 miliar. Dari jumlah itu, Rp25,3 miliar sudah tersedia dari liabilitas lancar (utang usaha), sehingga defisit bersihnya hanya Rp43,5 miliar.

Tapi tunggu dulu, ada fakta menarik lain. CHEK masih punya kas dan investasi pada reksadana Rp19 miliar, plus fasilitas kredit Rp10 miliar dari Bank Permata. Jadi, kebutuhan modal kerja bersih tersisa hanya sekitar Rp14,5 miliar. Sebuah angka yang, secara matematis dan logis, seharusnya mampu ditutup sendiri oleh manajemen. Terlebih, manajemen memilih menutup fasilitas kredit bank menjelang IPO. Kenapa? Entah. Tapi tiba-tiba, CHEK merasa perlu dana IPO hingga Rp114 miliar. Ini seperti seseorang yang masih memegang kartu debit tebal di dompetnya, tapi malah tiba-tiba mengajak patungan dengan orang asing untuk makan siang.

Mungkin jumlah dana IPO ini disesuaikan dengan kondisi pasar. Jika target dana IPO tak tercapai, setidaknya penjualan saham dari jatah pooling yang terbatas akan laku terserap. Ini adalah jalur favorit para investor "receh" yang berbondong-bondong antre. Dan kebetulan, kalau mereka dikasih jatah 10%, maka dana IPO yang dihasilkan kurang lebih sebanding dengan kebutuhan minimal modal kerja saat ini, yaitu sekitar Rp14,3 miliar. Sisanya? Biarlah itu menjadi pekerjaan rumah bagi PSP dan underwriter untuk pemesanan saham IPO via fixed allocation. Konon, banyak jalan menuju Roma, dan Aroma fund flows mungkin adalah jalan tol-nya.

Proyek Pemerintah: Ilusi di Cakrawala
Untuk mempercantik prospektus, disebutkan juga bahwa dana IPO akan digunakan untuk modal kerja proyek-proyek pemerintah seperti SIHREN, SOPHI, dan InPLUS. Namun, mari kita tatap realitas seperti ilmuwan menatap mikroskop:
• Tender SIHREN dan InPLUS masih dalam tahap evaluasi teknis hingga Juni 2025.
• Tender SOPHI bahkan baru akan dibuka Juli 2025.
Artinya, publik diminta menalangi proyek yang belum pasti dijalankan. Ini persis seperti diajak membeli tiket konser, padahal artisnya belum tentu datang. Dan lucunya, yang menjual tiket bahkan bukan event organizer resminya. Sebuah ilusi di cakrawala yang belum terwujud.

Janji Tanpa Ikatan: Angin Musim Gugur
Di lembar prospektus, sebuah kalimat kecil namun krusial berbisik: "Tidak ada larangan hukum bagi pengendali untuk melepas sahamnya pasca-IPO." Pernyataan "tidak akan menjual selama 8 bulan" hanyalah niat baik semata, bukan komitmen hukum yang mengikat. Bukan syarat OJK. Bukan pula klausul yang disepakati dengan underwriter. Artinya, seperti angin musim gugur yang bebas berembus, pengendali bisa menjual saham kapan saja jika mereka mau.

Menggemukkan Neraca dengan Dapur Tetangga
Maka, setelah menelusuri jejak-jejak ini, IPO CHEK ini tampaknya bukan semata-mata tentang kebutuhan dana mendesak untuk bertumbuh. Lebih dari itu, ia seperti sebuah strategi cerdik untuk menggemukkan neraca perusahaan dengan 'lauk' dari dapur publik, tanpa harus menambah beban para pemilik lama. Ini adalah sebuah upaya mengubah saham PSP menjadi aset likuid, yang setiap waktu dapat dicairkan. Bagi PSP ini Ibarat mengubah goodwill menjadi dividen.  Bukan karena kepepet, tapi memanfaatkan momentum dari publik yang selalu optimisme dengan antrian pooling.

Untuk IPO selanjutnya silahkan mampir di sini https://www.instagram.com/p/DLKqk7YTFov/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA==

$LABS $BLOG