Suntikan Bernama Danantara: Nafas Baru atau Napas Panjang untuk Garuda?
Garuda Indonesia ($GIAA) kembali muncul ke radar investor. Bukan karena kinerja operasional yang memukau, melainkan karena drama baru dalam bentuk suntikan dana dari BPI Danantara. Ini adalah badan pengelola investasi negara yang belum genap setahun berdiri, tetapi sudah diberi mandat sebesar langit. Dana sebesar 405 juta dolar AS (dari total komitmen satu miliar dolar) dialirkan dalam bentuk pinjaman pemegang saham, bukan ekuitas. Langkah ini menyiratkan dua hal: negara masih percaya, tapi tidak cukup percaya untuk menambah kepemilikan saham secara langsung.
Mari kita bedah. Di atas kertas, dana ini dialokasikan untuk menghidupkan kembali puluhan pesawat yang dikandangkan. Lebih dari separuh armada Citilink dan sepertiga milik Garuda masih nongkrong di apron, menunggu suku cadang dan... dana talangan. Manajemen mengklaim bahwa masalah utama adalah rantai pasok global. Namun laporan independen seperti Bloomberg mengungkap sesuatu yang lebih memprihatinkan. Pemasok meminta pembayaran di muka karena kehilangan kepercayaan atas solvabilitas GIAA. Masalahnya bukan hanya ada di luar negeri, tetapi juga di dalam dompet sendiri.
Dana Danantara masuk pada saat yang genting. Kerugian bersih sebesar 69,7 juta dolar pada tahun 2024 belum membaik. Bahkan di kuartal I 2025 justru membengkak menjadi 75,9 juta dolar. Meski arus kas operasional tercatat positif, itu tidak cukup menutup kenyataan bahwa utang GIAA masih menumpuk sebesar 4,6 miliar dolar pasca restrukturisasi. Sementara MRO menjadi lubang hitam yang harus segera ditambal. Dengan kata lain, Danantara bukan membawa angin segar, melainkan oksigen darurat. Jika tidak disertai disiplin keuangan, intervensi ini hanya akan memperpanjang denyut sebelum koma kembali.
Strategi GIAA, setidaknya di kertas presentasi, cukup ambisius. Targetnya adalah 100 pesawat aktif pada akhir 2025, lalu ekspansi ke 170 unit pada 2026. Diiringi rencana aliansi global dengan Emirates dan Japan Airlines. Namun ekspansi butuh modal kerja. Dan modal kerja Garuda selama ini bukan berasal dari laba, tetapi dari skema penyelamatan yang terus berulang. Bila investor ritel masih membayangkan GIAA sebagai maskapai Asia yang kisah bangkitnya inspiratif, lebih baik lirik Singapore Airlines atau EVA Air. Mereka tidak perlu “diselamatkan” untuk bisa bangkit. Bahkan maskapai low-cost seperti AirAsia X, yang sempat direstrukturisasi, kini mulai menghasilkan arus kas sehat tanpa perlu disandarkan pada dana kekayaan negara.
Lalu bagaimana posisi Danantara? Di satu sisi, kehadirannya sebagai pemegang saham aktif terdengar menjanjikan. Ada niat menciptakan tata kelola yang lebih kuat, disiplin berbasis kinerja, dan kontrol terhadap pencairan dana. Namun di sisi lain, konsentrasi kekuasaan ekonomi yang besar dan komposisi tokoh politik pada dewan pengawasnya menimbulkan pertanyaan tentang netralitas pengambilan keputusan. Suntikan ke GIAA tidak semata keputusan investasi. Ini adalah ujian bagi kredibilitas Danantara sebagai institusi baru dengan mandat sebesar Republik.
Dibandingkan dengan BUMN lain, GIAA adalah pasien lama di ruang gawat darurat yang kini diberi ruang ICU eksklusif. Emiten seperti Jasa Marga ($JSMR) atau Perusahaan Gas Negara ($PGAS) juga menghadapi tekanan operasional dan struktur utang. Namun keduanya masih bisa membiayai operasional dari laba. Mereka tidak hidup dari infus. JSMR, meskipun terbebani proyek jalan tol, tetap konsisten menghasilkan EBITDA margin di atas 50 persen. Garuda? EBITDA-nya seringkali ditopang oleh item satu kali dan masih berdarah dari sisi laba bersih. PGAS yang tertekan regulasi harga gas pun masih memiliki neraca yang jauh lebih waras dibandingkan maskapai yang gagal menjaga struktur modalnya selama lebih dari satu dekade.
Akhirnya, investasi Danantara ke Garuda membawa dua pesan utama. Pertama, negara tidak rela Garuda jatuh. Ini bukan soal potensi bisnis, tetapi soal simbol. Kedua, investor tidak bisa melihat dana masuk sebagai sinyal “buy”. Dana talangan bukan jaminan perbaikan. Dan pinjaman pemegang saham bukan bentuk kepercayaan mutlak. Risiko eksekusi, tekanan eksternal, dan beban historis justru menciptakan lanskap tambal sulam yang kompleks.
GIAA bukan saham turnaround seperti yang banyak investor harapkan. Ia lebih menyerupai rumah tua bersejarah yang terus direnovasi dengan dana negara. Tidak bisa dijual mahal, tapi juga tidak boleh dibiarkan runtuh. Jika Anda memilih naik ke pesawat ini, pastikan Anda tidak hanya mengandalkan pilot. Karena kadang, bahkan dalam penerbangan yang dikawal negara, turbulensi tetap datang. Dan satu-satunya parasut penyelamat tetaplah fundamental.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.