Perang Timur Tengah yang Tak Ada Habisnya
Kadang dunia ini seperti panggung sandiwara yang diputar ulang terus menerus, pemerannya beda, naskahnya itu itu saja, dan penontonnya mulai bosan tapi tidak bisa pindah saluran. Kisah perang antara Israel dan Iran beberapa waktu belakangan adalah salah satu contohnya. Dari luar kelihatan tegang, dramatis, penuh ancaman bom dan rudal. Tapi kalau kita kulik satu per satu, yang terjadi sebenarnya cuma pertunjukan geopolitik yang tujuannya bukan untuk menang, tapi untuk membuat orang lain takut. Dan ironisnya, kita, pasar, rakyat biasa, dan negara negara netral, jadi korban dari narasi yang tidak ada habisnya ini. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Seolah - olah perang di Timur Tengah itu dilestarikan dan dijaga agar tetap ada untuk membuat harga minyak tetap stabil dan bisa digoreng dengan mengorbankan masyarakat di sana. Kalau Timur Tengah damai, harga oil mungkin bisa ke 50 atau malah 20 dollar. Dan harga bensin bisa tinggal 1000 rupiah per liter. Narasi elit global.
Nyangkut dan cutloss saham? Salahkan Iran dan Israel dan Trump. Jangan salahkan diri sendiri yang pegang kendali tekan buy dan sell. 馃椏
Waktu Iran menggertak bakal menutup Selat Hormuz pada 22 Juni 2025, pasar langsung panik seperti orang baru tahu utang jatuh tempo. Harga minyak Brent lompat ke $81 per barel. Padahal dua hari sebelumnya masih di kisaran $73. Nilai tukar rupiah juga ikut jeblok sampai Rp16.485 per USD. Trader saham mulai buru buru masuk sektor energi, sementara masyarakat umum mulai khawatir harga bensin bakal naik lagi. Tapi lucunya, pas dicek di peta dan radar pelayaran, tidak ada satu pun bukti fisik bahwa selat itu ditutup. Kapal tanker tetap melintas seperti biasa. Tidak ada ranjau yang dijatuhkan, tidak ada serangan langsung, dan tidak ada larangan ekspor resmi yang diumumkan. Semua cuma omongan. https://cutt.ly/ge3LaGFx
Dua hari kemudian, pagi 24 Juni, muncul kabar gencatan senjata dari pihak Israel. Langsung, pasar balik arah. Harga minyak anjlok 5 persen ke $68 per barel, harga gas wholesale turun 12,5 persen, dan sektor energi di bursa ikut melemah. Trader yang kemarin panik jadi pura pura tidak pernah menyentuh futures minyak. Ini membuktikan satu hal penting, pasar sekarang bukan digerakkan oleh realitas di lapangan, tapi oleh headline dan spekulasi narasi. Dan ketika narasi itu gagal dieksekusi, sentimen langsung runtuh. Sore 24 Juni, perang lagi. Ndak jelas, mau damai atau tidak. Beda jam, beda narasi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau Iran serius menutup Selat Hormuz, yang bakal rugi pertama justru mereka sendiri. Sekitar 1,5 juta barel per hari ekspor minyak mereka tergantung pada selat itu. Kalau kehilangan 1 juta barel saja karena blokade, artinya mereka kehilangan sekitar $46 juta per hari. Padahal kondisi ekonomi domestik Iran sedang babak belur, inflasi di atas 40 persen, cadangan devisa makin menipis, dan rakyatnya mulai frustrasi dengan kondisi harga barang. Kalau Hormuz ditutup, dampaknya bukan cuma ke pasar global, tapi bisa langsung memicu kerusuhan dalam negeri. Apalagi pembeli utama minyak Iran adalah China, yang menyerap sampai 86 persen ekspor mereka. Kalau pasokan ke China tersendat, Beijing pasti bakal menekan balik Teheran supaya nurut.
Di sisi militer pun Iran sebenarnya tahu mereka tidak punya peluang menang kalau sampai berkonflik langsung dengan kekuatan penuh Amerika Serikat. Meski punya sekitar 5.000 sampai 6.000 ranjau laut dan drone bersenjata, Armada ke lima Angkatan Laut Amerika Serikat di Bahrain sudah menyiapkan blueprint operasional untuk situasi seperti ini sejak lama. Operasi bernama Earnest Will di tahun 1987 an sudah jadi textbook soal bagaimana menghadapi ancaman Iran di perairan selat. Dan jangan lupa, pada 1988, waktu Iran coba unjuk gigi lewat konfrontasi militer, Amerika Serikat meluncurkan Operasi Praying Mantis yang menghancurkan dua platform minyak Iran dan menenggelamkan frigat Sahand hanya dalam hitungan menit. Kalau sampai sekarang mereka belum coba ulangi hal itu, artinya Iran paham bahwa skenario kekerasan terbuka bukan jalannya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Makanya, strategi mereka bukan perang langsung, tapi menciptakan ketakutan. Iran memainkan strategi hybrid, gabungan antara ancaman, propaganda, dan tindakan terbatas, yang tujuannya bukan menguasai wilayah atau menang perang, tapi bikin lawan gugup dan akhirnya duduk di meja perundingan. Cukup bikin latihan militer simbolis, lempar wacana lewat parlemen, atau kirim drone ke kapal komersial, premi asuransi kapal langsung naik, harga minyak ikut naik, dan pasar pun gelisah. Iran pun dapat leverage negosiasi tanpa perlu kehilangan tentara atau infrastruktur. Ini bukan kelemahan, justru sebaliknya, kecerdikan dalam memainkan geopolitik.
Contohnya bisa kita lihat dari strategi Houthi di Yaman yang jadi proxy Iran. Mereka menyerang kapal kapal komersial secara sporadis di Laut Merah dan Teluk Aden. Efeknya, rantai pasok global terganggu, biaya logistik meroket, dan perusahaan perusahaan pengangkut barang harus mutar jalur. Houthi tidak butuh menang perang untuk bikin dunia pusing, cukup menciptakan gangguan kecil tapi terus menerus. Iran belajar dari itu. Mereka tahu kekacauan itu aset politik kalau dimainin dengan cara yang tepat. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dampaknya ke Indonesia sendiri bisa sangat nyata, walau sekilas terasa jauh. Kalau benar benar Hormuz ditutup total, harga BBM dalam negeri bisa naik sekitar 30 persen. Kelangkaan pupuk akibat macetnya jalur impor bisa bikin hasil panen turun sampai 10 sampai 15 persen. Industri manufaktur yang butuh gas dan semikonduktor bisa rugi ratusan juta dolar akibat terlambat pasokan. Ekspor nikel, baja, dan batubara ke negara lain pun kena beban ongkos kirim yang bisa naik 15 sampai 20 persen karena harus memutar lewat jalur laut lain yang lebih jauh dan lebih mahal. Tapi itu semua hanya skenario terburuk yang tidak pernah kejadian, karena dua hari setelah ancaman keluar, gencatan senjata langsung disepakati. Dan begitu itu diumumkan, pasar langsung kembali stabil. Harga bensin tetap, panen tetap jalan, dan perdagangan ekspor impor tidak terganggu.
Sebagian orang bilang, berarti Iran kalah dong karena tidak jadi nutup Hormuz. Jawabannya justru sebaliknya. Iran sudah dapat kemenangan kecil karena berhasil mengguncang pasar dunia tanpa perlu menembakkan satu peluru pun. Ketika harga minyak naik dan Washington serta Tel Aviv mulai membuka pintu negosiasi, Iran tahu mereka sudah mencapai tujuannya. Ini adalah perang asimetris, bukan soal menang tempur, tapi soal siapa yang bisa bikin lawan frustrasi dan kehilangan arah. Tapi tetap aja itu artinya Iran cuma bisa gertak sambal no action alias omon omon.
Amerika Serikat sendiri pernah menang secara militer di Vietnam dan Afghanistan, tapi secara politik dan strategi jangka panjang mereka gagal. Vietnam dan Afghanistan ditinggalkan begitu saja, capek perang. Puluhan tahun perang, ribuan tentara gugur, tapi hasil akhirnya, kekuatan lawan tetap ada, dan dukungan publik domestik hilang. Hal yang sama bisa terjadi di konflik Israel dan Iran. Mereka bisa saja menang dalam pertempuran, tapi kalau narasi global berbalik, ekonomi babak belur, dan rakyat lelah perang, siapa sebenarnya yang menang?
Buat investor, ini semua adalah pelajaran mahal tapi penting. Jangan reaktif terhadap headline ancaman geopolitik yang belum terbukti. Fokuslah pada data nyata, premi asuransi kapal, traffic tanker di radar, dan volume ekspor resmi. Kalau indikator riil menunjukkan aktivitas normal, berarti ancaman hanya bersifat simbolis. Strategi yang masuk akal adalah manfaatkan lonjakan harga komoditas saat sentimen panas, tapi segera keluar begitu muncul tanda tanda deeskalasi. Diversifikasi ke sektor defensif seperti logistik, energi terbarukan, dan infrastruktur domestik juga penting sebagai pelindung portofolio. Dan lindungi eksposur rupiah saat risiko geopolitik sedang tinggi, misalnya lewat aset USD atau emas. Pada akhirnya selama Amerika kuat, dollar tetap kuat. Ini fakta. BRICS mau coba melemahkan Dollar tapi masalahnya dunia masih takut sama Amerika. Saya pun tidak suka sama Amerika tapi masalahnya saya tidak suka pun, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Paling cuma bisa teriak boikot tapi pada akhirnya tetap pakai hp Android yang notabene itu OS buatan Amerika. Susah juga mau menjadi idealis. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Semua ini kembali ke satu hal, tidak capek apa, perang terus. Di balik semua strategi, taktik, dan pertarungan kekuasaan, yang jadi korban itu ya rakyat biasa. Ibu rumah tangga di Teheran, sopir truk di Tel Aviv, buruh pabrik di Jakarta, mereka cuma pengin hidup aman, makan cukup, dan anaknya bisa sekolah dengan tenang. Perang tidak bikin harga cabe turun, tidak bikin listrik gratis, dan tidak bikin utang negara lunas. Kalau sudah tahu hasil akhirnya selalu rugi, buat apa dilanjutkan?
Damai itu murah, rasional, dan lebih memberi peluang untuk semua. Kalau semua pihak bisa duduk, negosiasi, dan berbagi pengaruh secara sehat, kita tidak perlu lagi hidup dalam siklus ancaman dan gencatan yang terus berulang tiap beberapa bulan. Cukup sudah sandiwara ini. Mari simpan bomnya, matikan drone nya, dan ganti teater perang dengan panggung diplomasi. Karena kalau terus begini, bukan cuma minyak yang habis, tapi juga rasa kemanusiaan kita pelan pelan ikut kering.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$MEDC $ADRO $BREN