Revisi SLR USA: Quantitative Easing Terselubung
Ketika kita bicara tentang kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan, banyak yang langsung berpikir tentang suku bunga, quantitative easing, atau neraca bank sentral. Tapi di balik itu semua, ada satu instrumen yang jauh lebih teknis namun sangat krusial dalam arsitektur keuangan modern: Supplementary Leverage Ratio (SLR). Metrik ini, meskipun tidak sering dibahas oleh publik luas, justru berada di titik perpotongan antara kehati-hatian regulasi dan fleksibilitas likuiditas. Dan pada saat-saat genting seperti krisis 2020, SLR terbukti bisa menjadi penghambat sekaligus penyelamat.
SLR itu Apa?
SLR pada dasarnya adalah batas minimum modal inti (Tier 1 Capital) yang harus dimiliki bank dibandingkan dengan total eksposur leverage-nya—termasuk aset dalam neraca, pinjaman luar neraca, derivatif, hingga simpanan. Rasio ini diharapkan menjadi benteng terakhir jika segala jenis model risiko gagal. Jadi, walau bank merasa aman karena asetnya "berisiko rendah" seperti US Treasuries, SLR tetap menghitung semua itu sebagai bagian dari leverage. Dan inilah yang jadi persoalan.
SLR diperkenalkan pasca-krisis finansial global 2008 sebagai langkah penguatan kerangka kehati-hatian. Amerika Serikat sendiri menerapkan SLR minimum 3% untuk bank biasa, dan 5% untuk bank-bank besar yang masuk kategori sistemik. Tujuannya jelas: mencegah bank terlalu agresif melebarkan neraca tanpa buffer modal yang memadai.
Masalah Dimulai Saat QE Bertemu SLR
Tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi, Federal Reserve menggelontorkan quantitative easing besar-besaran. Mereka membeli triliunan dolar obligasi negara demi menopang pasar dan likuiditas. Tapi ada efek samping yang jarang disadari banyak orang: deposito membanjiri bank. Karena dana hasil QE itu akhirnya berlabuh di rekening-rekening bank, jumlah aset bank melonjak tajam.
Masalahnya, kenaikan simpanan ini justru menambah beban leverage dalam perhitungan SLR. Ironisnya, meskipun bank menahan lebih banyak Treasury (yang super aman), SLR tidak membedakan antara aset berisiko dan tidak—semua masuk hitungan. Akibatnya, banyak bank besar mulai tertekan. Mereka punya tiga pilihan: menaikkan modal (yang mahal), mengurangi neraca (yang bertentangan dengan arah kebijakan moneter), atau… berharap ada perubahan regulasi.
Solusi: Relaksasi SLR
Waktu itu, Fed memang memberikan pengecualian sementara: Treasuries dan simpanan di Fed tidak dihitung dalam SLR, sehingga memberi napas bagi bank. Tapi kebijakan ini bersifat sementara dan berakhir tahun 2021. Kini, ada rencana dari Federal Reserve untuk mengubah struktur dasar SLR secara permanen.
Salah satu proposalnya: menggeser ambang 5% menjadi 3% plus 50% dari *Method 1 surcharge*. Dengan kata lain, pelonggaran ini bisa mengurangi tekanan leverage sebesar 75–150 basis poin bagi bank besar. Dampaknya? Bank bisa menyerap lebih banyak simpanan, lebih aktif di pasar obligasi, dan secara sistemik—menstabilkan pasar uang dan repo.
SLR = Rate Cut Terselubung?
Meskipun SLR adalah regulasi modal dan bukan kebijakan suku bunga, dampaknya ke pasar setara dengan rate cut. Kita bisa analogikan seperti ini: saat SLR dilonggarkan, bank bisa melebarkan neraca tanpa perlu mencari tambahan modal. Artinya, mereka bisa beli lebih banyak obligasi, menyerap likuiditas, dan ikut menjaga stabilitas harga di pasar utang pemerintah. Semua itu menciptakan efek QE (Quantitative easing) —mirip seperti Fed memangkas suku bunga.
Berdasarkan simulasi yang saya buat, relaksasi SLR sebesar 100 bps bisa menurunkan yield Treasury 2 tahun sebesar 15–25 bps, tergantung sensitivitas pasar. Jika dihitung dalam skala kebijakan moneter, efeknya kira-kira ekuivalen dengan rate cut 25–50 basis poin. Tidak heran, saat Fed menghapus pengecualian SLR di 2021, pasar obligasi langsung volatile. Simulasinini didasarkan pada data historikal, namun menurut saya cukup untuk melihat gambaran ketika kebijakan revisi SLR diketok
Apakah ini semua tanpa risiko? Tentu tidak. Kritik utama terhadap pelonggaran SLR adalah risiko moral hazard. Jika bank dibiarkan memperbesar leverage terlalu jauh tanpa penalti modal, apa yang menjamin mereka tetap prudent? Tapi di sisi lain, kita juga harus realistis: di tengah tekanan likuiditas, bank perlu ruang manuver. Dan regulasi tidak boleh sampai kontraproduktif dengan kebijakan moneter. Di sinilah seni menyeimbangkan antara kehati-hatian dan fleksibilitas diuji.
SLR seharusnya tidak dilihat sebagai angka mati. Dalam dunia keuangan modern yang dinamis dan penuh ketidakpastian, regulasi seperti SLR harus bisa beradaptasi. Mungkin terdengar kontraproduktif karena likuiditas ditingkatkan dengan artificial bukan dengan produktifitas namun Relaksasi bukan berarti kelemahan, tapi bisa menjadi bagian dari toolkit kebijakan, terutama di masa-masa luar biasa.
Namun karena kita tahu risiko tindakan ini, kita sudah siap untuk hedging di aset Store of Value seperti bitcoin dan emas. Tidak memegang cash mungkin juga pilihan terbaik.
SLR INI salah satu titik penting pembalikan arah RISK ASSETS seperti saham dan kripto.
Good luck!
$BBRI $BBCA $BMRI