$SMSM VS $AUTO - Siapa yang Paling Jujur?
Dalam banyak wawancara dan surat tahunan seperti yg terangkum dlm buku The Essays of Warren Buffett: Lessons for Corporate America, Warren Buffett sering menyebut satu prinsip penting yg anehnya justru paling jarang dibahas: jujur itu lebih penting daripada jago. Kalimat terkenalnya berbunyi:
“The CEO’s most important job is to tell it like it is — not sugarcoat it.”
Dan dari sanalah lahir satu prinsip investasi Buffet: candor over cosmetics. Artinya, lebih baik perusahaan bicara apa adanya—tentang masalah, kelemahan, bahkan kesalahan strategi—daripada sekadar memoles laporan tahunan penuh kalimat “pertumbuhan positif” dan “transformasi berkelanjutan” tapi tidak ada isinya.
Karena dlm jangka panjang, investor bukan cuma butuh angka. Mereka butuh narasi yg jujur:
Apakah manajemen benar-benar tahu apa yg terjadi?
Apakah mereka belajar dari kegagalan?
Apakah mereka menulis laporan bkn untuk menyenangkan publik, tp untuk menjelaskan kenyataan?
Sayangnya, banyak perusahaan lebih memilih tampil seperti brosur pameran properti—glossy, penuh jargon, tapi begitu dicek, tanahnya belum dibebaskan. Dan Buffett tidak pernah tahan dgn gaya seperti itu.
Makanya, prinsip ini sangat relevan bagi investor yg ingin berpikir seperti pemilik, bukan spekulan musiman. Kita harus bs membedakan mana laporan yg isinya pengakuan jujur, dan mana yg isinya cuma narasi pencitraan korporat. Buffett menyebut “candor” bukan sekadar sikap, tapi sinyal penting tentang karakter manajemen. Dan karakter itu, buat dia, jauh lebih penting daripada visi bombastis bahkan laba naik sekian persen.
Nah, karena itulah sy akan uji dua emiten otomotif yg relatif mapan berdasarkan tingkat kejujuran manajemennya. Keduanya yaitu PT Selamat Sempurna (SMSM) dan PT Astra Otoparts (AUTO). Mereka dikenal memiliki operasional yg solid, nama besar di sektor komponen kendaraan, dan jejak distribusi global. Tapi sy tdk akan bahas soal kinerja keuangan dulu. Saya mau lihat:
Siapa yang berani bersikap jujur saat kondisi bisnis sedang sulit, bukan hanya ketika kinerja sedang baik?
Siapa yang terbuka menjelaskan risiko dan perubahan besar di industrinya, bukan sekadar menyampaikan hal-hal yang menyenangkan?
Dan siapa yang justru lebih terlihat seperti humas—pandai merangkai kata, tapi miskin makna strategis?
Untuk menjawab itu, kita akan gunakan informasi yg tersedia pada annual report dan membacanya berdasarkan 7 indikator, yaitu:
1. Pengakuan tantangan,
2. Rencana pemulihan,
3. Transparansi risiko,
4. Nada bahasa dan gaya naratif,
5. Respons terhadap isu strategis,
6. GCG dan transparansi formal, dan
7. Visi dan strategi jangka panjang.
Kita mulai dari indikator pertama: Apakah perusahaan berani mengakui tantangan dan kelemahan secara terbuka? Bukan sekadar mengatakan “ada tantangan global” lalu lanjut cerita soal laba naik. Dan di sinilah mulai terlihat perbedaan karakter antara SMSM dan AUTO.
AUTO sepanjang 2020–2024 pada annual reportnya nyaris tidak pernah menyebut adanya kesalahan strategi, proyeksi yg meleset, atau evaluasi diri. Tiap tahun kalimatnya kurang lebih sama: “Kami mampu menjaga performa meski kondisi global penuh tantangan.” Tapi ya, tantangannya tidak pernah diurai, dan tidak ada bagian yg mengatakan “kami salah menghitung X”, atau “kami terlalu optimistis soal Y.” Seolah-olah AUTO hidup di dunia paralel: selalu sukses, tidak pernah salah, dan setiap krisis adalah ajang unjuk kekuatan. Dalam kacamata Buffett, ini red flag: manajemen yg tidak pernah salah biasanya jg tidak pernah belajar.
Sebaliknya, SMSM memang nggak brutal jujur juga, tapi sedikit lebih terbuka. Tahun 2020 mereka menyatakan kalau penurunan ekspor dan gangguan rantai pasok membuat produksi jd goyah. Mereka juga cerita soal biaya logistik yg naik, walau tetap dibungkus agak netral. Tapi minimal, mereka mengakui bahwa ada tekanan nyata dan menyebutnya sebagai hal yg mereka hadapi, bukan hanya diceritakan seperti cuaca.
Indikator kedua soal rencana pemulihan atau strategi adaptasi jg membuka sisi lain. AUTO menyebut digitalisasi, penguatan aftermarket, ekspansi ekspor—tiap tahun. Tapi tidak pernah menyatakan evaluasinya.
Tidak ada penjelasan terkait: Apakah digitalisasi tahun lalu berhasil? Apa hasil ekspansi ekspor ke Afrika tahun sebelumnya? Apakah strategi lama diubah? Semua strategi seperti daftar niat baik, bukan proyek dgn outcome terukur.
SMSM? Mirip. Dalam annual report mereka cerita soal efisiensi energi, diversifikasi pasar, dan optimalisasi lini produksi. Tapi juga tidak pernah mengatakan apakah langkah tahun sebelumnya berhasil atau tidak. Mereka disiplin, iya. Tapi diam juga, iya. Kita yg membaca laporan mereka tahu mereka melangkah, tapi tidak tahu mereka ke mana dan apakah sudah sampai.
Indikator ketiga adalah soal keterbukaan risiko. Nah, ini satu-satunya titik terang. Kedua perusahaan relatif cukup transparan. AUTO secara rutin menyebut soal fluktuasi mata uang, rantai pasok, dan ketergantungan terhadap prinsipal otomotif. SMSM juga tidak kalah: mereka sebut harga logam, potensi ketergantungan vendor luar negeri, bahkan mengakui ketegangan geopolitik sebagai faktor eksternal bisnis.
Jadi, meskipun keduanya hemat bicara soal strategi, mereka cukup rapi dlm menyampaikan risiko. Sayangnya, ini seperti orang yg jago presentasi SOP, tapi tidak menceritakan pengalaman gagalnya implementasi SOP itu sendiri.
Lalu indikator keempat: nada bahasa dan gaya naratif.
AUTO dalam annual reportnya sangat korporat: tiap kalimat seperti disusun oleh AI khusus humas—rapi, aman, dan penuh kalimat indah seperti “kinerja positif didorong oleh sinergi strategi terintegrasi dalam menghadapi disrupsi dinamis sektor otomotif”. SMSM sedikit lebih netral. Bahasa mereka nggak banyak jargon “transformasi”, tapi juga nggak ada kalimat reflektif macam “kami menyadari bahwa strategi tahun lalu belum optimal”. Jadi ya tetap steril—tapi setidaknya bukan yg pretensius.
Kalau pakai kacamata Buffett, perusahaan yg terlalu takut mengatakan “kami belum berhasil” biasanya adalah perusahaan yg lebih fokus terlihat bagus daripada menjadi bagus. Dan sejauh ini, baik AUTO maupun SMSM blm sampai ke level jujur brutal, tapi SMSM setidaknya lebih tenang, tidak sok gagah, dan lebih faktual.
Nah, sekarang kita masuk ke indikator kelima sampai ketujuh—wilayah yg mungkin sering luput dr perhatian investor krn bentuknya bukan angka, tp justru menentukan masa depan: seberapa aktif perusahaan menjawab isu eksternal, bagaimana struktur GCG mereka dipakai, dan seberapa jujur mereka bicara soal visi jangka panjang.
Mulai dari indikator kelima: respons terhadap isu besar di industri. AUTO secara rutin menyebut bahwa elektrifikasi kendaraan adalah tantangan sekaligus peluang. Tapi... cuma sampai di situ. Tidak ada rincian: Apakah lini produk mereka akan terdisrupsi? Apakah ada R&D buat suku cadang EV? Mereka seperti orang yg tahu tsunami datang, tapi masih sibuk selfie di tepi pantai. Padahal, filter oli, busi, dan komponen mesin konvensional jelas akan tergilas jika dominasi EV terjadi lebih cepat dr ekspektasi.
SMSM dalam annual reportnya juga menyebut soal EV, ESG, dan green economy. Tapi sayangnya, reaksi mereka jg tidak berkembang dari tahun ke tahun. Selalu sama: “Kami menyadari pentingnya tren tersebut dan akan menyesuaikan strategi jangka panjang.” Cuma, strateginya tidak pernah dimunculkan. Jadi ya, sama-sama sadar, tapi sama-sama belum memberi bukti konkret. Kalau kata Buffett: Perusahaan yg sadar risiko tapi tidak bertindak, itu bukan hati-hati—itu pasif.
Lanjut ke indikator keenam: struktur GCG dan keterbukaan formal. Nah, ini satu-satunya indikator yg membuat keduanya lulus dengan nilai baik. AUTO dan SMSM secara konsisten punya struktur GCG lengkap: komisaris independen, komite audit, sistem pengendalian internal, dan pelaporan yg disiplin.
AUTO bahkan rutin dapat skor tinggi dalam ASEAN Corporate Governance Scorecard. Tapi jangan salah tafsir: tata kelola yg rapi ≠ kejujuran strategis.
GCG itu seperti pagar rumah—penting, tapi tidak menjamin penghuninya bijak ambil keputusan.
Dan akhirnya, indikator ketujuh: Visi & strategi jangka panjang. AUTO dari 2020 sampai 2024 konsisten mengatakan di annual report mereka mau jadi pemain besar di ekosistem mobilitas masa depan. Tapi... bentuk konkretnya apa? Apakah mereka akan buat komponen EV? Apakah ekspansi aftermarket itu cukup defensif. Tidak dijelaskan. Bahkan porsi investasi ke arah itu pun tidak dibuka. Visinya besar, tapi kabur. Seperti orang yg bilang mau jadi penyanyi internasional, tapi latihan vokalnya sj belum mulai.
SMSM? Lebih konservatif. Visi mereka tidak berubah sejak sebelum pandemi: menjadi produsen filter dan radiator kelas dunia. Tidak ada revisi, padahal struktur industri sudah berubah total. Mereka seolah-olah mengatakan, “Kita udah bagus kok, ngapain diubah.”
Itu bisa jadi tanda disiplin… atau bisa jg tanda denial.
Dan inilah penutup ironinya: dua perusahaan yg kinerjanya stabil, produknya laku, dan manajemennya disiplin… ternyata sama-sama belum berani jujur bicara tentang risiko masa depan dan evaluasi diri. Mereka rapi, efisien, dan teratur. Tapi tidak komunikatif secara strategis. Tidak terbuka soal pelajaran dari masa lalu. Tidak reflektif soal arah ke depan.
Buffett mungkin tidak akan menolak membeli bisnis yg seperti ini kalau harganya murah dan arus kasnya jelas.
Tapi tentu dia juga tidak akan taruh manajemen AUTO atau SMSM di daftar favoritnya. Karena buat Buffett, CEO hebat bukan hanya yg membukukan laba, tapi yg berani mengatakan dengan tegas "kami salah" saat strategi meleset, dan "kami belajar" saat krisis datang.
Dan sejauh ini, baik SMSM maupun AUTO masih lebih sibuk terlihat tangguh, daripada bicara jujur.
Jadi, kalau sy mau jd impostor yg bukan cuma cari pertumbuhan, tapi juga karakter manajemen, berikutnya kalau sy membuka annual report, sy tidak hanya akan membaca angka, tapi jg membaca kejujuran manajemennya.
Disclaimer: Pengujian ini baru sebatas bersumber dari Annual report, stockbitor bisa analisis jg dari public expose serta paparan manajemen di berbagai event agar semakin valid hasilnya. Segala keputusan investasi di tangan masing-masing. $CUAN juga masing-masing, kok.