Perlindungan Nasabah Asuransi di Indonesia
Hari ini ada salah satu member di External Community Pintar Nyangkut di Telegram yang tanya tentang perlindungan nasabah asuransi di Indonesia kalau terjadi gagal bayar. Rata - rata member sih bilang pasrah aja di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kenyataannya memang perlindungan nasabah asuransi di Indonesia memang belum sekuat perlindungan untuk nasabah bank. Di bank ada yang namanya LPS yang bisa menjamin tabungan nasabah selama duitnya kurang dari 2 miliar dan bunga tabungan di bawah bunga LPS. Di bisnis asuransi, mekanisme perlindungan seperti itu belum ada.
Hal itu sudah terbukti pada 4 kasus gagal bayar asuransi paling high profile di Indonesia seperti Jiwasraya, Wana Artha, Kresna Life, dan Bakrie Life. Di mana nasabah mayoritas tidak balik duitnya seperti yang dijanjikan di awal. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di balik janji manis iklan asuransi yang sering muncul di TV, tentang masa tua yang aman, warisan yang tenang, dan hidup yang terlindungi, nyatanya ada realitas pahit yang bikin dada sesak. Ribuan nasabah di Indonesia justru kehilangan uang mereka setelah percaya pada sistem yang katanya diawasi ketat.
Empat kasus besar yaitu WanaArtha Life, Bakrie Life, Kresna Life, dan Jiwasraya, jadi bukti konkret bahwa industri asuransi jiwa kita sedang, atau bahkan sudah, rapuh dari dalam. Bukan cuma perusahaan swasta, bahkan BUMN pun ikut terseret. Dan yang jadi korban seperti biasa adalah masyarakat biasa, pensiunan, guru, karyawan kantoran, ibu rumah tangga. Orang-orang yang menabung sedikit demi sedikit, berharap kelak ada jaring pengaman hidup. Tapi yang mereka dapat malah lubang gelap tanpa dasar.
Kita mulai dari WanaArtha Life yang sejak 2022 sudah dicabut izinnya oleh OJK. Sekitar 9.968 nasabah kehilangan dananya, jumlahnya diperkirakan belasan triliun rupiah. Tokoh sentral dalam drama ini adalah Evelina Fadil Pietruschka, mantan Presiden Komisaris, eks Direktur Utama, dan mantan Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia. Ia juga alumni Pepperdine University, kampus yang sama dengan Menteri Pariwisata 2025, Widiyanti Putri Wardhana. Tapi meskipun satu almamater, nasib mereka bertolak belakang. Widiyanti jadi simbol sukses dan punya kekayaan Rp5,4 triliun. Sementara Evelina jadi simbol kehancuran industri. Bersama suaminya Manfred dan anaknya Rezanantha, Evelina disebut OJK sebagai pemegang saham pengendali yang diduga melakukan tindak pidana asuransi. Namun hingga kini belum kembali ke Indonesia. Lebih lucu lagi, tim likuidasi WanaArtha justru dibentuk oleh mereka sendiri, alias yang diduga membuat uang nasabah raib, sekarang yang ngatur bagaimana uang itu dibagi. Nasabah sampai demo dan gugat OJK karena merasa disuruh pasrah diadili oleh pelaku. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lalu ada Bakrie Life, kasus yang lebih dulu muncul sekitar 2008. Produk mereka yaitu Diamond Investa menjanjikan return 12 hingga 13 persen per tahun, tinggi sekali untuk produk asuransi. Tapi kenyataannya, dana nasabah justru diinvestasikan ke saham-saham grup Bakrie, bukan instrumen aman seperti obligasi. Ketika krisis keuangan global meledak, portofolio ini langsung jeblok. Total uang yang lenyap Rp360 sampai Rp400 miliar. Yang dikembalikan hanya sekitar Rp90 miliar. Sisanya mengambang bertahun-tahun. Bahkan manajemen sempat menjaminkan tanah seluas 77 hektar di Makassar, tapi sampai sekarang tidak ada progres. Baru pada 2017, atau nyaris satu dekade kemudian, izin Bakrie Life benar-benar dicabut. Dan setelah itu? Senyap. Nasabahnya tetap menunggu, seperti menanti hujan di musim kemarau.
Kasus Kresna Life lebih segar, dan lebih absurd. Awalnya mereka minta waktu untuk menyelesaikan klaim nasabah pada Februari 2020. Tapi ternyata, dana 8.900 nasabah senilai Rp6,4 triliun itu justru ditanam di saham-saham afiliasi grup Kresna sendiri. Produk seperti K-LITA dan PIK jadi korban. Ketika gagal bayar, Kresna malah nawarin solusi aneh. Uang nasabah diubah jadi subordinated loan, alias utang ke perusahaan, bukan dana yang harus dikembalikan. Nasabah tentu menolak. OJK akhirnya membekukan usaha pada Agustus 2020 dan mencabut izin pada Juni 2023. Tapi parahnya, pengadilan PTUN justru memutuskan pencabutan izin itu tidak sah, walau pemilik Kresna yaitu Michael Steven sudah ditetapkan sebagai tersangka dan buron oleh Bareskrim. Dunia terbalik. Buronan bisa menang melawan regulator. Sementara saham-saham grup Kresna rontok, delapan emiten turun lebih dari 70 persen, ada yang nyaris delisting. Dan nasabah? Masih demo ke OJK sambil bawa koper berisi dokumen polis.
Tapi semua itu belum ada apa-apanya dibanding Jiwasraya. Ini bukan sekadar kasus, ini aib nasional. Perusahaan BUMN yang berdiri sejak 1859 itu mulai gagal bayar klaim pada Oktober 2018 sebesar Rp802 miliar. Tapi setelah diselidiki, masalahnya jauh lebih dalam. Produk JS Saving Plan menawarkan return 9 sampai 13 persen per tahun, tapi dana nasabah dipakai buat beli saham-saham gorengan dan reksa dana berisiko tinggi tanpa uji kelayakan. BPK mencatat total kerugian negara mencapai Rp16,8 triliun. Sebesar Rp4,65 triliun dari saham dan Rp12,16 triliun dari reksa dana. Bahkan solvabilitas Jiwasraya sempat negatif Rp23,9 triliun, dan dibutuhkan Rp32,9 triliun untuk menyelamatkan neraca mereka. Mantan direksi MYRX seperti Benny Tjokrosaputro, eks pejabat OJK, dan sejumlah elite keuangan ditangkap. Tapi seperti biasa, uang nasabah belum semuanya kembali. Dan meskipun perusahaan dibubarkan, luka kepercayaan itu tak bisa begitu saja sembuh. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Empat kasus, empat nama besar, empat bentuk kegagalan sistemik yang semuanya terjadi karena satu hal yaitu pengawasan longgar, rakus yang dilegalkan, dan publik yang dibiarkan menanggung risiko sendirian. Sering kali para pelaku ini punya gelar mentereng, masuk jajaran tokoh penting industri, bahkan disebut sebagai ikon oleh media internasional. Tapi saat masalah muncul, semua menghilang, dan nasabah disuruh menunggu mekanisme penyelesaian yang isinya cuma janji kosong. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa hampir semua korban adalah masyarakat kecil, yang bukan sedang spekulasi, tapi hanya sedang berharap hidupnya terlindungi.
Ini bukan hanya soal audit atau pencabutan izin. Ini soal nyawa sistem keuangan yang semestinya melindungi, bukan menjerat. Jika tak ada reformasi menyeluruh, dari cara perusahaan mengelola dana, hingga bagaimana regulator menegakkan hukum, maka skenario seperti ini akan terus berulang. WanaArtha, Bakrie, Kresna, Jiwasraya, bisa jadi cuma awal dari daftar panjang yang akan muncul jika kita terus berpura-pura bahwa industri ini sehat-sehat saja. Padahal nyatanya, banyak yang sudah sekarat bahkan sebelum nasabah sadar bahwa polis mereka ternyata bukan perlindungan, melainkan jebakan.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$DMMX $PBRX $BBRI
1/10