$ARNA $IKAI $KIAS - Pelajaran Alokasi Modal dari Buffett

Apakah tugas CEO itu cuma tampil rapi di CNBC sambil bilang “kami optimis”? Bagi Warren Buffett, tugas utama CEO itu bukan promosi, bukan ikut groundbreaking pabrik, apalagi sekadar menyusun KPI pakai template ala-ala. Tugas utamanya adalah mengalokasikan modal secara rasional. Udah, titik.

Ini bukan cuma kalimat indah. Dalam buku The Essays of Warren Buffett: Lessons for Corporate America, Buffett mencurahkan banyak halaman untuk menjelaskan bahwa alokasi modal adalah seni tertinggi dalam manajemen bisnis. Karena dr sinilah semua pertumbuhan, dividen, buyback, sampai valuasi saham berasal.

-------------------------------------------------------
Dan menurut Buffett, alokasi modal yg rasional itu punya ciri-ciri yg cukup brutal standarnya:

Kalau perusahaan bisa menggunakan laba utk hasilkan return tinggi → tahan laba.

Kalau nggak bisa → ya bagi dividen atau lakukan buyback waktu saham lagi undervalued.

Kalau merasa keren bisa akuisisi apa pun tanpa hitung ROIC → siap-siap Buffett kabur dari daftar pemegang saham.
-------------------------------------------------------

Simpelnya, kalau CEO itu pilot, maka alokasi modal adalah peta navigasinya. Tapi masalahnya, banyak CEO malah sibuk ngelap dashboard pesawat biar keliatan glossy, padahal terbangnya nyasar. Makanya Buffett selalu tanya:

"Apakah manajemen ini mengelola modal perusahaan seperti mereka mengelola uang sendiri?"
Kalau jawabannya iya, berarti mereka owner-oriented. Tapi kalau jawabannya "tergantung, Pak, kita tunggu dulu BOD meeting," ya sudah, siap-siap akan ada benturan kepentingan—keputusan populis vs long-term vision. 🤯

Lalu ada hal penting lain. Banyak perusahaan suka sok sibuk ekspansi. Bangun pabrik baru, buka cabang luar negeri, sampai caplok perusahaan kecil, lalu menyebutnya “diversifikasi strategis.” Tapi menurut Buffett, semua itu nggak ada artinya kalau modal yg digunakan tidak menghasilkan return di atas cost of capital. Alias, lebih baik berikan sj modal itu kembali pd pemegang saham. Kalau kamu gak tahu harus pakai duit itu buat apa, kasih balik ke yg punya!

Nah, topik ini jd semakin penting sekarang. Soalnya kita hidup di era di mana semua orang ingin tampil growth dgn mentereng, padahal banyak yg aslinya pakai utang, atau cuma menumbuhkan revenue tanpa untung. Makanya penting utk melihat siapa sj yg benar-benar pandai mengalokasikan modal, dan siapa yg cuma... ya, numpang nama “Tbk”.

Dan di sinilah menariknya: bagaimana kalau kita uji topik ini langsung ke perusahaan-perusahaan yg biasa diabaikan investor, karena sektornya yg membosankan dan minim pemberitaan. Kita akan masuk ke dunia keramik—tapi tenang, bukan utk belajar motif ubin kamar mandi. Kita mau lihat siapa dari emiten keramik ini yg mengerti cara pake duit, dan siapa yg kayak manajer BUMN yg lupa bahwa dana itu dari pemilik.

Langsung sj, kita bedah tiga emiten keramik—ARNA, IKAI, dan KIAS—dari sisi alokasi modal. Kita kupas dividen, capex, buyback, sampai transparansi laporan. Siapa dari ketiganya yg bisa kita sebut rasional dalam mengelola modal. Bukan cuma bisa bikin lantai licin, tapi juga bisa mengubah tiap rupiah modal kerja jadi nilai nyata buat pemegang saham.

Kita mulai dari yg paling sering muncul di watchlist fundamentalis: ARNA (Arwana Citramulia Tbk). Perusahaan ini layaknya murid yg duduk di bangku depan kelas, diam, nggak banyak gaya, tapi nilai ujiannya selalu stabil tinggi. Dari 2020 sampai 2022, ROIC mereka tembus 25–27%—angka yg bahkan bikin banyak perusahaan consumer goods ngiler. Dari sisi dividen, ARNA juga rutin bagi dividen tinggi (payout 70%+), plus rajin melakukan buyback saat pasar undervalue beberapa tahun ke belakang. Ini bukan gaya-gayaan, karena alasan buyback mereka dijelasin gamblang: PER historis, EPS stabil, dan harga pasar di bawah nilai wajar. Mereka bahkan terang-terangan bilang bahwa harga wajar saham mereka itu minimal 15x EPS. Transparansi kayak begini? Langka. Apalagi di sektor keramik.

Tapi kita nggak cuma nilai dari “baik-baik”-nya. Kita lihat juga bagian yg mulai kabur: laba turun ~4–23% dari 2022–2024 dan ROIC ARNA turun jadi ~17% di 2023–2024. Dalam annual report atau public expose tidak dipaparkan dari ROIC ataupun IRR tiap proyek ekspansinya, tetapi dpt kita nilai bahwa penurunan ini masih selaras dgn tekanan margin dan laba bersih akibat kenaikan COGS dan ekspansi pabrik. Melihat dua matriks ini, perusahaan ternyata tidak menghentikan ekspansinya. Meski begitu, nyatanya ARNA tetap bisa menjaga ROIC di atas cost of capital, sehingga tidak menyalahi prinsip Buffett.

Sekarang kita geser ke tetangganya: IKAI (Intikeramik Alamasri Tbk.). Ini contoh emiten yg seolah-olah sedang uji coba buka warung di setiap segmen. Dari keramik, nyebrang ke properti, terus buka hotel, dan tetap berharap semua jalan bareng. Dalam laporan terbarunya, mereka mengatakan capex 2024–2025 akan difokuskan 87% ke manufaktur, sisanya ke properti. Tapi, ya, mereka tidak memberikan estimasi ROIC, IRR, atau bahkan target return kasar dari ekspansi ini. Yang disampaikan? Target produksi. Kayak pabrik itu cuma tugas nyetak output, bukan mencetak value. Dan soal buyback? Nggak ada. Dividen? Nggak juga. Artinya, seluruh laba ditahan entah ke mana, dan ritel seperti kita hanya bisa percaya... atau pasrah.

Nah, lalu ada KIAS (Keramika Indonesia Assosiasi Tbk.). Yang ini mirip perusahaan warisan yg hanya buka kantor karena “ya udah terlanjur Tbk.” Tidak ada capex signifikan, nggak ada ekspansi berarti, buyback nihil, dan dividen pun absen. Tapi mereka jg tidak banyak utang—jadi ya, bukan aktif, bukan agresif, bukan juga kolaps. Mereka seperti menabung dosa ke investor minoritas dlm bentuk stagnasi. Seluruh laba ditahan diam di neraca, tp tidak ada narasi tentang rencana. Dan itu justru yg bikin ngeri—karena kalau perusahaan terlalu diam, seringkali itu bukan karena mereka hati-hati. Tapi karena mereka nggak tahu mau ngapain.

Kalau kita bandingkan ketiganya dari indikator Buffet, ARNA jelas paling mendekati ideal: punya ROIC tinggi, alokasi capex rasional, dividen besar, buyback cermat, dan transparansi niat. Meski tidak sempurna—karena ROIC menurun dan kadang terlalu diam soal ekspektasi return investasi pabrik barunya—tapi setidaknya mereka sadar bahwa modal adalah kepercayaan, bukan cuma dana mengendap.

IKAI lebih mirip petualang yang lupa peta, ekspansi ke banyak tempat tanpa dasar return yg jelas. Boleh punya impian besar, tp tanpa logika pengembalian modal, itu bukan ekspansi—itu mimpi yg ditulis di laporan tahunan.

KIAS? Ya... ini perusahaan yang seperti menganggap modal sebagai fosil: disimpan dlm tanah, nggak dipakai, dan semoga tidak ada yg bertanya-tanya kenapa belum jd minyak. 😹

Satu hal yg Buffett sering katakan:

“The test of capital allocation is not how much you grow, but how well you convert retained earnings into long-term shareholder value.”

Dan dari kaca mata itu, ARNA lulus dgn nilai bagus, IKAI ngulang semester, dan KIAS mungkin sedang tidur di kelas.

Sampai sini, kamu pasti sadar bahwa topik alokasi modal itu bukan cuma buat perusahaan blue chip. Justru di level sektor ‘sepele’ seperti keramik inilah kita bisa melihat siapa yg sungguh memahami cara menggunakan uang, dan siapa yg cuma cari headline.

Dan kalau kamu investor jangka panjang—bukan trader overthinking tiap jam, tiap waktu—ini adalah skill krusial: melihat bukan cuma siapa yg untung, tapi siapa yg tahu cara memakai untung itu.

Karena dalam jangka panjang, seperti kata Buffett, setiap perusahaan adalah mesin pengalih modal. Dan pertanyaanmu sebagai pemilik adalah: mesin ini menghasilkan nilai, atau hanya suara bising?

Disclaimer: Lakukan riset mendalam pada berbagai topik lainnya sebelum membeli. Ini bukan ajakan untuk membeli saham IKAI & KIAS ataupun menjual keramik ARNA.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy