$TOBA - Harga yang Mungkin Sudah Tiba Terlalu Dulu
Seorang investor tua duduk sendirian di pojok warung kopi. Ia tak sedang mencari saham murah, tapi sedang merenungi sesuatu yang lebih langka: harga yang jujur.
Ia membuka laporan keuangan TOBA. Matanya tak berkilat. Sudah lama ia belajar bahwa narasi transisi tak selalu seiring dengan arus kas. EBITDA memang naik, kata manajemen, bisa tembus USD 155 juta tahun ini. Tapi utangnya masih berat, net debt menjejak USD 577 juta.
Ia hitung cepat, seperti kebiasaan lama. EBITDA 2025 diperkirakan USD 155 juta. Kalau pasar mau rasional, maka valuasi pakai EV/EBITDA. Multiple konservatif sektor energi transisi biasanya 5x sampai 6x.
Maka Enterprise Value-nya:
• 5 × 155 juta = USD 775 juta
• 6 × 155 juta = USD 930 juta
Dikurangi net debt sebesar USD 577 juta, nilai ekuitas bersihnya tinggal:
• USD 198 juta (konservatif)
• USD 353 juta (optimis)
Dengan jumlah saham 8,17 miliar dan kurs Rp16.250, nilai wajarnya jadi:
• Sekitar Rp393 per saham (basis 5x)
• Sekitar Rp702 per saham (basis 6x)
Itu pun kalau target EBITDA-nya benar-benar tercapai. Kalau tidak? Nilainya bisa lebih rendah. Maka angka ini bukan kepastian, melainkan kisaran harapan yang butuh penyangga logika.
Tapi harga di pasar hari ini? Sudah Rp815.
Diam-diam, ia tersenyum pahit. Bukan karena TOBA jelek, tapi karena pasar kadang terlalu murah hati kepada narasi, dan terlalu pelit kepada realita. Harga seperti ini bukan harga wajar, ini harga harapan.
"Baru janji, sudah dihargai seperti bukti," gumamnya.
Pasar mungkin sedang mendahului fakta. Dan itu biasa. Tapi yang luar biasa adalah betapa banyak investor ritel yang ikut-ikutan membeli keyakinan, tanpa sadar mereka sedang berdiri di atas harga tanpa bantalan. Tidak ada margin of safety di sini. Tidak ada jarak antara nilai dan harga yang bisa melindungi dari kesalahan.
Seperti kata Warren Buffett, “The margin of safety is always dependent on the price you pay. The higher the price, the thinner the ice.”
TOBA sedang berubah, iya. Tapi sebagian besar EBITDA-nya masih dari batu bara. Green segment-nya baru benih. Dan harga sahamnya... sudah seperti pohon yang dipanen, padahal batangnya masih licin lumpur.
Seseorang bertanya, “Pak, apakah TOBA layak dibeli?”
Ia menjawab, “Kalau kamu beli karena narasinya, pastikan kamu tahu siapa yang bikin cerita. Kalau kamu beli karena valuasinya, ya sekarang bukan waktunya.”
TOBA adalah kapal yang sedang memutar haluan. Tapi jangan lupa, beberapa orang di atas kapal sudah naik duluan, waktu bensinnya masih batu bara dan harga tiket masih murah. Mereka tahu kapan harus turun.
Dan buat kita yang sering datang paling akhir, karena membaca cerita setelah harganya naik, lebih baik belajar menonton ombak... sebelum nyemplung ke laut yang belum tentu dalam.
Karena dalam dunia saham, terkadang
yang membuat rugi bukan sahamnya,
tapi keyakinan yang dibeli terlalu mahal.
Note: Untuk cerita IPO yang ditunggu-tunggu silahkan lihat certanya di sini : https://cutt.ly/1rWNABG6
$CDIA $CHEK