$AISA - Menguji Efisiensi Laba pada Turnaround Company
Semua orang tahu bahwa laba bersih itu penting. Tapi tdk semua orang sadar, seberapa besar ongkos yg harus dibayar perusahaan untuk mencetak angka laba itu? Kadang kita melihat laporan keuangan yg tampak kinclong. Labanya naik, margin membaik, tapi kasnya justru makin tipis.
Di sisi lain, ada juga emiten yg labanya belum spektakuler, tp saldo kasnya tetap tebal. Di sinilah kita mulai curiga. Jangan-jangan ada yg tersangkut di piutang, numpuk di gudang, atau malah dibayarkan duluan ke vendor. Makanya, membaca kinerja keuangan tak bisa berhenti di angka laba sj. Harus dilihat jg, apakah untuk menghasilkan laba itu, perusahaan harus mengorbankan terlalu banyak modal kerja?
Dari pertanyaan itu lahir satu pendekatan sederhana tapi relevan, yaitu membandingkan mutasi laba bersih dgn mutasi modal kerja operasional bersih. Kalau laba naik lebih besar dr tambahan modal kerja operasional, berarti perusahaan efisien, bukan hanya bisa menutup kebutuhan operasional, tapi masih menyisakan kas. Itulah yg disebut surplus.
Tapi kalau modal kerja yg bertambah lebih besar dr pertumbuhan laba, bahkan membuat kas jd defisit, kita perlu hati-hati. Bisa jadi itu tanda kalau tiap kenaikan omzet justru membuat napas keuangan makin pendek.
Tapi lebih jauh dari itu, pendekatan ini jg memberi sinyal soal kualitas pertumbuhan. Karena dlm dunia usaha, idealnya setiap tambahan modal kerja bukan cuma dibayar balik, tapi jg bisa melipatgandakan laba di masa depan.
Jadi, saat kita menemukan perusahaan yg cuma butuh sedikit tambahan modal kerja tp bisa mendongkrak laba secara signifikan, di situlah kita melihat bentuk kinerja yg paling efisien. Dan itulah yg seharusnya dicari investor. Bukan cuma angka laba besar, tapi laba yg lahir dr mesin usaha yg hemat bahan bakar. Kita bisa menyebutnya laba yg efisien.
Pendekatan ini secara teknis perhitungannya mengikuti kerangka:
--------------------------------------------------------------------------------
Surplus (Defisit) Kinerja Operasional = Mutasi Laba Bersih – Mutasi Modal Kerja Operasional Bersih
Modal kerja Operasional bersih sendiri dihitung sebagai:
(Aset Lancar – Kas & Setara Kas) – (Liabilitas Lancar – Utang Bank & Kewajiban Sewa)
--------------------------------------------------------------------------------
Kalau hasilnya positif, berarti mesin usaha menghasilkan kas yg berlebih. Kalau negatif, ya berarti pasaknya masih lebih besar dr tiangnya. Inilah cara paling jujur untuk menilai apakah suatu perusahaan benar-benar menghasilkan surplus dr dalam, atau sekadar terlihat menguntungkan karena piutang dan stok numpuk di gudang.
Pendekatan ini makin relevan kalau kita mengulik emiten yg sedang berubah arah. Entah itu baru bangkit dr masa kelam, atau sedang transisi jd perusahaan yg lebih sehat. Salah satu contoh nyata ya AISA, alias PT FKS Food Sejahtera Tbk.
Dulu namanya sering muncul gara-gara drama beras dan skandal utang, tapi sekarang mulai dilirik lg krn story turnaroundnya. Seperti diceritakan oleh gambar 3 yg sy lampirkan, lewat uji efisiensi laba ini, cerita AISA yg tadinya penuh kabut bisa jd jauh lebih terlihat terang.
AISA sebenarnya bukan pendatang baru. Dulu pernah jd jagoan di pasar beras nasional, sambil jg menjual produk makanan ringan dan pokok yg sangat familiar, dari mie, bihun, sampai merk Taro dan Gulas. Tapi seperti banyak cerita emiten yg terlalu ambisius, ekspansi AISA malah jd bumerang.
Sekitar 2014, utangnya mulai bengkak, lini bisnis berasnya mulai merugi, dan reputasi mulai kusut karena skandal. Sampai akhirnya di 2017, segmen beras resmi tumbang. Yang tersisa hanya bisnis makanan ringan. Ibarat kapal besar yg terpaksa jalan pakai dayung karena mesinnya rusak.
Tapi kejatuhan nggak selalu jd akhir. Tahun 2020, FKS Group datang sebagai penyelamat. Bukan cuma suntik dana Rp329 miliar lewat private placement, tapi jg ambil alih kendali. Di akhir tahun, tercatat mereka pegang 70% saham. Dan sejak saat itu jg, arah AISA berubah total.
Bisnis beras ditutup rapat, strategi dirombak, dan perusahaan difokuskan ke produk consumer goods yg lebih ramping dan scalable. Produk makanan ringan seperti Mie Kremezz dan Taro, serta aneka produk bihun (Bihunku, Cap Tanam Jagung & Superior) jadi andalan utama.
Ekuitas yg sebelumnya minus Rp1,6 triliun, ya, minus, bukan salah ketik😹 berubah jadi positif Rp828 miliar cuma dalam waktu satu tahun. Tapi tentu sj, laporan ekuitas belum bisa memberikan jawaban lengkap. Apa pemulihan ini beneran kokoh? Atau baru sebatas tambal sulam neraca?
Nah, di titik inilah analisis efisiensi laba mulai punya tempat. Tahun 2020 jd momen tak lazim bagi AISA. Dari sisi arus kas, ini bukan sekadar tahun pulih, tapi anomali positif yg sulit diulang. Laba bersih melonjak drastis, bukan krn kenaikan penjualan atau operasional yg efisien, tapi lebih karena efek pengurangan kewajiban utang dan penyesuaian neraca.
Tapi menariknya, di saat yg sama manajemen jg berhasil melepas beban modal kerja secara signifikan, dr inventory, piutang, sampai liabilitas jangka pendek ikut menyusut. Hasil akhirnya, AISA bukan cuma tampak untung di atas kertas, tapi jg menghasilkan kas dlm jumlah besar. Surplus operasionalnya tembus lebih dr Rp1 triliun. Angka yg luar biasa untuk perusahaan sekelas ini. Ibaratnya, mereka dapat "bensin penuh" justru saat baru keluar dr bengkel krisis.
Tahun 2021 jd masa transisi awal yg belum memberi banyak ruang bernapas. Laba bersih memang sempat berbalik positif ke Rp9 miliar, cukup untuk menandai bahwa AISA mulai bergerak dari zona krisis. Tapi kalau dilihat dari sisi efisiensi kas, sinyalnya blm meyakinkan. Modal kerja bersih naik sekitar Rp17 miliar, menandakan perusahaan harus menyuntik dana tambahan utk menopang kegiatan operasional hariannya.
Dan ketika dibandingkan dgn tahun sebelumnya, muncul satu fakta penting, yaitu bahwa laba AISA di 2020 memang besar, tp sebagian besar berasal dr proses restrukturisasi utang dan penyesuaian kewajiban, bukan dr kinerja usaha inti. Bisa dibilang, angka Rp1,2 triliun itu adalah hasil dr perombakan neraca, bukan buah dari penjualan, margin, atau rotasi bisnis normal.
Maka wajar jika di 2021, ketika seluruh efek itu menghilang, performa AISA terlihat seperti menurun drastis. Padahal sebenarnya ini hanya menunjukkan bahwa perusahaan sedang kembali berdiri di atas kaki operasionalnya sendiri.
Hasil akhirnya, selisih antara mutasi laba bersih dan kenaikan modal kerja menyebabkan defisit kinerja kas hingga Rp1,21 triliun. Bukan karena bisnis makin lemah, tapi karena pembanding tahun sebelumnya terlalu istimewa untuk dijadikan patokan berulang.
Memasuki 2022, kondisi justru memburuk. Bukannya membaik, AISA kembali mencatat rugi bersih sebesar Rp62 miliar. Di sisi lain, beban modal kerja makin menguat. Piutang usaha membengkak, persediaan naik, sementara utang dagang hanya tumbuh tipis. Total mutasi modal kerja bersih tercatat naik Rp51 miliar, yg artinya perusahaan masih harus mengikat lebih banyak uang untuk menopang aktivitas operasional, meski tak menghasilkan laba.
Kombinasi antara rugi operasional dan kebutuhan modal kerja yg makin besar ini menyebabkan defisit kinerja kas mencapai Rp122 miliar. Bukan sekadar angka negatif, tp sinyal bahwa sistem kerja belum bisa mengubah pertumbuhan jd efisiensi. Kalau di 2021 bensinnya bocor, maka di 2022, mesinnya jg mulai tersendat.
Tahun 2023 jd titik balik yg lebih konstruktif bagi AISA. Laba bersih mulai pulih ke Rp19 miliar. Masih kecil, tp cukup jd sinyal bahwa roda usaha mulai bergerak ke arah yg lebih sehat. Meskipun kebutuhan modal kerja naik Rp69 miliar, sebuah injeksi tambahan agar bisnis tetap berputar.
Tapi di sinilah menariknya. Meski harus nambah modal kerja, AISA masih bisa mencetak surplus kinerja sebesar Rp12 miliar. Kondisi ini mencerminkan efisiensi awal, karena tambahan modal kerja bukan sekadar diserap sistem, tapi bisa mendorong laba yg proporsional.
Lebih dari itu, bila kita perhatikan posisi modal kerja sejak 2020 itu angkanya negatif. Hal ini sendiri bukan sinyal bahaya, tp justru bs dibaca sebagai kekuatan struktur bisnis. Dengan kas tetap tumbuh dan utang dagang tetap tinggi, AISA menunjukkan bahwa mereka punya daya tawar terhadap pemasok, bisa menunda pembayaran tanpa mengganggu distribusi.
Ini model kerja yg mirip dgn pemain besar. Barang keluar duluan, supplier dibayar belakangan, sementara kas sudah masuk lebih awal. Strategi ini hanya bisa dilakukan oleh emiten yg dipercaya rantai pasoknya.
Dan memang, pd tahun 2023 itu AISA mulai menata ulang sistem fondasinya: ekspansi ke pasar ekspor seperti Spanyol, perkuat brand “Bihunku”, dan mengadopsi sistem SDM digital Darwinbox. Artinya, mereka nggak cuma mengejar laba, tapi jg membangun ekosistem kerja yg memungkinkan efisiensi itu berulang di tahun-tahun mendatang.
Masuk 2024, arah pemulihan AISA makin matang dan terstruktur. Gerry Mustika, eks direktur $SIDO, emiten FMCG yg dikenal hemat dan disiplin kas, resmi menjabat direktur utama. Penunjukan ini bukan sekadar ganti orang, tapi sinyal bahwa perusahaan mulai membangun budaya efisiensi dari pucuk pimpinan.
Dan hasilnya langsung terasa di angka. Laba bersih melonjak 270% ke Rp69 miliar, kas naik lebih dari 250%, kapasitas produksi diperluas, dan struktur ekuitas menguat. Tapi yang paling menarik? AISA berhasil mencatat pertumbuhan laba tanpa perlu menyuntik tambahan modal kerja.
Modal kerja bersih justru berkurang Rp35 miliar dibanding tahun sebelumnya. Artinya, perusahaan bisa menghasilkan pertumbuhan tanpa mengunci dana lebih besar di piutang atau persediaan. Ini kondisi langka, karena biasanya laba naik itu dibayar mahal lewat kas yang tertahan di aset lancar.
Tapi di 2024, AISA malah melakukan sebaliknya: menurunkan beban kerja harian sambil tetap mengerek pendapatan dan profitabilitas. Piutang usaha memang melonjak, khususnya dari pihak ketiga, yg menunjukkan ekspansi penjualan lebih sehat dan lepas dr potensi benturan kepentingan.
Tapi di sisi lain, perputaran utang dagang dan manajemen inventory berjalan efisien, sehingga secara net keseluruhan modal kerja malah longgar. Kombinasi ini bikin AISA mencetak surplus kas operasional Rp85 miliar, bukti bahwa pertumbuhan mereka tahun ini bukan cuma agresif, tapi jg sangat hemat bahan bakar. Dan dr sinilah, AISA mulai menunjukkan tanda-tanda sebagai emiten yg bukan cuma bangkit, tapi jg mulai layak dipercaya kembali.
Transformasi AISA dalam lima tahun terakhir memang membentuk story turnaround yg pantas diperhatikan. Mereka bertahan di 2020 lewat suntikan modal dan momentum restrukturisasi besar-besaran, lalu tersandung di 2021–2022 saat kas kembali tersedot, baik karena laba yg tipis maupun beban modal kerja yg membengkak.
Titik balik baru muncul di 2023, ketika efisiensi mulai terlihat. Bukan lewat pertumbuhan omzet, tapi dr cara mereka mengelola modal kerja. Dan di 2024, arah itu makin jelas. Laba melonjak dan yg lebih penting adalah modal kerja menyusut. Untuk pertama kalinya sejak lama, AISA bukan hanya mencetak laba, tapi melakukannya dgn efisiensi yg menghasilkan surplus nyata. Ini bukan sekadar pemulihan di laporan laba rugi, tapi pertanda bahwa perusahaan mulai mengerti irama sehat antara ekspansi dan cashflow.
Tapi kalau bicara konsistensi, kita tetap harus jujur. Dari lima tahun terakhir, hanya dua yg benar-benar mencatat surplus kas operasional secara wajar, sementara dua lainnya mengalami defisit berat, dan satu tahun lagi dibantu oleh efek luar biasa restrukturisasi.
Jadi meskipun arah perbaikannya menjanjikan, rekam jejaknya belum cukup panjang utk dibilang stabil. Strategi efisiensi SDM, ekspansi ke pasar ekspor, penguatan brand awareness dan pembenahan supply chain memang layak diapresiasi.
Tapi pasar nggak cuma menilai usaha, pasar menunggu pola. Karena pada akhirnya, turnaround bukan sekadar soal bisa untung atau tidak. Tapi soal apakah tiap kenaikan laba bisa lahir dari mesin usaha yg efisien, dan bukan dari pembengkakan modal kerja yg terus-menerus. Kalau jawabannya “iya”, maka kita patut senang atas progres AISA, tapi tetap waspada agar euforianya nggak keburu mendahului hasil nyatanya.
Akhir kata, kalau teman-teman stockbitor tertarik menguji emiten lain dgn pendekatan serupa, ada baiknya mulai dari $ADES (Akasha Wira International Tbk.). Barangkali teman-teman bisa menemukan story turnaround yg berbeda.
Disclaimer: Lakukan analisis ulang secara pribadi, keputusan investasi merupakan hasil penilaian masing-masing. Bila ada salah data atau angka, mohon dikoreksi.
1/3