$ADES - Strategi Gesit atau Lubang Gelap Regulasi?
PT Akasha Wira International Tbk (ADES) mulai ramai diperbincangkan lg—enggak rame-rame jg sih. Bukan semata krn penjualan galonnya yg melejit atau laba bersihnya yg lompat tiga kali lipat dlm tiga tahun terakhir. Tapi karena satu pertanyaan sederhana: siapa sebenarnya yg mendistribusikan produk-produk ADES ke pasar?
Tidak seperti SIDO atau CLEO yg secara terbuka menyebutkan entitas PT anak usaha atau terafiliasi sebagai distributor resmi, ADES tidak pernah menyebut secara eksplisit siapa pihak yg menangani distribusinya. Nama distributor tak muncul di laporan keuangan, tak disebut dalam laporan tahunan. Sekilas, seolah tdk penting. Tapi bagi investor kritis, justru di situlah petunjuk penting dimulai. Thx to om @ipohunter2 🙏
Setelah ditelusuri, muncul satu dugaan kuat: bahwa distribusi dilakukan langsung oleh divisi internal ADES, bukan oleh anak usaha berbadan hukum terpisah. Satu atap. Satu PT. Produksi dan distribusi dijalankan bersama-sama.
Nah, praktik ini seperti minum air dari gelas bening: tampak jernih, tapi bisa dua rasa—rasa melon (green flag) atau rasa semangka (red flag).
Pertama-tama, ini bisa jd strategi cerdas. Bisa jadi lho yaa. Jd dengan tdk memecah struktur distribusi ke dlm anak usaha tersendiri, ADES berpotensi memotong biaya overhead, mempercepat pengambilan keputusan, dan lebih responsif terhadap dinamika pasar, khususnya di ranah digital dan omnichannel.
Strukturnya: satu sistem ERP, satu manajemen inventaris, satu tim sales, semua di bawah satu payung hukum. Lincah, hemat, dan sangat sesuai dgn tren distribusi modern, khususnya di FMCG yg harus cepat beradaptasi dgn e-commerce, marketplace, dan direct-to-consumer platform—termasuk salon kecantikan? 💆
Dan jika benar divisi distribusi ADES telah memiliki izin resmi (NIB/SIUP) sbg unit usaha internal, maka dr sisi hukum dan audit, tidak ada pelanggaran. Akuntan publik pun mungkin jd tak berkewajiban mencatat sebagai transaksi pihak berelasi karena semua berlangsung di dalam satu badan hukum yg sama.
Maka justru ini bisa jd keunggulan kompetitif ADES dibanding FMCG lain yg masih terjebak dalam model distribusi konvensional yg gemuk dan lambat.
Namun, sisi lain dr dugaan ini tak kalah penting. Jika ternyata distribusi dilakukan tanpa legalitas resmi, tanpa izin usaha dagang terpisah, maka potensi masalahnya cukup serius. Ditambah dari hasil pencarian pribadi, sy pun belum menemukan perusahaan publik yg terbukti—dengan dokumen valid—menggunakan metode distribusi seperti ADES. Mungkin teman-teman ada yg bisa menemukan?
Permendag No 22 Tahun 2016 secara eksplisit melarang produsen berperan sekaligus sebagai distributor, kecuali memenuhi syarat tertentu. Memang, regulasi ini telah direvisi lewat Permendag No 29 Tahun 2019, yg memberi beberapa relaksasi untuk produsen tertentu, terutama UMKM atau skala terbatas. Tapi apakah ADES termasuk yg diberi pengecualian? Ini masih perlu klarifikasi.
Pasal 19 ayat 4 yg menjadi sorotan memang sudah dirombak, “Produsen skala usaha besar dan menengah serta Importir dilarang mendistribusikan Barang kepada Pengecer” direvisi menjadi “Importir yang tidak bertindak sebagai Distributor dilarang mendistribusikan Barang secara langsung kepada pengecer.” Frasa tentang produsen skala besar/menengah dihapus. Dengan kata lain: larangan utk produsen distribusi langsung ke pengecer dihilangkan.
Namun tetap saja, jika distribusi tidak memiliki entitas legal yg sah dan tidak dijelaskan ke publik, maka investor akan sulit menilai apakah margin keuntungan ADES benar-benar berasal dr efisiensi, atau ada distribusi laba internal yg tidak terungkap secara transparan.
Ditambah lagi, fakta bahwa ADES belum pernah membagikan dividen terutama sejak diambil alih oleh Sofos Pte Ltd—membuat investor bertanya-tanya: apakah keuntungan perusahaan dinikmati seluruhnya oleh pihak internal, sementara pemegang saham publik hanya menggenggam kertas tanpa arus kas?
Ketiadaan dividen, distribusi internal yg tidak transparan, dan struktur kepemilikan melalui entitas luar negeri seperti BVI menambah lapisan pertanyaan. Apakah ini hanya strategi fiskal? Atau justru penghindaran dari kewajiban keterbukaan?
Pada RUPS ADES nanti, investor ritel—meski hanya punya kurang dari 10% saham—masih punya hak suara. Memang tak bisa menentukan hasil, tapi bisa menentukan nada.
Investor bisa (dan sebaiknya) mengajukan pertanyaan resmi, baik melalui:
- Email ke bagian investor relations
- Kehadiran langsung di RUPS atau menitipkan pertanyaan lewat kuasa
- Melapor ke OJK atau BEI jika dirasa perlu
Beberapa pertanyaan yg patut diajukan misalnya:
Apakah distribusi dilakukan oleh divisi internal atau pihak ketiga?
Jika internal, apakah divisi tersebut memiliki izin usaha resmi (NIB/SIUP)?
Apakah ada pengecualian dari Permendag No 29/2019 yg membolehkan model distribusi ini?
Keterbukaan bukan sekadar formalitas. Ini bagian dr perlindungan investor, dan pondasi tata kelola yg sehat. Dan investor publik punya hak penuh untuk tahu—bukan hanya soal berapa laba yg tercatat, tapi ke mana laba itu benar-benar mengalir.
Kisah ADES adalah potret menarik dr transformasi FMCG lokal. Bisa jd ini cerita sukses tentang efisiensi. Bisa juga ini sinyal bahwa kita harus lebih kritis terhadap struktur tersembunyi di balik kinerja kinclong.
Yang jelas, kita tak boleh puas hanya karena airnya tampak bening. Sebelum diteguk, pastikan itu benar-benar air, bukan ilusi dari galon kosong yg sudah diteguk lebih dulu oleh pihak yg tak terlihat.
Jangan sampai haus akan cuan membuat kita lupa bahwa di pasar modal, yg paling cepat bukan selalu yg paling untung. Tapi yg paling teliti, itulah yg paling selamat.
Kalau kamu setuju, bantu dorong keterbukaan.
Kalau kamu ragu, tahan dulu dana kamu.
Karena dalam dunia investasi, pertanyaan itu gratis. Tapi diam? Bisa mahal bayar risikonya.
Disclaimer: artikel ini bukan ajakan membeli atau menjual saham. Gunakan penilaian sendiri sebelum membuat keputusan investasi.