$ADES – Bertumbuh di Tengah Gejolak

Siapa sangka, di tengah gempuran pandemi, fluktuasi daya beli masyarakat, sampai konflik geopolitik global yg bikin harga energi jungkir balik, ada satu emiten barang konsumsi yg justru melesat tajam dalam sunyi? PT Akasha Wira International Tbk, atau yg lebih dikenal dgn kode saham ADES, barangkali bukan nama yg sering muncul di headline forum-forum saham atau masuk top ten most active. Tapi justru di situlah menariknya—ketika banyak perusahaan besar terseok-seok mempertahankan profit, ADES malah mencatat pertumbuhan penjualan hingga nyaris dua kali lipat dalam empat tahun terakhir. Dari Rp935 miliar pd 2021 melonjak ke Rp1,96 triliun pd 2024. Nggak main-main, laba bersihnya pun ikut naik hampir dua kali lipat, dari Rp266 miliar jadi Rp527 miliar. Kinerja ini nggak cuma hasil hoki atau angin surga. Ada transformasi mendalam di belakangnya.

Salah satu cerita besar di balik lonjakan ini adalah strategi ekspansi organik ADES, terutama lewat peningkatan nilai aset tetap. Bukan sekadar belanja mesin ala kadarnya, tapi investasi jangka panjang yg terukur. Mulai dari pembelian mesin produksi makanan Mujigae pd 2021, lalu tanah dan pabrik baru di Cikande pd 2022, ekspansi bangunan pabrik dan akuisisi mesin tambahan pd 2023, sampai akuisisi lahan strategis utk gudang dan ekspansi pabrik di Daan Mogot dan Cibinong pd 2024. Kalau ada investor yg suka liat pabrik berdiri megah dgn mesin berderu keras—itulah ADES sekarang. Nggak cuma menjual mimpi, tp menunjukkannya lewat neraca.

Yang lebih menarik, pertumbuhan ini ditopang oleh pergeseran portofolio yg cukup ciamik. Segmen makanan & minuman berhasil jadi motor utama dgn CAGR 33,5%, unggul jauh dari segmen kosmetik yg "hanya" tumbuh 21,5%. ADES paham bahwa selera konsumen berubah. Mereka nggak sekadar menjual air kemasan dan produk rambut, tapi mulai masuk ke ranah F&B kekinian. Mujigae misalnya, makanan siap saji rasa Korea yg bikin anak muda auto-checkout di e-commerce. Belum lagi Wonhae, minuman berasa yg cukup viral di sosial media. Di saat perusahaan besar lain masih kelimpungan menyesuaikan produk dgn gaya hidup post-pandemi, ADES sudah gaspol dr awal.

Tentu aja, semua ini nggak lepas dr strategi distribusi mereka. ADES jeli melihat tren. Distribusi tradisional ttp dipelihara, tapi porsi digital dinaikkan habis-habisan. Mereka manfaatkan e-commerce, live streaming, sampai media sosial utk meningkatkan visibilitas. Pendekatan omnichannel ini bikin produk ADES makin gampang dijangkau siapa pun—baik di mall, warung, atau layar HP. Makanya, ekspansi penjualan mereka terasa organik tapi gesit.

Nah, kita coba sandingkan dgn pemain lain di sektor yg sama. $UNVR, sang raksasa, sempat tumbuh 0,3% doang pas pandemi. $MYOR malah sempat turun laba bersihnya. Wajar sih, perusahaan besar cenderung lambat adaptasi, apalagi kalau core mereka terlalu terikat pd pola konsumsi klasik. Di sisi lain, ADES punya keunggulan lincah—organisasi ramping, keputusan cepat, dan leadership yg agresif. Mereka bs nyalip di tikungan saat yg lain lagi sibuk rapat direksi.

Tapi, tentu sj, kita nggak bisa cuma lihat sisi gemerlapnya aja. ADES tetap punya risiko. Pertama, margin mereka bisa kecekik kalau harga bahan baku naik atau ada tekanan biaya logistik. Lalu, karena mereka juga ada ekspor produknya, nilai tukar bisa jadi pedang bermata dua. Selain itu, sektor makanan dan kosmetik tuh sangat sensitif terhadap tren. Kalau konsumen tiba-tiba bosen atau muncul pemain baru dgn produk lebih kekinian, ADES harus siap pivot cepat.

Sekarang, soal valuasi. Kalau pakai pendekatan Peter Lynch, ADES cenderung masuk kategori “fast grower”—saham yg pertumbuhannya di atas rata-rata industri, dan biasanya dihargai lebih tinggi. Lynch suka cari saham model begini, tapi dia jg hati-hati: fast grower itu bagus, tapi valuasinya harus masuk akal. Dari data terakhir, ADES punya EPS TTM sebesar Rp919,1. Dgn harga saham Rp10.525, berarti PER-nya sekitar 11,45x. Murah? Relatif. Dibanding sektor consumer goods yg kadang PER-nya bisa 20–30x, ini tentu terjangkau. Tapi kita jg mesti bandingkan dgn pertumbuhannya. Dgn CAGR laba 23% selama empat tahun terakhir, rasio PEG-nya kurang dari 0,5—artinya ini termasuk undervalued kalau kita ikut logika Lynch.

Kalau pakai EV/EBITDA? Nah ini menarik. Enterprise value (EV) ADES saat ini sekitar Rp5,3 triliun, dgn EBITDA TTM sekitar Rp697 miliar. Jadi EV/EBITDA-nya di kisaran 7,7x. Di industri consumer goods, angka ini termasuk moderat. UNVR misalnya pernah tembus 12–14x. Jadi lagi-lagi, ADES masih kelihatan punya ruang utk rerating valuasi.

Tapi, jangan senang dulu. Dunia lagi nggak damai. Ketegangan antara Iran dan Israel meledak jadi konflik terbuka. Dampaknya? Harga minyak bisa naik, ongkos logistik bisa melonjak, dan daya beli konsumen bisa terganggu. ADES, meski bukan emiten yg langsung tergantung pada harga energi, tetap bisa kena getahnya. Biaya distribusi bisa naik, ekspor bisa terganggu, dan permintaan domestik bisa melambat kalau inflasi ikut merangkak. Meski begitu, pengalaman mereka survive di masa pandemi bisa jd bekal penting. Kalau strategi mereka tetap fleksibel dan efisien, ADES berpeluang ttp bertahan bahkan tumbuh di tengah gejolak.

Kita lihat apakah strategi bertahan ADES mampu menandingi emiten besar lainnya yg sudah lebih dulu menguasai pasar. UNVR mungkin kuat di merek, tapi lemah di kecepatan inovasi. MYOR punya diversifikasi luas, tapi lebih rigid. ADES, dgn fleksibilitas dan fokus pada segmen niche yg cepat bertumbuh, bisa jadi kuda hitam baru sektor consumer goods.

Tapi tentu saja, jadi kuda hitam nggak cukup hanya bermodalkan kecepatan. Di dunia saham, investor bukan cuma cari yg lari cepat, tapi juga yg bisa tahan maraton. Pertanyaannya sekarang, apakah ADES punya stamina utk bertahan dalam jangka panjang? Nah, di sinilah kita mulai bicara soal kualitas pertumbuhan dan arah strategis perusahaan.

Salah satu sinyal yg layak diperhitungkan adalah bagaimana ADES membangun daya tahan struktural lewat penguatan fundamental. Gak cuma dari sisi operasional dan distribusi, tapi jg dari sisi keuangan. Rasio utang mereka tetap rendah, bahkan hampir nggak ada pinjaman berbunga di neraca. Ini penting banget, apalagi di tengah era suku bunga tinggi kayak sekarang. Banyak emiten sektor consumer yg jebol margin gara-gara beban bunga—ADES bisa selamat dari jebakan ini.

Lalu dari sisi ekspansi, kita lihat bahwa ADES gak sekadar ‘jualan rame’ di depan aja. Mereka bangun pondasi produksi dan logistik yg kuat. Sejak 2021 sampai 2024, aset tetap mereka tumbuh hampir 100%, naik dari sekitar Rp500-an miliar ke hampir Rp1 triliun. Ini bukan sekadar angka, tapi bentuk konkret dari visi jangka panjang. Pabrik di Cikande dan Cibinong, gudang logistik baru, sampai belanja mesin dan peralatan produksi, semua ini menunjukkan niat kuat utk terus scaling up. Dan seperti yg kita tahu, di industri barang konsumsi, siapa yg menang logistik dan efisiensi, dia yg bertahan lama.

Sisi lain yg patut diperhatikan adalah positioning pasar. ADES tahu betul mereka nggak bisa head-to-head langsung dgn raksasa macam Unilever atau Mayora dalam hal volume. Maka mereka pilih jalur zigzag: masuk ke niche market yg sedang naik daun, utamanya segmen Gen-Z dan milenial. Lewat Mujigae, mereka tangkap tren makanan Korea yg lagi hits. Lewat Wonhae, mereka masuk ke pasar minuman rasa-rasa yg disukai anak muda. Ini bukan cuma soal selera, tapi juga soal pola konsumsi baru. Dan ADES kelihatan cukup lihai menyesuaikan tone brand mereka dgn media sosial dan e-commerce—tempat di mana milenial dan Gen-Z nongkrong tiap hari.

Kalau bicara daya saing, ya jelas mereka belum bisa nandingin distribusi segede Unilever. Tapi ADES menang di kelincahan. Kayak startup, mereka cepat uji pasar, cepat pivot kalau nggak works, dan cepat eksekusi kalau nemu ceruk baru. Di saat brand besar harus ngelalui rantai birokrasi panjang buat ngeluncurin produk, ADES udah duluan jualan live shopping. Dan di dunia FMCG yg makin digital dan segmented, itu adalah senjata penting.

Tentu semua strategi ini nggak imun dari risiko. Kita udah bahas dampak perang Iran-Israel sebelumnya, tapi perlu diperluas sedikit. Di luar risiko biaya energi dan logistik, ada risiko lanjutan berupa tekanan inflasi dan perubahan pola belanja masyarakat. Kalau inflasi global meningkat, konsumen bisa shifting ke produk-produk yg lebih murah, atau bahkan mengurangi belanja discretionary kayak kosmetik dan minuman rasa. Di titik ini, ADES harus benar-benar menjaga harga jual agar tetap kompetitif tanpa mengorbankan margin. Untungnya, dgn investasi aset tetap yg udah dilakukan, mereka berpeluang tekan cost produksi di masa depan.

Di samping itu, ADES tetap punya PR besar di sisi brand equity. Meskipun mereka udah punya portofolio produk yg menarik, awareness dan loyalitas konsumen masih perlu ditingkatkan. Mereka belum sebesar Pepsodent, Sunsilk, Roma, atau Le Minerale dalam hal top-of-mind branding. Tapi justru di sinilah letak potensi upside mereka. Kalau ke depan ADES bisa konsisten jaga kualitas produk sambil bangun brand identity yg kuat, maka valuasi mereka bisa naik bukan cuma karena EPS, tapi jg karena rerating persepsi pasar.

Berbicara valuasi, kita perlu kembali refleksikan bahwa ADES saat ini masih dihargai di kisaran PER 11–12x dan EV/EBITDA 7x-an. Kalau mereka bisa pertahankan pertumbuhan EPS di kisaran 20%–25% per tahun, maka fair value mereka bisa lebih tinggi dari harga sekarang. Bahkan, menggunakan pendekatan DCF dan asumsi pertumbuhan konservatif, valuasi wajar ADES bisa tembus Rp14.000–Rp15.000 per saham, memberi potensi upside menarik dari posisi Rp10.525 saat ini (data per 13 Juni 2025). Apalagi kalau efek perang Iran vs Israel bisa membuat harganya semakin terdiskon. 🤩

Jadi, apa pelajaran dari ADES? Mereka bukan perusahaan besar dgn sejarah panjang macam Unilever. Bukan jg pemilik portofolio global macam Coca-Cola atau Danone. Tapi mereka punya sesuatu yg gak semua punya: kelincahan, keberanian, dan timing yg pas. Mereka bukan pelari 100 meter, tapi lebih ke pelari 800 meter yg tahu kapan harus sprint dan kapan jaga napas. Dan sejauh ini, mereka cukup tahu kapan harus belok, kapan harus rem, dan kapan harus gaspol.

Buat nyubi impostor seperti saya, ADES layak masuk radar. Bukan cuma karena angka pertumbuhannya, tapi karena mereka sedang membangun sesuatu yg lebih besar dari sekadar laporan keuangan bagus. Mereka sedang membentuk narasi baru: bahwa di sektor barang konsumsi yg katanya padat modal dan kompetitif, masih ada ruang bagi pemain lokal yg kreatif, gesit, dan berani ambil risiko. Dan selama mereka bisa menjaga arah, bukan nggak mungkin ADES jd emiten consumer goods berikutnya yg naik kelas—dari ikan teri jadi ikan salmon.


Disclaimer: Tetap lakukan riset secara mandiri, ini bukan ajakan menjual atau membeli saham.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy