$PGAS - Apakah bisa ikutan nge-GAS?
Kalau kamu sering mantau sektor energi di bursa, besar kemungkinan pernah dengar saham berkode PGAS. Tapi mungkin nggak semua tahu sebenernya perusahaan ini kerjaannya apa. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) adalah anak usaha dari holding migas Indonesia, yaitu PT Pertamina (Persero). PGAS ini dikenal sbg tulang punggung penyalur gas bumi dlm negeri. Tapi apakah arah bisnisnya mulai punya peluang menjanjikan di pasar global? Gak cuma main di kandang sj, tp mungkin bisa mulai ngintip peluang ekspor juga.
Biar lebih mudah, mari kita bahas dulu posisi PGAS dlm rantai industri gas. Dalam dunia migas, ada tiga istilah penting: upstream, midstream, dan downstream. Upstream itu bagian hulunya—mereka yg ngebor, eksplorasi, dan produksi gas. Midstream itu bagian yg mengalirkan—menyalurkan gas dari produsen ke pelanggan melalui pipa atau kapal. Nah, downstream itu bagian hilirnya—biasanya yg jualan ke industri, rumah tangga, atau pembangkit listrik. PGAS secara mayoritas bukan perusahaan hulu (upstream), tapi lebih banyak main di tengah dan ujung rantai—alias midstream dan downstream.
PGAS membeli gas dari produsen, contohnya Pertamina EP atau Medco, lalu menyalurkan gas itu ke pengguna akhir lewat jaringan pipa dan infrastruktur miliknya. Dan jgn salah, jaringan pipa PGAS ini panjang banget, lebih dari 10.000 kilometer terbentang dari Sumatera sampai Jawa. Jadi, PGAS ini ibaratnya kayak PLN, tapi khusus gas bumi.
Sebagai perbandingan, di Asia terdapat beberapa perusahaan sejenis PGAS yg punya jaringan pipa gas jg. Pertama ada Petronas Gas Berhad (Malaysia), mengelola sistem pipa gas sepanjang sekitar 2.500 km, jauh di bawah PGAS. Kedua, Korea Gas Corporation (KOGAS), raksasa energi gas Korea Selatan, mengoperasikan jaringan pipa transmisi gas sepanjang lebih dari 5.000 km, yg menyuplai gas ke hampir seluruh wilayah Korea. Sementara itu, PTT Public Company Limited dari Thailand menguasai sistem transmisi gas alam sepanjang sekitar 4.000 km. Artinya, kalau kita bicara soal panjang pipa distribusi, PGAS justru lebih unggul di level regional. PGAS dgn 10.000 kilometer jaringan pipa transmisi dan distribusi menunjukkan posisi yg cukup strategis di kawasan Asia Tenggara, terutama karena cakupannya menjangkau lintas pulau dan mendukung backbone energi industri nasional.
Pendapatan utama PGAS datang dari penjualan gas bumi. Berdasarkan laporan keuangan tahun 2024, sekitar 75% dari total pendapatan konsolidasi PGAS berasal dari segmen distribusi gas bumi, di mana PGAS membeli gas dan menjualnya lg ke pelanggan industri, rumah tangga, dan pembangkit listrik. Di bawahnya ada pendapatan 10-12% dr jasa transmisi—ini model bisnis di mana pihak lain menyewa pipa milik PGAS utk mengalirkan gas mereka sendiri. Lalu ada jasa konstruksi dan perawatan pipa yg menyumbang 3-5%, lewat anak usaha bernama PGN Solution, serta usaha skala kecil di segmen gas terkompresi (Compressed Natural Gas/CNG) dan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dgn kontribusi <1%.
Menariknya, PGAS juga punya anak usaha di hulu migas bernama Saka Energi, yg memang melakukan eksplorasi dan produksi gas bumi. Tapi kontribusinya masih kecil, hanya sekitar 7–9% dari total pendapatan. Artinya, PGAS bukan produsen utama gas, melainkan lebih dominan sebagai distributor dan pengelola infrastruktur gas.
Dari sini mulai kelihatan satu benang merah penting: kekuatan utama PGAS ada di infrastruktur. Tapi sayangnya, potensi pendapatannya di dalam negeri dibatasi oleh kebijakan harga gas industri domestik yg dipatok maksimal USD 6 per MMBTU (Million British Thermal Units). Ini kebijakan pemerintah utk menjaga daya saing industri lokal, tp secara bisnis bikin margin PGAS jd terbatas. Mereka punya jaringan pipa panjang, infrastruktur besar, tp gak bisa jual mahal. Ibaratnya punya mobil sport tapi harus jalan pelan-pelan karena jalanan penuh polisi tidur. Upps 🙊
Lalu muncul satu peluang besar yg bisa ngubah peta bisnis ini: ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Ketika kemarin, 13 Juni 2025 perang antara Iran dan Israel pecah, harga minyak dunia langsung melonjak tajam, dan seperti biasa, harga gas ikut naik. Di pasar Eropa, harga gas jenis TTF (Title Transfer Facility) langsung merespon ketegangan ini. Memang, gas dan minyak itu dua komoditas yg beda, tp pergerakannya sering saling memengaruhi, terutama kalau pasokan global terganggu.
Nah, disinilah peran PGAS bisa meluas. Lewat anak usahanya PGN LNG, PGAS udah mulai main di pasar ekspor gas alam cair. Salah satu aset utama PGN LNG adalah FSRU (Floating Storage Regasification Unit) di Lampung, dgn kapasitas sekitar 2,7 juta ton per tahun (mtpa). Meski saat ini baru ekspor dalam volume terbatas, salah satunya ke China yg dimulai sejak awal 2024, peluang utk masuk pasar Eropa terbuka lebar apalagi jika harga gas Eropa terus tinggi karena gangguan suplai dari kawasan Timur Tengah dan Rusia.
Mari kita hitung secara kasar. Kalau PGN LNG mengekspor sekitar 0,75 juta ton LNG per tahun dgn harga rata-rata USD 11 per MMBTU (harga spot Asia), pendapatan dari ekspor bisa mencapai USD 268 juta. Dgn kurs tahun 2024 sekitar Rp15.810/USD, nilainya setara Rp4,2 triliun. Tapi jika harga LNG di Eropa melonjak jadi USD 18 per MMBTU akibat perang, maka PGN LNG bisa menikmati margin tambahan USD 7 per MMBTU. Itu artinya ada potensi tambahan pendapatan sekitar USD 155 juta, atau Rp2,48 triliun jika pakai kurs proyeksi 2025 sebesar Rp16.000/USD.
Tambahan pendapatan dari segmen ekspor inilah yg bs bikin kinerja PGAS di 2025 jauh lebih baik dr tahun sebelumnya. Tanpa ekspor tambahan pun, pendapatan PGAS kalau diperkirakan tumbuh organik sekitar 4%, dari Rp60 triliun di 2024 menjadi sekitar Rp62,4 triliun. Tapi dgn tambahan ekspor LNG ke pasar global, pendapatan bisa naik jadi Rp64,88 triliun. Artinya, potensi ekspor ini bukan cuma angka tambahan, tapi bisa jd game changer bagi PGAS ke depan.
Nah sekarang kita masuk ke proyeksi laba. Kita pakai pendekatan konservatif tapi logis: margin laba bersih PGAS tahun 2024 tercatat di kisaran 9%. Jika ekspor LNG memberikan margin lebih tinggi—karena harga jualnya premium dibanding pasar domestik—maka margin bersih keseluruhan bisa naik tipis. Kita anggap margin laba bersih 2025 berada di level 9,3%. Artinya, dari pendapatan Rp64,88 triliun, laba bersih PGAS berpotensi mencapai Rp6,1 triliun.
Lalu kita hitung Earnings Per Share (EPS), atau laba per saham, yg jadi salah satu metrik favorit investor. Dengan jumlah saham beredar sebanyak 24,24 miliar lembar, EPS 2025 bisa menjadi sekitar Rp252 per lembar. Naik dari EPS 2024 yg berada di kisaran Rp222. Kenaikan ini bukan cuma angka di kertas, tapi refleksi nyata bahwa PGAS punya potensi tumbuh, asal momentum global bisa ditangkap dan dimaksimalkan dgn cerdas.
Buat investor jangka panjang, bisa memiliki perusahaan dengan outlook stabil dan potensi pengembangan bisnis yg lebar, sy rasa ini cukup menarik. Tapi seperti biasa, gak ada potensi yg bebas risiko. Pasar ekspor LNG itu fluktuatif, tergantung harga spot dan permintaan global. Juga, biaya logistik dan efisiensi pengelolaan infrastruktur tetap harus dikawal ketat. Tapi dr sisi aset, PGAS punya modal kuat—baik dari sisi infrastruktur pipa, fasilitas LNG, maupun dukungan holding-nya, yaitu Pertamina, yg bisa mempermudah urusan logistik dan koneksi antar anak usaha.
Di tengah situasi harga gas domestik yg dibatasi pemerintah, peluang ekspor ini bisa jadi angin segar. Bahkan mungkin bisa menjadi pembuka jalan bagi transformasi PGAS dari perusahaan distribusi domestik menjadi pemain energi regional. Kalau dikelola serius, ekspor LNG ini gak harus jadi pendapatan sampingan. Bisa jadi motor utama pertumbuhan laba jangka panjang.
Investor ritel mungkin sempat bingung kenapa PGAS gak ikut terbang kayak saham batu bara atau nikel waktu booming komoditas beberapa tahun lalu. Tapi cerita PGAS itu beda. Mereka bukan perusahaan komoditas murni, tapi punya ceruk pasar yg unik: gas sebagai energi transisi, lebih bersih dari batu bara, dan jauh lebih fleksibel dibanding minyak. Dan sekarang, dgn ketegangan global yg mempercepat perubahan peta suplai gas, posisi PGAS makin relevan.
Berikutnya, kalau PGAS ibarat gerbang distribusi gas nasional, maka kita perlu tau siapa aja ‘tetangganya’ di industri yg bisa jd lawan, bisa juga kawan. Salah satu nama yg sering dikira mirip adalah PT Surya Esa Perkasa Tbk ($ESSA). Tapi ketika ditelisik lebih dalam, ternyata struktur bisnis keduanya beda cukup jauh. ESSA bukanlah distributor gas seperti PGAS, melainkan lebih dikenal sebagai produsen gas dan amonia yang sangat bergantung pada gas alam sebagai bahan baku utama. Dalam kasus amoniak, lewat anak usaha PT Panca Amara Utama (PAU), ESSA adalah produsen amonia terbesar di Indonesia yg beroperasi di Sulawesi Tengah. Mereka membeli gas alam (umumnya metana/CH₄) dari blok Senoro, lalu mengolahnya menjadi amonia, produk turunan gas yg digunakan utk pupuk dan industri kimia lainnya. Jadi kalau PGAS itu kaya operator tol gas, maka ESSA ini lebih mirip pabrik pengolah bahan baku gas.
Perbedaan model ini penting, krn dampak naiknya harga gas global akibat perang Iran–Israel punya implikasi berbeda ke tiap model bisnis. Untuk PGAS, kenaikan harga gas global bisa jadi berkah kalau mereka bisa ekspor LNG ke pasar internasional, terutama Eropa. Tapi buat ESSA, yg masih bergantung pada pasokan gas domestik dgn harga tetap (regulated), kenaikan harga gas global bisa menimbulkan tekanan margin—karena harga bahan baku gak ikut naik, sementara harga jual produk amonia bisa naik jika permintaan global meningkat.
Namun di sisi lain, ESSA juga sedang mengincar peluang ekspansi ekspor. Amonia termasuk komoditas strategis yg mulai dilirik sebagai bahan bakar transisi bersih—terutama amonia biru dan hijau. Kalau pasar ekspor terbuka, dan harga amonia naik seiring melonjaknya harga gas, ESSA bisa juga kecipratan cuan. Tapi jelas, potensi ekspor langsung gas seperti LNG tetap lebih dekat dgn model bisnis PGAS dibanding ESSA.
Nah, kalau kita memperluas cakupan ke Asia, ada beberapa pemain besar yg sejenis dgn PGAS. Misalnya Petronas Gas Berhad dari Malaysia, atau Korea Gas Corporation (KOGAS) dari Korea Selatan. Dua-duanya adalah perusahaan midstream sampai downstream, seperti PGAS, dan sudah lama main di ekspor-impor LNG. Bedanya, negara-negara tersebut lebih dulu membangun fasilitas regasifikasi dan jaringan pasar regional. PGAS masih dalam tahap mengejar. Tapi keberadaan FSRU Lampung dan langkah-langkah ekspor LNG awal ke China menunjukkan PGAS mulai belajar main di liga yg sama.
Lalu siapa saja emiten lain di Bursa Efek Indonesia yg bisa kecipratan untung dari naiknya harga gas global? Salah satu yg potensial adalah PT Medco Energi Internasional Tbk ($MEDC), yg punya blok gas besar dan aktif mengekspor. Ada juga PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) yg bergerak di infrastruktur gas, walaupun skala dan asetnya masih jauh di bawah PGAS. Selain itu, emiten seperti PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) atau PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) mungkin gak langsung terkait gas, tapi bisa ikut ambil ceruk pasar transisi energi, seiring meningkatnya permintaan energi bersih dan diversifikasi pasokan.
Namun, sejauh ini, belum ada perusahaan Tbk di Indonesia yg secara signifikan mengekspor LNG ke Eropa. Tapi kalau ketegangan geopolitik terus berlanjut, bukan mustahil Indonesia akan dilirik Eropa sebagai alternatif pasokan gas—karena selama ini Eropa terlalu tergantung ke Rusia, Qatar, dan sebagian negara Afrika Utara. Di titik inilah, PGAS melalui PGN LNG bisa jadi pemain potensial. Belum tentu jadi pemimpin pasar, tapi cukup punya panggung utk tampil.
Maka ketika kita lihat PGAS dalam kacamata 2025, ia bukan sekadar emiten konservatif dgn jalur distribusi gas domestik. Ia adalah perusahaan yg sedang berdiri di simpang jalan besar. Di satu sisi ada keterbatasan regulasi harga domestik. Di sisi lain ada peluang global yg belum pernah terbuka selebar ini. Perang kadang menciptakan krisis. Tapi di balik krisis, selalu ada peluang buat yg siap.
PGAS punya infrastruktur, punya anak usaha LNG, punya induk kuat (Pertamina), dan sekarang mulai punya akses ke pasar global. Kombinasi ini membuat proyeksi pertumbuhan EPS dan valuasi sahamnya bukan sekadar harapan, tapi hasil perhitungan yg masuk akal.
Berdasarkan proyeksi EPS naik jd Rp252 dan kalau kita gunakan PER 9 kali (rata-rata tiga tahun terakhir antara 7-11 kali), maka harga proyeksinya adalah Rp2268. Bandingkan dgn harga pasar saat ini di Rp1.670 per lembar (per 13 Juni 2025), berarti PGAS bisa memberikan potensi return 36%—asal ekspor LNG terealisasi dan harga jual tetap mendukung. Dan ya, investor gak perlu ngarep semua berjalan mulus. Tapi inilah dunia saham. Kita menilai bukan cuma apa yg sudah terjadi, tapi apa yg mungkin terjadi—dan bagaimana peluang itu dihitung.
Disclaimer: Tetap lakukan riset secara mandiri, ini bukan ajakan menjual atau membeli saham.