Story-Driven Valuation: Membeli Masa Depan dengan Harga Hari Ini
Beberapa tahun lalu, muncul sebuah pendekatan sederhana namun efektif dari Pak Jos Parengkuan, yang ia bagikan dalam beberapa podcast di youtube. Pendekatan ini memadukan price earnings ratio (PER) dengan cerita di balik industri dan arah bisnis emiten. Tidak serumit DCF yang penuh asumsi dan bias angka, pendekatan ini justru menekankan pemahaman mendalam terhadap bisnis, dengan logika valuasi yang sederhana tapi kuat.
Pak Jos berangkat dari pengalaman bahwa DCF terlalu sensitif. Geser sedikit di growth rate atau discount rate, angka valuasi bisa melenceng jauh. Akibatnya banyak analis justru tidak percaya diri dengan hitungannya sendiri dan akhirnya lebih nyaman mengikuti konsensus analis lain. Padahal, di balik angka yang tampaknya objektif itu, tersembunyi ketidakpastian yang besar.
________
Contoh Kasus $ERAA dan Efek Rerating
Dalam salah satu podcast, Pak Jos mengambil contoh ERAA. Saat itu, ia melihat ERAA punya peluang karena industrinya sedang berkembang, kompetitor mulai tumbang, dan teknologi makin terjangkau masyarakat. Ditambah, saat itu ERAA diperdagangkan di PE 10. Jika kamu percaya bahwa laba ERAA bisa naik 2 kali lipat dalam 2–3 tahun, maka secara historis PE-nya akan terlihat seperti PE 5. Kalau market kemudian menghargai ulang dengan PE 10, harga saham bisa naik 100%.
Tentu ini terjadi sebelum ERAA mulai bergerak keluar dari core-nya dan masuk ke diversifikasi lifestyle seperti ERAL, FnB, dan Erablue. Yang awalnya fokus distribusi gadget, mulai berubah ke arah “$MAPI-MAPI-an.” Maka validitas ceritanya tentu harus dievaluasi ulang.
__________
Rerating dan Earnings Yield: Harus Masuk Akal
Perlu diingat bahwa rerating hanya mungkin terjadi kalau market memang rela membayar harga lebih tinggi atas laba yang sama. Untuk bisa menjelaskan itu, PER perlu diubah dulu ke satuan yang lebih intuitif: earnings yield.
🍬PE 16 berarti earnings yield-nya 6,25%
🍬PE 20 berarti earnings yield-nya hanya 5%
Artinya, saat kamu berharap market akan membayar PE 16 atau PE 20, kamu secara tidak langsung meminta investor lain rela menerima return 5–6% per tahun dari perusahaan berisiko. Padahal, obligasi negara saja bisa kasih 6–7% dengan risiko investasi nyaris 0. Risiko itu baru muncul kalau negara gagal bayar atau bubar, yang kalau sampai terjadi, mungkin kamu sudah lihat tank lalu lalang di jalan protokol dan rudal melintas di langit ibu kota.
Jadi kalau kamu membayar perusahaan di PE 20, kamu harus sangat yakin perusahaan ini memang akan tumbuh dengan ROE tinggi, ekspansinya masuk akal dan terbukti jalan, atau ada cerita turnaround yang kuat dan harga sekarang mencerminkan masa lalu yang buruk. Kalau tidak, PE 20 ini hanyalah bentuk spekulasi yang dibungkus secara teknis. Keputusan tersebut bertumpu pada ekspektasi yang tidak didukung oleh data yang memiliki korelasi jelas terhadap nilai intrinsik perusahaan.
_______
Logika di Balik PE Murah dan ROE Stabil
Sebaliknya, kalau kamu beli perusahaan di PE 5–6, maka:
Earnings yield kamu 16–20%
Jika perusahaan membagikan 30% laba sebagai dividen, kamu langsung dapat dividend yield 4,8–6%
Kalau perusahaan prudent dan ROE-nya stabil di 15%, maka 70% laba yang ditahan akan menghasilkan pertumbuhan laba sebesar 10,5% per tahun
Karena payout-nya tetap, dividen kamu pun ikut naik 10,5% per tahun. Nilai intrinsik perusahaan bertumbuh, bukan karena sentimen pasar, tapi karena laba dan dividen benar-benar naik.
_________
Tapi PE Rendah Gak Selalu Aman
Valuasi murah bukan jaminan aman. Kalau ROE kecil, manajemen tidak disiplin, dan pemilik utama mengelola perusahaan seolah-olah bisnis keluarga, maka kamu tidak pegang apa-apa. Apalagi kalau tidak ada dividen dan dana malah dibelikan aset yang gak nyambung sama core bisnis.
Di titik ini, kamu benar-benar hanya mengandalkan bandar. Keuntunganmu sepenuhnya datang dari harapan bahwa ada orang lebih spekulatif yang mau beli lebih tinggi. Bukan dari kinerja perusahaan, tapi dari keberuntungan rotasi pasar.
_____________
Saya Tetap Prioritaskan Dividen, Tapi Harus Bertumbuh
Secara pribadi, saya tetap pilih emiten yang bagi dividen. Tapi itu hanya masuk kriteria kalau saya juga yakin bahwa laba masih bisa bertumbuh. Itu juga alasan kenapa belum ada satu pun saham komoditas di porto saya, meski batu bara bagi dividend yield yang cukup besar.
Kalau saya bisa dapat 8% dividend yield dari perusahaan yang masih bisa tumbuh, atau bahkan 5% yang terus naik tiap tahun, saya akan lebih pilih itu. Karena saat laba naik, dividen ikut naik. Kalau dividen naik, harga pun ikut naik. Re-rating bisa terjadi karena fundamental, bukan karena tebak-tebakan.
________
Simulasi Potensi 10x dari Kinerja Nyata
Misalnya kamu beli perusahaan market cap Rp100 miliar, dan saat itu laba bersihnya Rp10 miliar (PE 10). Lalu 5–10 tahun ke depan, karena ekspansi sehat dan efisiensi berjalan, labanya jadi Rp100 miliar.
Kalau payout-nya 50%, kamu akan terima dividen Rp50 miliar per tahun. Artinya dividend yield kamu terhadap harga beli = 50%.
Kalau market masih menghargai PE 10, maka market cap jadi Rp1 triliun. Kamu dapat 10x lipat dari kenaikan laba dan bagi hasil, bukan dari spekulasi.
Tapi tentu saja tidak semua perusahaan bisa mencapai titik itu. Ada yang tetap kecil, ada yang mati karena industrinya keburu turun sebelum mereka siap menangkap market. Maka, justru di sinilah porsi analisis bisnis jadi jauh lebih penting dibanding sekadar hitungan valuasi.
Checklist Sehat untuk Story-Driven Valuation
🍡Apakah industrinya masih tumbuh dan belum jenuh?
🍡Apakah laba ditahan benar-benar digunakan untuk ekspansi yang produktif?
🍡Apakah utang digunakan untuk hal yang benar, atau hanya tambal sulam?
🍡Apakah PSP menjaga arah bisnis atau justru melebar ke mana-mana?
🍡Apakah perusahaan punya rekam jejak bagi dividen yang sehat?
Dan yang paling penting: apakah kamu siap keluar saat cerita sudah gak nyambung, meskipun setelah kamu jual harganya malah terbang?
Karena ini bukan lomba “siapa yang paling sabar,” tapi siapa yang paling disiplin.
___________
Penutup: Disiplin Melebihi Kepercayaan pada Narasi
Chairul Tanjung mengatakan:
“Membeli masa depan dengan harga hari ini.”
Tapi masa depan perlu diuji, bukan hanya dibayangkan.
Mereka yang kita anggap pintar dan punya akses informasi pun pernah salah:
Chairul Tanjung: Mega Corpora tersangkut di Garuda Indonesia (GIAA), dengan kerugian triliunan karena utang dan kinerja tak pulih sesuai ekspektasi.
Djarum Group: GDP Venture mengakuisisi saham Kaskus, tetapi monetisasinya belum berhasil akibat tidak berkembang secara bisnis.
Salim Group: pasca krisis 1998, Salim Group kehilangan kendali atas BCA, bank yang kini jadi raksasa, akibat kewajiban restrukturisasi utang US$4,8 miliar dengan IBRA .
Mereka saja bisa keliru. Jadi kalau kamu merasa yakin sekali dengan story perusahaanmu hari ini, siapkan pula batasan exit yang jelas.
Disiplin keluar saat cerita berubah adalah tanda investor yang lebih matang.