$ARCI $BTPS – Perang, dolar, dan utang AS-Indonesia

Kabar serangan langsung antara Iran dan Israel kembali meledak ke jagat berita internasional. Bukan cuma karena ini dua negara yg saling bermusuhan secara ideologis, tapi karena keduanya duduk di jantung geostrategis kawasan Timur Tengah, tempat lewatnya jalur minyak global. Bagi pasar keuangan, berita ini bukan sekadar headline... INI ALARM.

Begitu roket pertama diluncurkan, harga $OIL langsung melonjak, pasar saham global memerah, dan mata uang negara berkembang terombang-ambing seperti perahu tanpa jangkar.

Perang Iran–Israel bukan cuma soal siapa serang siapa. Ini soal bagaimana konflik kecil bisa berputar menjadi badai besar yg menggoyang struktur keuangan global. Dan kalau diperhatiin lebih dalam, bisa jadi ini bukan cuma efek tak disengaja.

Bisa jadi ya, bisa jadi loh.... ini malah menguntungkan pihak tertentu.

Mari kita mulai dari yang paling terlihat dulu: kenapa setiap ada perang, harga minyak langsung melenting seperti spring bed baru?

Jawabannya sederhana tapi berdampak besar: karena ketakutan. Perang Iran–Israel berpotensi mengganggu Selat Hormuz, yg dilalui lebih dari 20% pasokan minyak dunia. Sekali terganggu, harga bisa langsung naik, bahkan tanpa ada sumur minyak yg rusak sekalipun. Sentimen dan potensi risiko itu udah cukup bikin para trader komoditas panik pencet tombol beli.

Tapi efeknya nggak berhenti di minyak doang. Naiknya harga oil biasanya ditularin ke komoditas lain, termasuk batu bara. Kenapa? Karena oil dan coal itu kompetitor energi. Kalau harga oil melonjak, maka permintaan coal bisa ikut naik, terutama di negara-negara Asia yg masih mengandalkan batu bara utk listrik—termasuk Indonesia. Jadi, dalam kondisi kayak gini, produsen batu bara bisa senyum lebar jg. Tapi senyumnya jgn lama-lama, karena efek ke sektor lain nggak seindah itu.

Ambil contoh sektor perkapalan. Ketika harga minyak naik, biaya operasional kapal juga naik. Untuk pengangkutan minyak dan batu bara, memang ada potensi tarif freight ikutan naik. Tapi di sisi lain, potensi gangguan keamanan di kawasan Teluk bisa bikin asuransi maritim naik drastis. Jadi ya, untung di satu sisi, repot di sisi lain. Apalagi jika rute-rute pengiriman harus dialihkan jauh, eksportir & importir perlu nambah ongkos kirim berkali lipat. Harga barang jadi bisa naik lagi.

Nah, sekarang kita masuk ke bagian yg agak sensitif: apakah perang ini diam-diam justru menguntungkan Amerika Serikat?

Kedengeran agak konspiratif? Mungkin. Tapi mari kita lihat faktanya dulu.

Saat dunia dilanda ketidakpastian, investor global langsung lari ke safe haven. Yang paling aman, tentu emas. Nggak heran harga emas jg langsung menyala seperti alarm kebakaran. Dalam dunia keuangan, emas itu ibarat selimut hangat di musim dingin: dicari ketika kondisi nggak pasti dan dunia mulai demam geopolitik.

Data dari World Gold Council mencatat lonjakan permintaan emas investasi hampir selalu terjadi tiap kali ada eskalasi konflik berskala global, termasuk konflik Rusia–Ukraina dan kini Iran–Israel. Lonjakan ini bahkan bikin harga emas menembus rekor baru, karena dianggap jadi tempat berlindung terbaik saat semua aset lain goyah.

Kemudian safe haven kedua teraman sampai sekarang, suka nggak suka, itu masih dolar dan surat utang pemerintah AS (US Treasury). Akibatnya, meskipun utang AS udah kayak jurang Grand Canyon, menyentuh lebih dari $34 triliun dan masih terus bertambah, obligasi barunya masih bisa tetep diserbu. Kenapa? Karena pasar lebih percaya risiko di AS lebih rendah dibanding negara lain.

Meskipun ada kekhawatiran umum bahwa negara lain mulai “meninggalkan dolar” alias dedolarisasi– di mana negara-negara seperti China, Rusia, dan bahkan negara Teluk mulai mengurangi cadangan devisa dalam dolar— serta ada pergeseran menuju alternatif (gold, stablecoin, mata uang BRICS), tapi sifatnya terbatas, perlahan, dan lebih ke diversifikasi, bukan pengabaian total mata uang AS. Posisi dolar masih dominan, terutama dalam cadangan resmi, transaksi energi, dan pasar modal.

Nah, karena banyak utang AS yg jatuh tempo di 2025 ini, maka muncul pertanyaan: bukankah ini momen tepat buat AS “menciptakan” kondisi yg bikin investor global tetap pegang dolar? Apalagi, di tengah isu dedolarisasi tadi AS butuh alasan kuat buat bikin dunia tetap ngiler pegang USD.

Dan ternyata, perang (atau minimal ketegangan global) adalah alasan yg cukup efektif.

Nggak heran kalau muncul analisis bahwa struktur geopolitik dunia saat ini justru membuat “chaos” jadi salah satu alat stabilitas moneter bagi AS. Bisa dibilang, ketegangan politik adalah stimulus fiskal dalam kamuflase. Banyak investor institusi masih beli Treasury bukan karena suka, tapi karena dalam kondisi ini nggak ada pilihan lebih aman. Ironis, ya?

Tapi ini bukan berarti AS untung tanpa risiko. Suku bunga tinggi yg ditahan terlalu lama demi lawan inflasi—yg juga dipicu harga minyak—bisa bikin beban bunga utang AS makin berat. Refinancing mungkin tetap bisa dilakukan, tapi bunganya bakal lebih mahal. Dan kalau pasar mulai kehilangan kesabaran karena terus-terusan melihat AS cuma bisa “ngeprint” dolar tanpa perbaikan fiskal,.. ya, bisa jadi sentimen akan berubah. Tapi sampai hari ini, dolar tetap raja. Setidaknya sampai trust benar-benar runtuh.

Dan sementara AS bisa tetap ngegulung utangnya dgn modal status mata uang global, negara-negara berkembang—termasuk Indonesia—nggak seberuntung itu. Di sinilah sesungguhnya dampak lanjutan dari krisis global paling terasa. Karena ketika negara maju masih bisa ‘main cetak uang’, negara berkembang harus jungkir balik mikirin biaya utang, nilai tukar, dan cadangan devisa.

Salah satu efek paling langsung dari perang, apalagi yg ngelibatin kawasan Timur Tengah, adalah naiknya biaya refinancing. Refinancing itu bahasa sopan dari “nyicil utang lama pakai utang baru”. Dan bagi banyak negara, terutama emerging markets yg punya banyak utang valas, hal ini udah jadi rutinitas. Tapi ketika suku bunga global tinggi dan investor makin pilih-pilih, rutinitas itu bisa jadi mimpi buruk.

Ambil contoh negara-negara di Afrika Sub-Sahara atau Asia Selatan. IMF (2024) bahkan menyebut bahwa lebih dari 60% negara berkembang sekarang berada di level “debt distress” atau sangat rentan gagal bayar. Biaya bunga naik, penerimaan fiskal stagnan, dan tekanan impor (karena harga energi & pangan naik) bikin ruang fiskal mereka makin sempit. Banyak negara sekarang harus pilih: bayar bunga atau subsidi rakyatnya. Dan tentu aja, rakyat yg dikorbanin duluan.

Indonesia masih lebih baik dibanding banyak negara lain. Tapi bukan berarti aman-aman banget. Utang jatuh tempo kita dalam bentuk global bond (obligasi valas) akan meningkat di 2025–2026. Kalau yield US Treasury tetap tinggi dan nilai tukar rupiah terus melemah, maka pemerintah harus tawarkan bunga lebih tinggi lagi utk menarik investor. Ini bisa bikin beban bunga naik dan nyedot ruang fiskal buat sektor lain.

Dan ini belum termasuk tekanan psikologis pasar. Kalau rupiah tembus 17.000—sesuatu yg bukan mustahil kalau eskalasi makin parah—maka investor asing bisa tambah waspada. Dana keluar dari pasar obligasi dan saham makin deras, dan Bank Indonesia terpaksa mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama. Artinya, kredit jadi mahal, investasi melambat, dan konsumsi rumah tangga bisa tertekan. Ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi juga ikut seret.

Tapi siapa yg paling kena getahnya? Tentu saja bukan konglomerat. Tapi pelaku ekonomi ultra mikro dan UMKM.

Buat yg belum akrab: ekonomi ultra mikro itu kayak tukang gorengan, penjahit rumahan, warung kelontong kecil, atau pedagang sayur keliling. Mereka bukan cuma jantung ekonomi rakyat, tapi juga lapisan yg paling rentan terguncang kalau ekonomi makro lagi batuk.

Bayangin kamu ibu-ibu penjual makanan di pasar tradisional. Modal kamu dari pinjaman kelompok PNM Mekaar, atau BTPN Syariah. Ketika suku bunga acuan BI naik, lembaga keuangan mikro juga harus jaga margin. Mereka jadi lebih hati-hati kasih pinjaman, atau bahkan naikin suku bunga. Akhirnya, kamu terpaksa ngurangin stok jualan. Kalau harga minyak goreng dan beras juga naik, makin mumet kepala.

Perang di luar negeri memang nggak langsung bikin tukang tahu bulat bangkrut. Tapi ketika harga solar naik, ongkos angkut naik, dan inflasi bahan makanan merayap naik... UMKM lah yg pertama terdampak. Dan ketika daya beli masyarakat ikut melemah, mereka juga yg pertama kehilangan pelanggan.

Ada satu lagi jebakan yg jarang disadari: ketika negara seperti AS menerbitkan obligasi baru dgn yield tinggi, banyak investor institusi besar di Asia yg sebelumnya biasa beli surat utang negara berkembang, termasuk obligasi korporasi Indonesia, alih arah ke Treasury AS. Akhirnya akan berpikir, kenapa ngambil risiko di Indonesia kalau bisa dapat 5%–6% dari obligasi AS yg "masih" aman?

Ini bikin akses pembiayaan jangka panjang buat korporasi dan lembaga keuangan di Indonesia makin ketat. Efeknya bisa berantai ke sektor ultra mikro, karena bank atau multifinance jadi lebih selektif kasih modal ke lembaga pembiayaan mikro. Jadi bukan cuma suku bunga yg naik, tapi juga akses keuangan yg makin menyempit.

Dan ironisnya, semua ini terjadi saat pemerintah dan BI lagi gencar dorong literasi keuangan, inklusi digital, dan pembiayaan inklusif. Usaha-usaha itu bisa mandek kalau biaya uang naik dan dana murah makin langka.

Pertanyaannya sekarang: kalau negara-negara seperti Indonesia mulai sesak napas, lalu siapa yg diuntungkan? Lagi-lagi, jawabannya balik ke negara pemilik mata uang global: Amerika Serikat. Perang bikin dolar makin seksi, obligasi AS makin laris, dan negara berkembang makin susah nafas. Ini bukan teori konspirasi. Ini realitas pasar.

Sebuah artikel dari Project Syndicate (Eichengreen, 2024) menyebut bahwa dalam kondisi gejolak global, AS secara struktural diuntungkan karena investor tetap lari ke aset dolar. Dan selama dunia belum punya mata uang cadangan alternatif yg bisa dipercaya (yuan belum, euro terlalu lemah, kripto belum stabil), maka posisi dominan AS tetap terjaga. Dan ini berarti—secara tak langsung—perang bisa jadi “dukungan pasar” buat refinancing utang AS.

Jadi jangan heran kalau muncul sinisme: apakah perang ini—setidaknya dari sudut pandang ekonomi—justru dipelihara supaya sistem utang dan dominasi dolar tetap berjalan?

Lucu ya. Di satu sisi, perang disebut sebagai ancaman global. Tapi di sisi lain, dia jadi alat mempertahankan dominasi finansial. Dunia emang absurd kadang.

Jadi, apa saja dampak perang Iran–Israel terhadap Indonesia?

Kalau ditarik dari pembahasan di atas, jelas bahwa perang ini bukan sekadar urusan dua negara. Ini soal bagaimana gejolak geopolitik bisa mengubah arah arus uang dunia. Dan Indonesia, sebagai bagian dari emerging market yg punya porsi utang valas cukup besar, otomatis masuk ke pusaran dampaknya.

Pertama-tama, mari bicara soal refinancing utang. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa utang luar negeri pemerintah Indonesia akan mencapai puncak jatuh tempo di 2025–2026, terutama dari global bond. Refinancing tentu bukan hal baru bagi kita, tapi kali ini situasinya beda. Yield US Treasury yg tinggi bikin investor lebih pilih beli obligasi AS. Artinya, kalau pemerintah RI mau terbitkan global bond baru, maka kita harus kasih kupon lebih tinggi. Ini artinya biaya utang bertambah.

Kalau itu terjadi, ruang fiskal kita otomatis menyempit. Pilihan pemerintah jadi makin terbatas: mau prioritasin infrastruktur, subsidi energi, atau jaga defisit anggaran tetap sehat? Nggak semuanya bisa dilakukan sekaligus. Dan seperti biasa, yg dikorbanin duluan biasanya program-program sosial atau subsidi non-esensial,.. yg justru menyasar masyarakat paling rentan.

Dalam konteks ini, Bank Indonesia (BI) juga dihadapkan pada dilema klasik: menjaga stabilitas nilai tukar vs mendorong pertumbuhan. Kalau rupiah terus melemah akibat capital outflow, misalnya karena dana asing lari ke dolar AS yg lebih menjanjikan, maka BI mungkin terpaksa mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama dari seharusnya.

Masalahnya, suku bunga tinggi bukan cuma bikin cicilan KPR makin berat. Ini juga langsung memukul dunia usaha. Apalagi sektor yg sangat sensitif terhadap likuiditas dan bunga pinjaman, seperti UMKM dan pelaku ultra mikro.

Lembaga pembiayaan seperti BRI, Pegadaian, PNM, atau BTPN Syariah, dalam kondisi tekanan suku bunga tinggi, akan lebih selektif kasih kredit. Akibatnya, banyak pelaku usaha skala kecil yg aksesnya ke modal makin sempit. Di satu sisi, biaya produksi naik karena harga bahan baku impor naik (efek rupiah lemah). Di sisi lain, pendanaan makin mahal atau malah susah diakses. Dan di tengah-tengah semua itu, daya beli masyarakat juga tertekan.

Bayangin kamu pedagang kaki lima yg biasa belanja bahan di pasar induk. Biasanya modal dari pinjaman mingguan. Tapi sekarang, marginnya makin tipis karena harga cabai, minyak, dan mie instan naik. Di sisi lain, karena uang beredar di masyarakat makin ketat, pembeli pun makin pelit. Mungkin hari ini masih bisa bertahan. Tapi besok? Belum tentu.

Data Bappenas juga udah lama mengingatkan: sektor informal dan UMKM menyerap lebih dari 97% tenaga kerja non-pemerintah. Kalau sektor ini goyah, maka efeknya nggak cuma ke pertumbuhan ekonomi, tapi juga langsung ke stabilitas sosial.

Lalu bagaimana pemerintah bisa merespons? Di tengah keterbatasan fiskal dan tekanan eksternal, opsi kita memang nggak banyak. Tapi bukan berarti nggak ada.

Pertama, pemerintah bisa mulai lebih agresif mencari pendanaan domestik. Ini artinya memperluas basis investor dalam negeri utk beli surat utang negara, baik lewat ORI, sukuk ritel, atau skema lainnya. Kedua, optimalisasi belanja negara harus ditingkatkan—bukan nambah anggaran, tapi memastikan setiap rupiah yg keluar benar-benar berdampak langsung, terutama bagi sektor produktif dan padat karya.

Ketiga, kita butuh sinergi nyata antara BI, OJK, dan kementerian terkait utk menjaga likuiditas sektor ultra mikro. Jangan sampai BUMN pembiayaan ultra mikro ikut kena rem kredit hanya karena sentimen global. Negara harus hadir, bukan cuma lewat subsidi dan uang konsumsi yang habis pakai, tapi juga lewat pembiayaan produktif yang berkelanjutan untuk rakyat kecil. Beri kailnya, jangan ikannya terus.

Tapi di luar langkah-langkah teknis itu, ada satu hal yg nggak boleh dilupakan: kepercayaan publik. Saat dunia gonjang-ganjing, kepercayaan jadi komoditas paling mahal. Kalau pelaku usaha kecil percaya pemerintah bisa jaga stabilitas, mereka akan tetap bertahan. Tapi kalau rasa percaya itu luntur, maka yg hancur duluan bukan ekonomi makro—melainkan ekonomi warung, ekonomi angkringan, dan ekonomi pasar desa.

Di sinilah pentingnya komunikasi yg jujur dan realistis dari pemerintah, bukan sekadar gimik atau narasi optimisme palsu. Contohnya, "Angka pengangguran menurun" atau "Tingkat kemiskinan turun", - hilih 😮‍💨 . Perlu diingat, investor asing lebih percaya data riil dan rakyat kecil butuh harapan yg nyata. Dan harapan itu harus datang dari kepemimpinan yg mau melihat masalah sampai ke akar.

Akhirnya, perang Iran–Israel mungkin terjadi ribuan kilometer jauhnya dari Indonesia. Tapi lewat jalur minyak, arus modal, harga pangan, dan suku bunga global, efeknya bisa terasa sampai ke warung kopi pinggir jalan.

Dan di dunia global seperti sekarang, setiap konflik bisa jadi kartu domino yg mengguncang sistem sampai ke pelosok. Dunia makin terintegrasi, dan itu artinya kita juga makin rentan. Tapi dgn kerentanan itu, datang juga peluang utk memperkuat sistem lokal, membangun ketahanan ekonomi dari bawah, dan membalik krisis jadi momentum reformasi.

Karena ujung-ujungnya, bukan siapa yg paling besar yg bertahan. Tapi siapa yg paling adaptif dan paling bisa menjaga kepercayaan.

Dan ternyata, dari geopolitik, pasar uang, sampai tukang sayur keliling, pada realitanya segalanya saling terhubung. Jadi kalau kita ingin jadi investor cerdas—atau warga negara yg sadar arah ekonomi—maka penting buat lihat lebih jauh dari sekadar angka di layar trading.

Kadang jawabannya ada di pertanyaan: “kenapa perang bikin IHSG turun?”
Dan jawaban itu mungkin lebih penting dari sekadar tahu harga saham ARCI lagi naik 😎

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy