IHSG - Jangan Ribut Siapa yang Bawa Bensin. Lihat Asetnya Bisa Lari Sejauh Apa.
“I would rather focus on how efficiently a company turns its assets into earnings than worry too much about how it finances them.” — Peter Lynch
Kemarin, kita sudah menyelam ke dunia modal kerja: tentang bagaimana perusahaan membiayai operasionalnya—dari uang sendiri atau uang orang lain. Kita juga membahas tentang Cost of Debt vs Cost of Equity.
Hari ini, kita berlayar sedikit lebih jauh. Jalurnya kelihatan baru, tapi sebetulnya masih lanjutan dari pelayaran kemarin. Masih soal utang. Masih soal ekuitas. Tapi kali ini, kita berhenti memisahkan keduanya seolah mereka dua benua yang tak pernah bersentuhan.
Sebab faktanya: utang dan ekuitas itu seperti dua sungai yang bermuara pada satu samudra—aset. Sebagaimana dijelaskan dalam persamaan akuntansi:
Aset = Ekuitas + Utang
Dan seperti seorang nakhoda yang bijak, kita tak bisa hanya sibuk menakar seberapa banyak bekal yang dibawa (utang dan ekuitas), tanpa tahu seberapa jauh kapal itu bisa berlayar dengan bekal tersebut. Sebab efisiensi pelayaran tak ditentukan dari mana bekalnya berasal, melainkan: berapa jauh kapal ini bisa menembus badai dengan muatan yang sudah ia punya.
Dan itulah ROA—kompas utama yang tak silau oleh siapa yang membiayai pelayaran.
“Spend each day trying to be a little wiser than you were when you woke up. If you keep at it, that will compound.” — Charlie Munger
ROA adalah hasil dari proses panjang—bukan sulap sesaat. Dan seperti kata Munger, kebijaksanaan itu bertumbuh perlahan, tapi dampaknya—menggulung seperti bunga majemuk.
Itulah mengapa ROA (Return on Asset) menjadi kompas utama kita.
Sementara DER (Debt to Equity Ratio)? Itu hanya pelampung cadangan—kita lihat, kita siaga, tapi kita tak perlu berenang dengan itu kalau kapalnya masih utuh.
----------------------------------------------------------------------------------------
Jangan Terlalu Percaya Kompas Usang
Kita terbiasa mengagumi kapal karena catnya yang mengkilap atau benderanya yang berkibar.
Tapi pelaut sejati tahu: kapal yang baik bukan yang tampak gagah di pelabuhan, tapi yang tahan uji di tengah badai.
Lama sekali dunia investasi terjebak pada dua metrik pujaan banyak value investor: ROE dan DER.
Katanya, kalau ROE tinggi, perusahaan efisien.
Kalau DER rendah, perusahaan aman.
Namun, dua kompas ini tak selalu menunjukkan arah yang benar.
• ROE bisa tinggi karena utang yang banyak, bukan karena perusahaan jago cari untung.
• DER bisa rendah karena modal belum digunakan, bukan karena manajemen disiplin.
Yang lebih jujur adalah ROA.
Sebab ROA mengukur efisiensi atas seluruh aset yang sudah terpasang di kapal.
Tak peduli apakah itu dibiayai dari utang atau ekuitas, semuanya sudah jadi milik perusahaan.
Lagipula, ROA bukan sekadar ukuran teknis.
Ia mengandung evaluasi implisit terhadap kemampuan perusahaan menghasilkan EBITDA yang cukup untuk menutupi cicilan dan bunga utangnya (debt service coverage ratio)—sebuah ukuran yang lebih substantif ketimbang sekadar net profit margin.
Net Income = EBIT – Cost of Debt – Tax: Artinya?
Ketika kita bicara ROA, kita bicara tentang laba bersih (return) yang sudah menjadi milik pemilik, bukan lagi milik kreditur.
Maka, jangan pisahkan yang sudah menyatu—seperti memisahkan gula dari kopi yang sudah larut sempurna dalam satu gelas pagi-pagi.
-----------------------------------------------------------------
Zaman Ketika Laporan Keuangan Kehilangan Makna
Kita hidup di zaman ketika:
laporan laba rugi bisa secantik puisi,
kas dilaporkan gemuk penuh sensasi,
padahal itu tak pernah benar-benar masuk laci.
EBITDA bersinar di layar presentasi,
tapi kenapa pengadilan PKPU sibuk mengantri?
Itulah... manipulasi.
Karena itu, meski ROA tetap panglima,
DER pun harus tampil di muka.
Bukan karena DER rendah membuat terkesima,
atau DER tinggi bagai setan yang menjelma.
Tidak.
Sebab di zaman ketika kamu mulai kehilangan kepercayaan
pada isi laporan laba rugi,
DER bisa jadi satu-satunya angka objektif
yang masih bisa kamu percaya.
Secara pribadi, saya mulai pasang lampu kuning
kalau DER sudah di atas 1,5.
Dan kalau sudah menyentuh angka 2—
bahkan dengan ROA yang memesona
dan EBITDA yang bercahaya—
saya lebih memilih menepi.
Lebih baik naik kapal lambat tapi kokoh,
daripada speedboat yang bocor di bawah garis air.
----------------------------------------------------------------------------------
Studi Kasus: Tiga Kapal, Tiga Cara Berlayar
Mari kita tengok tiga emiten pelayaran—semuanya bisnis berat modal—tapi cara mereka membiayai kapalnya berbeda:
1. $TPMA: utang moderat, daya dorong tinggi
→ DER 0,57 | ROA (TTM) 9,64% | PBV 0,80 (mean PBV 3 tahun = 1,09)
2. $MBSS: seperti kapal pertapa, nyaris tanpa utang
→ DER 0,09 | ROA (TTM) 10,12% | PBV 0,69 (mean PBV 5 tahun = 0,61)
3. $HAIS: kapal stabil, diskon besar menanti pemulihan
→ DER 0,34 | ROA (TTM) 8,75% | PBV 0,69 (mean PBV 3 tahun = 1,02)
Analisa Cepat ala Nakhoda:
• Masih percaya laporan keuangan, dan cari efisiensi?
→ TPMA. ROA tinggi, valuasi diskon, utang moderat. Ibarat kapal dagang berdaya dorong tinggi.
• Kalau kamu mulai ragu pada laporan keuangan emiten di bursa?
→ MBSS. ROA tertinggi, utang hampir nol, kapal paling defensif. Seperti kapal pertapa: nyaris tanpa utang, tapi tetap kencang.
• Cari diskon besar, berharap pulih ke nilai wajarnya?
→ HAIS. ROA stabil, DER rendah, valuasi paling murah. Kapal ini tidak cepat, tapi stabil.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Kesimpulan: Jangan Ribut Siapa yang Bawa Bensin
ROE bisa menipu. DER penting, tapi bukan penentu.
ROA-lah yang bicara jujur.
Kamu boleh pakai uang investor, pinjam dari bank, atau dikasih malaikat.
Tapi kalau asetmu malas bekerja, semua itu cuma jadi beban kapal.
Jangan ribut soal siapa yang bawa bensin.
Lihat siapa yang bisa bikin kapal itu berlayar. Jauh. Stabil. Lama.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Disclaimer
• Tulisan ini bukan ajakan membeli atau menjual saham tertentu.
• Saya tidak sedang merekomendasikan apa pun.
• Saya hanya berbagi logika dalam menilai efisiensi, risiko, dan valuasi.
• Kalau kamu punya logika sendiri yang lebih tajam—pakai punyamu.
• Keputusan akhir… ada di kamu.