š„ MIKA, SILO, HEAL Terkoreksi, Akibat Skema 10% Copayment?
Kamis minggu lalu (5/6), saham tiga emiten rumah sakit besar di Indonesia ā $MIKA, $SILO, dan $HEAL ākompak terkoreksi. Koreksi ini bahkan berlanjut pada hari Selasa (10/6).
Padahal, kasus Covid-19 sedang mengalami kenaikan, dan kita masih berada di musim pancarobaāperiode yang berpotensi mendorong jumlah pasien. Kombinasi seperti ini seharusnya menjadi sentimen positif bagi sektor rumah sakit.
Tapi kenapa justru harga sahamnya turun?
Di tengah sentimen ini, muncul kabar yang mungkin membuat investor berhati-hati.
OJK resmi menerapkan aturan copayment atau risk-sharing antara pasien dan perusahaan asuransi. Dalam skema ini, pasien diwajibkan menanggung setidaknya 10% dari total klaim yang diajukan, dengan batas maksimum Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk rawat inap.
Apakah ini penyebab utama koreksi saham rumah sakit? Kita tentu tidak bisa menyimpulkan dengan pasti. Tapi di post ini, saya akan coba mengulik lebih jauh:
š Apakah skema copayment memang tidak menarik bagi pemegang polis?
š Bagaimana dampaknya terhadap industri rumah sakit?
ā---------------------------------------------
Disclaimer: Artikel ini ditulis berdasarkan opini pribadi dan bersumber dari informasi yang tersedia secara publik. Analisis difokuskan pada potensi dampak kebijakan copayment, dan tidak fokus pada faktor-faktor lain yang dapat menjadi katalis maupun hambatan bagi industri asuransi dan rumah sakit ke depannya.
--------------------------------------------
š”ļøInsurance Reform: Beyond the Potential Lies Hurdles
Kebijakan copayment membawa tiga potensi positif bagi industri asuransi yaitu:
1. Meringankan risiko yang ditanggung perusahaan,
2. Menekan inflasi biaya kesehatan (health inflation) dengan 4Y CAGR 2021ā2025F 12%, dan
3. Membuka ruang untuk peningkatan kualitas layanan asuransi bahkan potensi pertumbuhan premi yang lebih tekontrol, dimana pertumbuhan premi industri memiliki 4Y CAGR 2020ā2024 sebesar 24%.
So, whatās the concern?
ā Growth Disruptions
Penetrasi industri asuransi Indonesia secara keseluruhan hanya mencapai 2,72% pada Februari 2025 (data OJK) dan sangat bergantung pada kelas menengah-atas. Studi dari IFG Progress (2023) dengan sample ~1.200 orang menemukan bahwa secara rata-rata, pemegang polis asuransi kesehatan swasta di Indonesia memiliki pengeluaran rumah tangga >Rp 15 juta, memiliki luas rumah >120 meter persegi, dan berusia sekitar 30 tahun.
ā Insurance Needs the Middle-Lower Class to Grow
Karena dominasinya sendiri berada di middle-upper class, sebenarnya growth driver industri ini adalah middle-lower class. Seandainya copayment ini mendatangkan pengeluaran yang lebih tinggi, kelas menengah-bawah bisa jadi lebih enggan untuk masuk.
Untuk memahami dampaknya lebih lanjut, saya berusaha mensimulasikan:
Jika pertumbuhan premi melambat, bagaiman biaya yang ditanggung pemegang polis? Apakah lebih mahal, murah atau sama saja?
Bagi orang yang relatif sehat dan jarang ke rumah sakit, jawabannya āmungkinā.
š Base case pertumbuhan premi berkurang 10% dari skema lama
Biaya yang dikeluargan lebih mahal untuk ~3 tahun pertama, tetapi skema copayment akan lebih murah dalam jangka panjang, kecuali untuk rawat inap.
š Bear case, pertumbuhan premi berkurang 5% dari skema lama
Biaya yang dikeluarkan lebih mahal untuk 11 tahun pertama, tetapi skema copayment akan lebih murah dalam jangka panjang, kecuali untuk rawat inap.
Bagi orang yang sering sakit atau bahkan mengidap penyakit kronis? Jawabannya tidak. Here's why:
šSkema copayment tidak akan menghalangi repricing yang lebih tinggi sebagai akibat dari penyakit kronis. Misal, ketika pemegang polis sehat, repricing 8% YoY, sementara ketika mengalami penyakit kronis, repricing dinaikkan menjadi 12% YoY.
šTerdapat beban tambahan yang cukup signifikan karena jika pemegang polis perlu konsultasi rutin, test lab berkali-kali, bahkan operasi, karena perlu berulang kali mengajukan klaim.
Simulasi ini menemukan bahwa copayment akan cukup memberatkan mereka. Saya melakukan simulasi bagi tiga penyakit dengan asumsi pertumbuhan premi base case, dan berikut penemuan saya:
1. Kanker: Copayment akan lebih mahal daripada skema lama untuk penderita kanker yang melewati bertahun-tahun active treatment (kemoterapi, operasi, dll.) dilanjutkan masa recovery dan kontrol rutin. Namun, jika penderita kanker dapat sembuh dan keadaannya stabil, biaya yang ditanggung dapat lebih murah daripada jika tidak menggunakan skema copayment.
2. Diabetes tipe 2: Copayment akan cenderung lebih mahal daripada skema lama dengan asumsi bahwa kondisi pasien memburuk (asumsi yang cukup wajar bagi penderita penyakit ini) dalam jangka panjang sehingga memperbanyak rawat jalan dan inap.
3. Gagal ginjal: Copayment akan menambah biaya untuk penderita gagal ginjal karena tingginya frekuensi treatment (dialysis/cuci darah) sehingga klaim mencapai lebih dari 100 per tahun (cuci darah 2x/minggu). Tentu, hal ini dapat berubah jika ada klausul khusus bagi penderita gagal ginjal.
ā Insurance Needs the Young Generation to Scale
āBackboneā industri asuransi justru adalah orang mudaāyang umumnya lebih sehat dan belum memiliki penyakit kronis/berat yang cenderung muncul di usia lanjut.
Dengan adanya copayment, muncul kekhawatiran baru:
Apakah calon pemegang polis muda yang usianya 20ā30 tahun jadi enggan untuk memiliki asuransi swasta?
Simulasi menunjukkan bahwa dalam bear case scenario, pemegang polis berpotensi menanggung biaya yang lebih berat selama 5 tahun pertama.
Bisa jadi, orang muda akan memilih untuk menunda memiliki asuransi swasta dan hanya mengandalkan BPJS.
Meskipun belum ada data dalam skala besar, survei Inventure (2024) dengan sample 450 orang menemukan bahwa hampir 50% kelas menengah merasa tidak perlu menambah asuransi swasta dan hanya mengandalkan BPJS. Bahkan, di antara mereka yang sudah punya asuransi swasta, 11% memangkas pengeluaran seputar asuransi kesehatan dan bahkan 10% memutuskan untuk menghentikan kepemilikan asuransi kesehatan.
ā Deferred Care Behavior Can Also Harm the Industry
Secara umum, pemegang polis akan berpikir dua kali sebelum mengunjungi dokter atau rumah sakit (deferred care). Namun hal ini berpotensi membawa risiko jangka panjang. Beberapa penyakit kronis atau beratāseperti kankerāmemiliki peluang penyembuhan yang lebih tinggi jika ditangani lebih awal.
Jika terjadi kenaikan perilaku deferred care yang berlebihan, hal ini malah meningkatkan biaya yang harus ditanggung pihak asuransi. Namun, bisa saja ini balanced out dengan adanya skema copayment.
ā¤ļøā𩹠Hospital Reset: Potential for BPJS-Heavy Hospitals
Dengan skema copayment, rumah sakit berpotensi menghadapi dua dampak utama:
1. Penurunan volume pasien rawat jalan (outpatient) karena deferred care, dan
2. Pergeseran volume layanan rumah sakit yang menjadi rujukan BPJS.
āPenurunan Volume Outpatient karena Deferred Care
Dengan copayment, ada kemungkinan pasien akan lebih cautious sebelum melakukan kunjungan rawat jalanātermasuk untuk konsultasi, test lab rutin, maupun pembelian obat. Kalau pasien merasa gejalanya tidak mendesak, sebagian akan menunda perawatan (deferred care). Sebagai alternatif, mungkin pasien beralih ke jalur yang lebih murah seperti self-treatment (beli obat langsung tanpa konsultasi).
Seperti yang telah dibahas di segmen asuransi, worst case scenario-nya adalah ketika deferred care menyebabkan lonjakan penyakit kronis yang seharusnya bisa ditangani lebih awal. Jika hal tersebut terjadi, rumah sakit justru akan menanggung beban yang lebih berat karena kasus kompleks bergantung pada tenaga medis yang lebih specialized, waktu penanganan pasien yang lebih lama, serta penggunaan peralatan advanced yang jumlahnya sangat terbatas.
ā Pergeseran Volume ke Rumah Sakit Proxy BPJS
Di sisi lain, terdapat rumah sakit yang berpotensi relatif diuntungkan dari skema ini, yaitu HEAL, yang sering menjadi rujukan BPJS.
Rumah sakit rujukan BPJS berpotensi diuntungkan jika skema copayment mendorong penggunaan BPJS lebih tinggi setidaknya di segmen menengah ke bawah, apalagi mengingat adanya skema coordination of benefits (COB). COB merupakan skema yang memungkinkan biaya ditanggung sebagian oleh BPJS, sebagian oleh asuransi swasta, atau pribadi (out of pocket).
HEAL merupakan salah satu group rumah sakit yang kerap menerima rujukan BPJS dengan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi inpatient days BPJS tercatat naik dari 71% pada 2022 menjadi 78% pada 2024. Sementara itu, outpatient visit BPJS atau kunjungan rawat jalan BPJS naik dari 67% pada 2022 menjadi 74% pada 2024.
Sebaliknya, kontribusi BPJS terhadap pendapatan MIKA dan SILO kurang dari 20%.
MIKA justru mencatatkan penurunan kontribusi BPJS pada struktur pendapatannya seiring meningkatnya pendapatan dari pasien dengan asuransi swasta. Proporsi pendapatan MIKA yang berasal dari BPJS menurun dari 16,7% pada tahun 2022 menjadi 14,8% pada 2024.Tren ini juga dikonfirmasi melalui earnings call 1H24 MIKA, di mana MIKA mengatakan bahwa BPJS akan semakin jarang merujuk pasien ke rumah sakit MIKA.
Sementara itu, SILO juga mencatatkan kontribusi BPJS terhadap pendapatan yang rendah tetapi dengan tren yang lebih flat, dengan kontribusi 17,5% pada 2022 sedikit meningkat menjadi 18,2% pada 2024.
š So⦠Are Insurance Companies and Hospitals on the Edge?
Not quite. Copayment bisa dibilang bukan akhir, tapi justru awal dari reformasi yang akan membentuk ulang dinamika industri asuransi dan rumah sakit ke depan.
Seperti simulasi base case, skema ini cukup menguntungkan pemegang polis yang sehat dalam jangka panjang, kecuali untuk kasus rawat inap. Namun, skema ini juga perlu dirancang lebih inklusif bagi penderita penyakit kronisāso it doesn't end up punishing those who are already vulnerable.
Bagi industri asuransi, kuncinya ada pada eksekusi. Perusahaan asuransi harus bisa menyesuaikan produk, mengelola komunikasi risiko, dan melakukan edukasi yang kuat, terutama kepada . Ingat, dengan penetrasi yang masih rendah, pertumbuhan industri justru sangat bergantung pada perluasan partisipasi.
Untuk rumah sakit, meskipun skema copayment bisa menimbulkan tantanganākhususnya dari sisi volume rawat jalanāmasih ada beberapa katalis positif yang bisa menjadi penyeimbang. Kasus Covid yang kembali meningkat dan musim pancaroba dapat memicu kenaikan kasus penyakit. Selain itu, tiap grup rumah sakit memiliki keunggulan dan positioning yang berbedaāyang layak dibahas lebih lanjut (letās save that for another post).
ā ļø Bottom line:
Not everything is dark and bearish for the insurance and hospital industry. Tapi satu hal yang pasti:
The pressure is on for insurance companies to execute this policy with clarity, fairness, and empathy.
1/7