imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Apakah Ini Tentang Dugaan Skandal Pulsa TLKM?

Diskusi hari ini tentang dugaan skandal pulsa $TLKM yang disharing salah satu member External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Ada bom waktu yang lagi berdetak pelan-pelan di industri telekomunikasi Indonesia. Bukan soal sinyal lemot atau tarif mahal, tapi soal dugaan skandal akuntansi dari kuota internet pelanggan yang hangus begitu saja, padahal sudah dibayar lunas. Masalah ini meledak ke publik setelah Indonesian Audit Watch (IAW) dan Komisi I DPR buka suara. Mereka menyebut potensi kerugian dari kuota hangus ini bisa tembus Rp63 triliun per tahun. Angka ini bukan cuma fantastis, tapi bisa jadi petunjuk bahwa ada sesuatu yang nggak beres dalam pencatatan pendapatan perusahaan operator, terutama yang berlabel BUMN seperti Telkom. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Dalam praktik sehari-hari, pelanggan Telkomsel beli paket internet, misalnya Rp150 ribu untuk 30 hari. Kalau kuotanya nggak habis, otomatis hangus. Buat pelanggan? Ya udah, pasrah. Tapi dari sisi laporan keuangan? Nah, di sinilah jadi menarik. Karena menurut standar akuntansi yang dipakai Telkom, yaitu PSAK 72 yang mengacu ke IFRS 15, pendapatan itu nggak boleh langsung diakui saat pelanggan bayar. Harus dicatat dulu sebagai liabilitas kontrak, alias utang layanan. Artinya, uang yang diterima dari pelanggan itu statusnya masih titipan sampai perusahaan benar-benar kasih layanan. Baru setelah pelanggan pakai kuota atau nelpon, perlahan uang itu berpindah dari neraca ke laporan laba rugi jadi pendapatan.

Contohnya bisa dilihat di laporan keuangan Telkom per 31 Maret 2025. Di situ, tercatat ada Rp9,78 triliun liabilitas kontrak, artinya ada hampir 10 triliun rupiah yang udah diterima dari pelanggan tapi belum diakui sebagai pendapatan.

Liabilitas kontrak ini dibagi-bagi antara segmen yakni Mobile (Telkomsel) pegang porsi terbesar dengan Rp3,13 triliun, lalu disusul segmen Enterprise, Wholesale dan Internasional, serta pelanggan Consumer (kayak IndiHome). Kalau kita asumsikan satu pelanggan beli paket Rp150 ribu, maka angka Rp3,13 triliun itu mewakili sekitar 20,8 juta pelanggan aktif yang masih punya kuota atau pulsa tersimpan. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx

Sekarang masuk ke pertanyaan krusial, gimana kalau kuota itu hangus? Harusnya tetap dicatat sebagai liabilitas? Atau boleh langsung diakui jadi pendapatan? Jawabannya boleh aja, asal pakai metode yang namanya breakage. Ini konsep di PSAK 72 yang memperbolehkan pengakuan pendapatan dari hak pelanggan yang dipastikan nggak bakal digunakan. Misalnya, kalau data historis Telkom menunjukkan 12% pelanggan nggak pernah pakai kuotanya sampai habis, maka 12% dari liabilitas itu bisa diakui sebagai pendapatan. Tapi catatan pentingnya adalah harus ada basis statistik yang kuat, harus bisa diaudit, dan harus dijelaskan ke publik. Tanpa itu, pengakuan pendapatan dari kuota hangus bisa berubah jadi manipulasi.

Masalahnya adalah di laporan keuangan Telkom tidak mengungkap berapa persen pendapatannya berasal dari breakage. Tidak ada angka eksplisit yang menjelaskan nilai breakage atau metode estimasinya. Ini bikin tuduhan dari IAW makin berat. Karena kalau benar Rp63 triliun per tahun berasal dari kuota hangus yang langsung diakui jadi laba tanpa dasar, berarti ada yang sangat serius salah. Sebagai gambaran, laba bersih Telkom tahun 2024 cuma Rp24 triliun. Kalau Rp63T kuota hangus masuk diam-diam ke revenue, artinya sebagian besar laba bisa jadi ilusi akuntansi. Dan lebih parahnya lagi: dividen ke negara dan publik dibagikan dari uang pelanggan yang nggak pernah dapat layanan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Bandingkan dengan operator kelas dunia kayak Verizon (AS), Vodafone (UK), atau NTT Docomo (Jepang). Mereka melakukan pencatatan pelanggan prabayar sebagai deferred revenue, lalu menyajikan rincian breakage yang bisa diaudit. Bahkan sebagian dari mereka menyediakan fitur rollover, supaya pelanggan bisa pakai kuota sisa bulan lalu. Jadi transparansi dan perlindungan pelanggan dijaga. Sementara di Indonesia, hampir semua operator masih pakai sistem hangus otomatis. Dan selama metode breakage-nya nggak jelas, kuota hangus ini berpotensi jadi ladang pencatatan revenue yang bebas kontrol.

Kalau tuduhan ini benar, artinya laporan keuangan Telkom bisa dianggap overstated. Investor tertipu. Negara salah hitung dividen. Bonus manajemen dari laba yang sebenarnya belum realisasi. Dan kalau nanti audit forensik BPK atau KPK menemukan ada kesengajaan, maka ini bisa masuk ke ranah fraud dan pelanggaran hukum. Tapi kalau tuduhan itu tidak terbukti, dan ternyata Telkom sudah melakukan semua sesuai PSAK 72 dengan basis statistik yang benar, maka satu-satunya kelemahan mereka adalah minimnya transparansi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Itulah kenapa isu ini lebih dari sekadar kuota hangus. Ini soal bagaimana perusahaan memperlakukan hak pelanggan dalam neraca, dan bagaimana kejujuran akuntansi dipertaruhkan. Karena di atas kertas, semua tampak rapi: Telkom catat liabilitas kontrak, akui pendapatan perlahan, dan terus mencetak laba. Tapi tanpa membuka rincian breakage, semua itu bisa jadi seperti koperasi merah ijo sabung ghoib milik Pak BudiDolDol bin Judd Old, ramai di permukaan, tapi bisa ambruk begitu audit beneran datang. Maka untuk menyelamatkan kredibilitasnya, Telkom perlu segera menyajikan data breakage secara terbuka, menjelaskan metode penghitungan, dan memastikan bahwa laba yang mereka laporkan bukan hasil dari menelan hak pelanggan secara diam-diam.

Karena kalau kuota hangus dijadikan sumber keuntungan tanpa dasar yang sah, maka kita bukan cuma sedang bicara soal pulsa, kita sedang melihat awal dari potensi skandal akuntansi terbesar di sektor digital Indonesia.

Saya tidak bilang kalau tuduhan anggota DPR itu benar ya. Karena bisa saja TLKM sudah benar cuma mungkin miskomunikasi saja dengan anggota DPR. Apa yang dilakukan anggota DPR itu dalam mempertanyakan tentang kuota pulsa hangus pelanggan itu juga menurut saya tidak bisa disalahkan juga karena itu mewakili keluhan pelanggan. Menurut saya, solusinya simpel saja, TLKM tinggal klarifikasi ke publik untuk memastikan mana yang benar, anggota DPR yang benar atau TLKM yang benar. Biar aparat penegak hukum dan netizen yang menentukan apakah itu praktik benar atau salah. Transparansi. Toh itu kan ada di laporan keuangan, tinggal di perjelas saja lari kemana itu kuota hangus sehingga semua orang bisa sama-sama mengerti dan tidak ada pertanyaan yang sama di masa depan. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx

Mahluk halus seperti dedemit genderuwo tuyul jin aja kalau minta sesajen biasanya cuma sekali setahun atau tiap 5 tahun, ndak sampai juga tiap hari.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$EXCL $ISAT

Read more...

1/10

testestestestestestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy