imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

"GoTo dan Danantara"

$IHSG $TLKM

Istri saya sedang pergi Shopping dan minta tolong saya untuk temanin cucu yang kelas 6 SD main di TimeZone.
Cucu main dan saya tunggu di café yang ada di TimeZone itu.
Kebetulan, yang tunggu bukan hanya saya tetapi ada beberapa orang.

“Babo,“ sapa seseorang sambil mendekati saya dan menyalami saya dengan santun.
Saya kaget. Wah, kalau panggil saya Babo, artinya ini Circle Friend di sosial media.

“Saya suka baca tulisan babo di blog,“ lanjutnya.

Saya senyum aja.

“Bisa ajarin saya secara praktis "main" di Pasar Modal ?“ pintamya.
Dia jelaskan alasanya mau belajar.
Sebagai professional, di tengah keadaan ekonomi yang sedang lesu. Kurang job dan lebih banyak diam memang membosankan. Namun dia punya uang tabungan yang lumayan besar.

“Apa syarat "main" di Pasar Modal agar sukses ?" tanyanya.

“Di Pasar Modal itu, yang diperjualbelikan adalah saham dari Emiten. Jadi, harus paham dulu mengapa Emiten itu sampai Listed di Pasar Modal. Setidaknya, kamu paham Motive-nya. Dari Motive itu, kamu akan paham agendanya. Sehingga kamu bisa bersikap dengan benar tanpa dipengaruhi oleh Factor emosional,” kata saya.

“Oh, gitu ya, Babo. Bisa jelaskan secara sederhana?” tanyanya lagi.

“Di buku-buku teori dan aturan OJK, tentu Motive Emiten IPO adalah sangat ideal seperti : Spread Ownership, memperbaiki struktur permodalan dan Financial Resource yang murah serta Capital Gain, tentunya. Namun, sebagian besar Motive-nya adalah BUKAN ideal. Tetapi semata-mata Exit. Atau bahasa vulgarnya, "menyebarkan" resiko ke orang banyak dan mendapatkan keuntungan dari itu. Kalau engga pahami ini, kamu akan dianggap naif di hadapan komunitas Pasar. Yakini oleh kamu bahwa kamu sedang bermain dengan "Predator". Jadi, kamu bisa terus waspada. Engga mudah "terseret" Market Perception oleh Bandar Besar,“ kata saya.

“Bandar Besar itu siapa ?" tanya dia.

“Bandar itu adalah Asset Manager yang punya akses kepada Investor Institusi. Mereka-lah Creator valuasi dan Market Capitalization,” jawab saya.

“Ok. Terus ?“ lanjut dia.

“Karena alasan Exit itu, biasanya Emiten melalui Asset Manager dapat "dukungan" dari Investor Institusi yang High Reputation. Maka, Exit dirancang dengan baik SEBELUM IPO dilaksanakan. Biasanya, Investor Insititusi akan "terlibat" dalam proses Book Building agar harga saham yang di-Exercise oleh Underwriter bisa mencapai harga tertinggi. Biasanya dari sana, Goodwill Asset yang tadinya "diragukan" Value-nya akan menjadi Reliable,“ kata saya tersenyum.

“Selama ini saya mengamati Pasar Modal lewat media massa dan YouTube. Mengapa orang percaya saja dengan Goodwill yang besar, seperti hal-nya kasus GoTo ( $GOTO ) dan lain-nya ?“ tanya dia.

“Bukan percaya saja. Tetapi "terjebak" dalam perangkap persepsi yang dibentuk oleh kampanye ala Pilpres,“ jawab saya tersenyum.

“Contohnya ?" tanya dia.

“ Ya, seperti melibatkan influencer keuangan dan dikampanyekan lewat media massa dan group terbatas di komunitas Pasar Modal yang dikelola oleh "motivator" Pasar Modal. Biasanya dengan narasi yang "menggiring" persepsi masyarakat terhadap latar belakang Emiten, seperti : visi, dan dampak sosial terhadap lapangan kerja dan penguasaan tekhnologi. Kekuatan ekosistem. Tentu, "dibumbui" dengan narasi Fear of Missing Out (FOMO) untuk menarik Investor Ritel dan Trust akan "terbentuk",” kata saya.

Dia mengganguk dan terdiam. Sepetinya dia berusaha mencerna penjelasan saya.

“Babo, apa bisa ambil contoh Emiten GoTo untuk menjelaskan agenda bisnis dibalik IPO itu ?“ tanyanya.

Saya tersenyum. Anak muda seperti ini sedang dalam proses belajar dan berkembang. Tidak ada salahnya untuk memberikan pencerahan.

“Perhatikan ini,” kata saya mengawali. “Sebelum IPO, baik Gojek maupun Tokopedia sudah punya utang kepada Investor Institusi. Tokopedia punya utang dalam bentuk Obligasi Konversi kepada Temasek sebesar USD 500 Juta. Gojek juga punya utang Obligasi Konversi kepada Telkomsel (Anak Perusahaan Telkom sebesar USD 450 Juta. Semuanya dalam bentuk Convertible Bond. Artinya, Utang itu akan dikonversi dengan harga saham pada saat IPO. Paham, kan?” papar saya tersenyum.

“Ya, Babo. Terus..?” jawabnya.

“Artinya, memang sudah dari awal mereka punya agenda atau Exit Strategy lewat IPO. Dapat untung bukan dari Laba Usaha tetapi dari Valuasi saham atau Capital Gain. Tapi proses itu tidak mudah. Misal, Tokopedia Focus kepada Gross Merchandise Value. Gojek focus kepada pada : ekspansi, akuisisi pengguna, dan diversifikasi layanan. Mangkanya sejak Tokopedia berdiri tahun 2009 dan Gojek tahun 2010 tidak pernah mencetak Laba atau Net Profit,“ kata saya.

“Tetapi kan, ongkos-nya mahal sekali. Resiko juga besar,” katanya.

“Resiko itu masih terukur. Mereka yang berada dibalik Gojek dan Tokopedia itu adalah SoftBank, Alibaba, SWF Singapore-Temasek, dan Sequoia. Dibalik mereka itu ada Pemain Hedge Fund yang berpengalaman mengelola resiko dan Take Advantage dari keraguan. Nah, Merger-nya Gojek dengan Tokopedia itu adalah bagian dari Risk Management. Karena baik Gojek maupun Tokopedia, kan Investornya adalah pihak yang sama. Gampang ngaturnya,“ kata saya.

“Kan, Nilai Buku atau Book Value saham GoTo adalah Rp. 1,- (satu Rupiah), sedangkan harga IPO Rp. 300,- (tiga ratus Rupiah). Itu artinya, 300 kali lipat. Itu kan sama saja ketika Utang dikonversi dengan saham maka utang Rp. 300,- "dibayar" pakai saham senilai Rp 1,-. Enak betul dapat uang berlipat. Dapat di depan lagi. Begitu besarnya valuasinya. Begitu besarnya Asset Intangible yang tercatat dan diakui. Mengapa Pemerintah tidak audit sebelum IPO ?" tanyanya.

“Itu kan Market. Mana boleh Pemerintah intervensi,“ jawab saya tersenyum.

(Padahal, di Luar Negeri tetap ada Suspect kalau, valuasi berlebihan. Dan akan memancing pihak Otoritas untuk melakukan investigasi. Apalagi, kalau sampai dalam waktu kurang setahun harga saham "jatuh" terlalu dalam.)


“Maksud saya, pasti ada konspirasi. Apalagi ada yang jadi "korban" di depan yaitu Telkomsel. Kan gimanapun, Telkomsel itu anak usaha Telkom, dan itu adalah Asset Negara,” katanya.


“Itu bukan konspirasi namanya tetapi skema, Biasa saja. Asalkan proses-nya sesuai aturan,“ kata saya.

“Artinya, kalau akhirnya Investor Retail yang korban, itu salah sendiri,“ katanya.

“Iya. Free Entry - Free Fall,” kata saya.

“Terus, gimana nasip Telkomsel yang terlibat pemberian Utang Konversi ? Sampai dengan Juni 2024 pada harga di Market saham GoTo Rp 50, dengan harga perolehan USD 375 maka Telkomsel udah "tekor" Rp. 7,7 Triliun. Sementara GoTo sejak Merger dan IPO, engga pernah Laba,“ tanyanya.

“Tetapi itu kan baru Potensial Loss. Masih bersifat Unrealize Loss. Jadi belum bisa dikatakan Rugi, secara akuntansi. Ada "harapan" engga rugi. Apalagi ada rencana Danantara akan masuk ke GoTo. Demi "menjaga" agar GoTo tidak dikuasai Asing. Kan bisa, "geser" Rugi-nya ke Danantara,“ kata saya tersenyum.

“Mengapa ?" dia mengerutkan kening.

Sebuah tanya yang sulit dipahami oleh orang waras dan awam. Apalagi membayangkan Danantara akan masuk ke GoTo yang SUDAH JELAS agenda-nya bukan Create Money dari kegiatan Operation tetapi dari "persepsi" Pasar.

“Karena Pasar Modal itu "arena permainan", yang hanya diperuntukan bagi "orang dewasa". Bukan yang baper,“ kata saya.

“Bisa jelaskan maksudnya ?" tanyanya.

“Kalau kamu mau beii saham, kan kamu harus tahu dulu apakah saham tersebut harganya wajar, kemahalan atau kemurahan ? Kamu harus hitung Price to Earning Ration, Price to Book Value, Price to Growth Ratio dsb. Setelah tahu, nah mental kamu akan "diuji" dengan realitas harga di Market,“ kata saya.

“Kan kadang bedanya jauh banget antara PER dengan Maket Value. Apalagi dengan PBV atau PEG. Gimana, Babo ?" tanyanya.

“Ya menganalisa PBV, PER, PEG, kan harus pada dasarnya memahami Business Profile dari Emiten termasuk Product Knowledge. Sehingga kamu tahu "arah" yang menggerakan Pasar. Contoh Property. Kamu harus tahu beleied kebijakan BI tentang LTV. Semakin tinggi LTV, semakin "suram" Business Property. Kan, Property BUKAN bisnis Supply TETAPI bisnis On Demand. Tanpa insentif, engga mungkin tumbuh,“ kata saya.

“Kalau saham Perbankan, gimana ?" tanyanya lagi.

“Kamu harus lihat data Trend DPK Bank dan data itu harus diuji validitas-nya dengan data berapa jumlah Bank itu dalam menyerap fasilitas Makro Prudential dari BI. Semakin tinggi dia serap, semakin "rapuh" Bank itu. Walau data DPK hebat, cuekin aja. Itu Window Dressing,” kata saya.

Dia mengangguk dan terdiam. Seakan sedang berpikir..

“Yang sampai sekarang saya bingung dan tidak habis mengerti, kadang membuat saya ragu dengan data fundamental. Walau harga saham di Market kadang tidak rasional, bahkan kalau ngandalin dari Deviden, mungkin 100 tahun engga akan balik tuh investasi. Lucunya, rame aja yang beli,” katanya.

“Itu karena "persepsi". Dan persepsi itu dibentuk oleh Trader yang kerjasama dengan Lidquidity Provider atau Market Maker. Peningkatan Marcap itu tidak dipicu oleh transaksi yang Real tetapi lewat transaksi : Margin Call, Short Selling, Repo dsb. Hanya New Comer dan spekulan yang jadi "korban". Mangkanya penting sekali punya mental disiplin dalam "bermain" di Pasar Modal,“ kata saya.

“Pasti ada "agenda jahat" dibalik persepsi itu,“ katanya.

Saya senyum aja. Agendanya, ya "melepangkan jalan" untuk : Pump-and-Dump, Arbitrase & HFT, Cover Position dsb. Namun tidak mungkin saya jelaskan detail agendanya. Itu sama aja "ngajarin" mantiko. Engga baek.

Tak berapa lama anak dan istrinya sudah datang. Dia kenalkan mereka kepada saya.

Setelah mereka pergi saya termenung sendirian.
Kalau ingin tahu bagaimana System kapitalis "bekerja" secara Real dan vulgar, maka itulah yang terjadi pada Aplikator Ojol.
Mereka hanya berinvestasi dan menanggung untuk Biaya Operasi pada System Back Office Market Place, sementara di Front Line ada pihak lain (baca : Mitra) yang "menanggung" Investasi dan Biaya Operasi. Memang, Fee yang didapat Aplikator kurang dari 1/3 Pendapatan Driver, namun jumlah itu akan sangat besar kalau dihitung dari total Driver yang ada.

Perputaran Cash dari Business model ini sangat besar. Tentu sangat mudah di-kapitalisasi untuk : meningkatkan Value saham, memperbesar Asset dan mengalirkan uang Investor dari Bursa ke dalam "brankas" mereka. Artinya, Value dari Business model ini tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan dari Driver sebagai Basic Revenue.
Mengapa ? Karena dari awal memang Design Business-nya adalah model untuk meng-Utilize Sumber Daya pihak lain untuk mendapatkan Capital Gain berlipat dengan resiko sekecil mungkin.

Sebatas itu bisa dimaklumi. Karena begitulah Value dari kehadiran Technologi. Selalu Pemenang-nya adalah yang menguasai High Tech. Namun, yang jadi masalah adalah Business model itu dengan mudah menimbulkan Moral Hazard.
Mengapa ? Perhatikan, awalnya mereka "tebas" Income Driver sebagai Mitra. Kemudian, mereka IPO, Spread Ownership terjadi. Secara perlahan, Harga Perdana terus turun mendekati gocap. Pemegang Saham Publik "tekor".

Kelak, yang menanggung semua adalah Negara lewat Danantara.

Sumber : https://cutt.ly/ErmnBgv3

Terima kasih sudah membaca.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy