"Rente Dibalik PSN"

"Potensi cadangan bauksit Indonesia nomor 4 Dunia. Sampai saat ini Indonesia masih impor aluminium lebih 500.000 ton per tahun,” demikian kata Cristian di ruang Meeting kantor IM di kawasan SCBD.

Cristian adalah teman saya yang sedang menjajaki investasi smelter alumina.
Saya bawa Cristian untuk ketemu Dewi, Dirut IM (Investment Management) yang terafiliasi dengan Family Office di London.

“Peluang sangat besar, baik Pasar Domestic maupun sumber daya mineral tambangnya,“ lanjut Cris.

Saya menyimak saja.

Cris lalu paparkan semua data dan analisa prospek bisnis itu. Tentu berharap Dewi akan mendukung pembiayaannya.

“Dari data yang anda paparkan dalam presentasi tadi dan juga Project Summary, keliatannya semua Perfect. Peluang yang bagus untuk Indonesia bisa mandiri dalam hal almunium,” kata Dewi (dan Cris mengangguk).

“Anda kan tahu PT. Inalum ?“ kata Dewi dengan bersandar di kursi.

Itu artinya, Dewi kuasai keadaan.
Dewi menatap serius, “Sudah beroperasi sejak Orde Baru. Sampai hari ini, Inalum masih impor alumina. Tahu kenapa ?" tanya Dewi.

Cris hanya diam.

“Itu harusnya anda pertanyakan sebelum anda "bergerak" terlalu jauh,“ kata Dewi seraya menatapnya sejurus.

“Apa penyebabnya ?“ tanya Cris.


“Sembilan puluh persen (90%) tekhnologi pemurnian alumina Global menggunakan Bayer Process dengan berbagai modifikasi oleh Pemain utama seperti Alcoa dan Rio Tinto, Chalco dan Hongqiao, Rusal dan Norsk Hydro. Mereka mengendalikan segala-galanya. Walau kita Pemilik cadangan bauksit terbesar nomor 4 Dunia, itu tidak mudah untuk mandiri. Faktanya, Inalum masih tergantung impor alumina dari Australia, Senegal, Brazil, India,” kata Dewi.

“Tapi, tahun ini Inalum bersama Antam ( $ANTM ) akan produksi alumina di Kalimantan Barat melalui JVC, PT Borneo Alumina Indonesia. Dengar kabar, kapasitasnya baru 200.000 Ton. Semua produksi di Offtake Inalum. Terkhnologi dari China. Saya berharap anda bisa bantu saya mengakses Vendor China juga,“ sambung Cris

“Ya, itu proyek SGAR atau Smelter Grade Alumina Refinery. Namun, biaya energinya sangat tinggi. Boros banget,“ kata Dewi dengan mengerutkan kening. “Ongkos listriknya mencapai 45% dari Total Cost produksi. Artinya, yang pasti untung adalah yang punya Fuel batubara untuk pembangkit listrik. Dengan kapasitas bauksit 1 juta Ton, itu artinya ribuan Ton batubara per hari yang diperlukan. Sementara, harga pokok alumina dengan Fuel batubara adalah USD 400 per Ton. Nah, bandingkan harga FOB Impor alumina tahun ini dari Australia USD 348 per Ton,“ sambung Dewi.

“Oh, I see," Cris sepertinya terkejut.

“Ya, mending impor aja daripada produksi sendiri malah merugikan Inalum,“ kata Dewi tersenyum

“Oh, I see,” jawab Cris.

Dewi mengangguk.

Saya senyum aja.

“Mengapa harga alumina Australia bisa lebih murah ?" tanya Cris.

“Yang punya smelter, Pemain utama di industri aluminium seperti Rio Tinto, Alcoa. Kapasitas smelter di Ausi itu sangat besar. Dalam skala ekonomi efisien, Output-nya jadi murah. Dukungan Infrastruktur yang solid. Ongkos Logistic jadi murah. Tekhnologi smelter yang canggih karena mengolah bauksit berkualitas tinggi. Dan biaya energi lebih murah dibanding Indonesia. Yang pasti dalam proyek berskala besar, tidak ada rente terlibat di sana. Law Enforcement "jalan". Benar-benar Business as Usual,” kata Dewi seakan sinis dengan keadaan Indonesia.

Cris terdiam.

Dewi menanti Cris melanjutkan diskusi,

“Dari tahun 2023, PT Adaro Minerals Indonesia Tbk., ( $ADMR ) melalui anak usahanya PT Kalimantan Aluminium Industry atau KAI juga berencana membangun Industry aluminium. Sesuai Schedule tahun ini akan mulai beroperasi dengan berharap pasokan alumina dari PT Borneo Alumina Indonesia (BAI). Padahal katanya alumina produksi BAI sudah di Offtake oleh Inalum. Gimana ? Bingung saya,” kata Cris.

“Sekarang coba anda berpikir secara bisnis, “ kata Dewi yang tidak lagi bersandar di kursi.
“ Mengapa KAI bangun smelter aluminium dan berharap Alumina dari BAI ? Padahal dia tahu harga alumina dari BAI itu mahal. Lebih murah impor. Kebutuhan listrik smelter aluminium jauh lebih besar daripada Alumina. Kalau, harga alumiun USD 2000 / Ton, USD 1000-nya adalah Ongkos Listrik. Belum lagi Biaya Logistic, Biaya Produksi, Penyusutan dan lain-lain. Sulit bisa bersaing di Pasar Global kecuali jual di Dalam Negeri lewat proteksi Pemerintah. Jawablah,“ kata dewi tersenyum, kembali bersandar di kursi,

Cris terdiam. Sepertinya dia berpikir.

Saya seruput kopi.

"Ya sebenarnya Business KAI adalah jualan Fuel batubara untuk PLTU. Dan itu "dibebankan" ke Harga Pokok aluminium untuk jual di Pasar Domestic,” kata Cris sambil mengerutkan kening.

“Tepat,“ Dewi acung dua jempol.
“itulah rente. Dengan alasan Program Nasional Hilirisasi. Tapi mengabaikan Environmental, Social and Governance (ESG). Dan pasti tidak Sustainable,“ kata Dewi tersenyum.

“Mengapa segitunya merekayasa bisnis ? Padahal jelas merugikan Negara dalam jangka panjang. Apakah tidak ada orang di Pemerintah yang paham dan punya niat baik ?” tanya Cris.

“Karena mereka tidak punya akses kepada sumber daya keuangan international. Bank besar seperti World Bank, Asian Development Bank, dan bahkan Bank First Class seperti HSBC, Citi, Credit Suisse, Chase JP, tidak lagi terlibat membiayai proyek yang bergantung kepada Dirty Energy seperti Batubara. Mangkanya, "diciptakanlah" Proyek Strategis Nasional (PSN). Nah, dengan demikian mereka dapat fasilitas Captive Market, Bahan Baku dan tentu pembiayaan dari Bank Local. Seperti KAI, kan dapat pembiayaan USD 1,755 Miliar dari konsorsium Bank Local yang terdiri dari BNI, Bank Mandiri, BRI, Permata dan BCA,“ kata Dewi.

“Wah, sudah State Capture itu,” kata Cris spontan.

“Seharusnya kan Pemerintah focus kepada riset untuk mandiri dalam hal tekhnologi dan membangun kawasan industry alumina dan aluminium yang menyatu dengan pembangunan PLTA seperti proyek Kayan Cascade di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Itu kan bisa dihasilkan listrik 9000 MW. Energi bersih dan murah. Kawasan industry itu akan jadi margnit bagi investor dan tentu FDI bagi negara,“ kata saya sekedar nimbrung.

“Benar ! Focus ke sana..! “. Dewi acungkan jempol kepada saya. “Pak Ale ini mentor saya,“ kata Dewi kepada Cris.

Kemudian Dewi menyorongkan tubuhnya ke depan tanpa lagi bersandar di kursi, “We will not be involved in projects that use dirty energy such as coal. However, we will commit to supporting the investment program as long as the energy comes from hydroelectric power plants. Hope you understand,“ kata Dewi menyiratkan Meeting berakhir.

“Understood, your position is clear and principled. Avoiding involvement in projects powered by coal aligns with many global ESG standards and climate commitments. Supporting investments that rely on hydropower or a renewable and low-carbon energy source demonstrates a strong commitment to sustainable development,“ Cris berdiri dan menyalami Dewi.

Kami diantar sampai depan pintu lift.

“Ale, itu Ibu Dewi cantik. Profesional sekali dan wawasan bisnisnya luas banget. Ya, wajarlah. Dia kerja di perusahaan Investment Management yang terafiliasi dengan Wealth Managament kelas Dunia,” kata Cris saat dalam kendaraan.

Saya senyum aja.

Sumber Link :

https://cutt.ly/QrnGQg0H

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy