imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BTPS - Jalan Bertahan dari Pinggiran Ekonomi

Setiap kali dunia mengalami goncangan ekonomi—dari krisis keuangan global 2008, pandemi COVID-19, hingga perlambatan ekonomi pasca-2023—selalu ada satu pola yg muncul berulang: tingkat pengangguran naik, dan segmen ekonomi paling rapuh langsung terdampak. Segmen ultra mikro, yg umumnya tidak tersentuh layanan bank formal, menjadi kelompok paling rentan. Ketika penghasilan rumah tangga menurun, daya beli ikut tergerus, permintaan atas produk UMKM menyusut, dan kemampuan mereka untuk membayar cicilan menurun. Kredit macet meningkat, sementara lembaga keuangan menjadi lebih hati-hati bahkan menutup keran pembiayaan ke kelompok ini.

Kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai negara. Di India, sektor mikrofinansial mengalami kontraksi hingga 14% pada kuartal pertama 2025, menunjukkan betapa rentannya portofolio pinjaman di tengah meningkatnya pengangguran. Tapi di tengah pola krisis yg berulang ini, selalu muncul pengecualian. Ada model bisnis yg tetap bertahan, bahkan tumbuh: pembiayaan ultra mikro berbasis komunitas dan pemberdayaan. Salah satu contoh menonjol datang dari Indonesia, lewat kiprah BTPN Syariah.

BTPN Syariah bukan pemain baru, dan jelas bukan pemain sembarangan. Mereka membangun model pembiayaan ultra mikro dgn inspirasi dari Grameen Bank di Bangladesh dan lembaga mikrofinansial India seperti SKS Microfinance. Tapi alih-alih sekadar meniru, BTPN Syariah memilih jalan adaptasi. Mereka menciptakan Kelompok Pertemuan Sentra (KPS) sebagai versi lokal dari kelompok tanggung renteng. Mereka tetap mempertahankan prinsip tanpa agunan, tapi ditambah sentuhan nilai spiritual dan pelatihan usaha dlm setiap pertemuan mingguan. Fokus mereka tertuju pada perempuan prasejahtera di pelosok desa—karena perempuan terbukti punya tingkat pengembalian pinjaman yg lebih tinggi, sekaligus menjadi penjaga stabilitas ekonomi keluarga.

Nasabah yg mereka sasar adalah kelompok termarjinalkan oleh sistem perbankan formal: tidak punya slip gaji, agunan, atau bahkan rekening bank. Tapi BTPN Syariah justru masuk dgn pendekatan langsung ke rumah-rumah mereka, membangun kepercayaan dan sistem komunitas. Ketika ekonomi memburuk dan bank lain menarik diri, mereka tetap hadir. Bahkan di masa pandemi COVID-19, saat banyak bank syariah mengalami tekanan, BTPN Syariah mampu menjaga rasio pembiayaan bermasalah (NPF) tetap di bawah 3%, dgn return on asset yg unggul.

Resiliensi mereka tak lepas dari kombinasi budaya dan sistem. Prinsip BDKS (Berani Berusaha, Disiplin, Kerja Keras, Saling Bantu) tidak hanya menjadi slogan, tapi dihidupi sampai ke petugas lapangan (community officer). Operasional mereka ditopang oleh sistem digital berbasis mobile, memungkinkan pembiayaan menjangkau daerah minim sinyal. Bahkan, ketika pengangguran meningkat, pembiayaan justru naik—karena banyak ibu rumah tangga mulai usaha kecil sebagai respon atas hilangnya pendapatan suami.

Apakah Usaha Ultra Mikro Bisa Bertahan Saat Ekonomi Tertekan?

Secara teori, pengangguran tinggi harusnya bikin daya beli turun, lalu usaha kecil pun terpukul. Tapi praktik di lapangan sering menunjukkan hal sebaliknya. Usaha ultra mikro punya karakter unik: mereka fleksibel, berbasis kebutuhan pokok, bisa dimulai dgn modal kecil, dan dekat dgn pasar. Ketika masyarakat tak mampu lagi belanja ke supermarket atau makan di restoran, mereka beralih ke warung tetangga, tukang gorengan pinggir jalan, atau jasa laundry kiloan. Justru di tengah krisis, usaha ultra mikro menemukan ruang baru utk bertumbuh.

Fenomena ini bukan hanya asumsi. Data menunjukkan bahwa selama pandemi, usaha ultra mikro pulih lebih cepat dari UMKM menengah. Di India, laporan MFIN menunjukkan pemulihan lebih cepat di sektor ini. Di Indonesia, BTPN Syariah bahkan menambah jumlah nasabah aktifnya dari 3,4 juta ke 4 juta antara 2020–2022. Produk usaha nasabah seperti warung sembako, jualan makanan ringan, atau kerajinan rumah tangga tetap laris karena memenuhi kebutuhan dasar.

Penjelasan akademisnya ada pada teori “countercyclical informal economy” — sektor informal justru tumbuh saat ekonomi formal menyusut. ILO dan World Bank menyebut bahwa usaha ultra mikro menjadi penyangga lapangan kerja ketika formalitas runtuh. Dan karena usaha ini punya entry barrier yg rendah, masyarakat yg terkena PHK bisa cepat beralih jadi wirausaha skala kecil.

Tentu bukan berarti tanpa risiko. Bila krisis berkepanjangan dan daya beli masyarakat ultra miskin ikut runtuh, usaha kecil pun bisa tergerus. Tapi di sinilah pendekatan seperti BTPN Syariah jadi kunci. Mereka tidak hanya menyalurkan dana, tapi juga mendampingi, melatih, dan membentuk komunitas saling bantu. Ini yg membuat nasabah mereka tetap bisa bertahan saat badai ekonomi menerpa.

Dari berbagai temuan dan studi kasus, muncul satu benang merah yg penting: pembiayaan ultra mikro bukan sekadar solusi darurat, tapi solusi struktural. Ketika pengangguran naik, rumah tangga butuh opsi penghasilan alternatif, dan usaha ultra mikro jadi jalannya. Pembiayaan mikro berbasis komunitas, seperti yg diterapkan BTPN Syariah, menjadi jembatan yg memungkinkan mereka bertahan dan bahkan bangkit.

Di tengah runtuhnya sektor formal, justru sektor informal berbasis komunitas ini jadi bantalan ekonomi. Warung kecil, usaha makanan rumahan, layanan lokal—semua menjadi rantai ekonomi mikro yg tetap hidup karena beroperasi dgn biaya rendah dan punya pasar tetap. Dalam konteks ini, strategi pembiayaan ultra mikro tidak boleh dilihat sebagai charity, tapi sebagai pondasi ekonomi inklusif jangka panjang.

Apa yg dilakukan BTPN Syariah—dari pembiayaan tanpa agunan, pendekatan berbasis nilai lokal, hingga digitalisasi operasional—telah terbukti memberi dampak nyata. Mereka menunjukkan bahwa segmen termiskin pun layak dipercaya. Bahwa model dari India dan Bangladesh bisa tumbuh menjadi kekuatan khas Indonesia. Bahwa pembiayaan bisa manusiawi tanpa kehilangan unsur profitabilitas.

Meski terbukti efektif, pembiayaan ultra mikro tetap menghadapi tantangan. Salah satunya adalah persepsi bahwa ini adalah kegiatan sosial belaka. Padahal, agar berkelanjutan, model seperti ini harus profitable, tapi tetap menjaga inklusi. Tantangan lain adalah memastikan bahwa akses pembiayaan tidak berhenti di titik awal, tapi berlanjut ke peningkatan kapasitas usaha nasabah.

Harapannya, semakin banyak lembaga keuangan yg meniru atau bahkan mengembangkan lebih jauh model semacam ini. Karena saat ekonomi formal tidak mampu menampung semua tenaga kerja, dan ketika daya beli menyusut, kekuatan sejati ekonomi justru tumbuh dari pinggiran—dari warung sebelah rumah, dari ibu rumah tangga yg belajar jadi pengusaha, dari komunitas yg saling jaga dan bantu.

Masa depan ekonomi inklusif tidak lahir dari menara gading keuangan, tapi dari tanah dan peluh para pelaku ultra mikro. BTPN Syariah telah menunjukkan jalan—sekarang giliran yg lain mengikuti.

DYOR

$BBRI $ARTO

Read more...

1/2

testes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy