Apakah Saya Juga Oligarki Bejat Itu?
Random tag $IHSG $ISSI $SRI-KEHATI
Akhir-akhir ini saya cukup tersentil oleh berita tentang kerusakan lingkungan dan sosial akibat operasional perusahaan di sebuah pulau nan jauh sana. Udara tercemar, air tak lagi layak minum, dan ikan-ikan tak lagi sehat untuk dimakan. Membaca berita itu, saya tiba-tiba membayangkan: bagaimana jika saya dan keluarga tinggal di sana? Bagaimana jika anak saya tumbuh besar dengan udara kotor dan air tercemar sebegitu parahnya?
Awalnya saya menganggap nestapa itu jauh dari hidup saya, sambil nyruput kopi dan ikut menghujat pemilik perusahaan: dasar oligarki bejat! Tapi kemudian saya tersadar: kerusakan itu ternyata dekat, sangat dekat. Bahkan, saya mungkin bagian dari kebejatan itu.
Sebagai investor kecil-kecilan, saya sering merayakan cuan dari saham-saham yang saya beli. Ketika cuan datang, saya ikut bangga dan merasa sebagai pemilik dan bagian dari perusahaan yang berhasil. Dan memang betul, membeli saham berarti membeli kepemilikan bisnis. Tapi ketika muncul berita bahwa perusahaan itu mencemari sungai atau menggusur warga, saya mendadak amnesia. Itu urusan manajemen, bukan urusan saya, begitu saya berdalih.
Tapi benarkah? Kalau saya pemiliknya, sekecil apa pun porsi saham saya, bukankah saya ikut bertanggung jawab atas apa yang dilakukan perusahaan?
Mungkin, saya juga si oligarki bejat itu.
Ini jadi teguran keras buat saya: dunia saham bukan cuma soal cuan, tapi juga soal nilai dan dampak. Selama ini saya terlalu tenggelam dalam laporan keuangan menyelami neraca, laba rugi, rasio profitabilitas tanpa pernah menyentuh laporan keberlanjutan. Padahal, dari sanalah saya mungkin bisa tahu apakah perusahaan ini peduli terhadap lingkungan, terhadap manusia, terhadap masa depan.
Saya sadar, laporan keberlanjutan bukanlah dokumen suci. Banyak yang ditulis untuk menjaga citra perusahaan, bukan mengungkap kenyataan. Tapi paling tidak, itu bisa jadi titik awal untuk kita bisa mulai membedakan mana yang hanya greenwashing, mana yang betul-betul mencoba bertanggung jawab.
Saya mengerti, setiap bisnis pasti meninggalkan jejak. Tapi paling tidak kita masih bisa memilih, walaupun bukan yang sempurna, tapi yang paling sedikit merusak. The best from the worst.
Pada akhirnya, ini semua tentang pertanggungjawaban. Sebagai seorang muslim, saya percaya bahwa di akhirat nanti, setiap rupiah yang saya dapat akan ditanya: dari mana, dan untuk apa. Saya hanya sedang mencoba menyiapkan jawaban untuk pertanyaan itu.
Dan siapa tahu, mungkin saat saya kembali nyruput kopi sambil cek portofolio, saya bisa merasa sedikit lebih lega, bukan hanya karena cuan, tapi karena nurani juga ikut tersenyum.