Negara Bansos?
Lanjutan diskusi tentang gaji di Indonesia di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kalau kamu percaya bahwa Indonesia makin makmur karena angka kemiskinan resmi terus turun, selamat, kamu layak diberi piagam penghargaan sebagai warga yang patuh pada angka. Tapi sayangnya, angka bisa menipu, terutama kalau definisinya dimiringkan, targetnya digeser, dan realitasnya disimpan rapat di balik tumpukan presentasi PowerPoint kementerian. Karena kalau kita gabungkan semua data resmi dari BPS, Kementerian Sosial, Kementerian Keuangan, sampai Bank Dunia, maka narasi yang menyatakan bahwa rakyat makin sejahtera itu terdengar seperti punchline yang terlalu sering diulang saat musim kampanye dan musim krisis. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kita mulai dari pondasi dasarnya yakni data jumlah penduduk dan jumlah orang miskin.
š Jumlah Penduduk dan Orang Miskin (2024)
ā©Total penduduk Indonesia: 281,6 juta jiwa (BPS, 2024)
ā©Penduduk miskin: 24,06 juta jiwa atau 8,57%
ā©Standar miskin versi BPS: hidup dengan pengeluaran < Rp595.242 per bulan
Jadi kalau kamu sanggup hidup dengan Rp20.000 per hari, makan seadanya, nggak punya pulsa, dan gak pernah ke dokterākamu dinyatakan tidak miskin. Cerdas kan standar miskin pemerintah Indonesia? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Turunnya angka kemiskinan ini terlihat konsisten dari tahun ke tahun, bahkan ketika pandemi mengguncang dunia. Kalau menurut grafik, grafiknya cantik. Tapi kalau tanya warga, hidupnya justru makin miring.
š Jumlah Penduduk Miskin dari 2010ā2024
2010: 31,02 juta
2015: 28,51 juta
2019: 25,14 juta
2020: 26,42 juta (naik dikit, tapi tetap terkendaliākatanya)
2021: 27,54 juta
2024: 24,06 juta (klaim terendah sejak Indonesia merdeka dari statistik)
Pola yang nampak adalah tiap tahun mendekati pemilu, jumlah orang miskin turun drastis.
Tapi ada yang lebih seru adalah jumlah penerima bantuan sosial. Ini bukan cerita soal orang miskin dibantu. Ini cerita tentang siapa yang terdata, siapa yang beruntung, dan siapa yang cukup dekat dengan struktur RT-RW untuk masuk daftar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
š Penerima Bansos (2024)
ā©Jumlah Keluarga Penerima Manfaat: 18,8 juta keluarga
ā©Rata-rata jumlah anggota keluarga dalam 1 keluarga : 4,71 orang
ā©Total individu penerima: 18,8 juta keluarga x jumlah rata-rata anggota keluarga 4,71 = 88,6 juta jiwa
ā©Persentase dari populasi: 31,48%
Bandingkan dengan penduduk miskin (24 juta), berarti 64 juta penerima bansos bukan tergolong miskin
Atau, cuma 1 dari 4 penerima bansos yang benar-benar miskin secara statistik
Logika yang muncul adalah orang miskin tidak semua dapat bantuan ataukah orang yang tidak miskin bisa dapat bantuan? Dan sebagian besar rakyat yang lain? Hidup dalam wilayah abu-abu, antara ācukup susah untuk tidak hidup enakā tapi ātidak cukup menderita untuk dicatat negaraā.
Lalu, datanglah standar global bank Dunia. Karena kadang, untuk tahu realitas hidup rakyat, kita harus lihat dari luar pagar statistik lokal pemerintah.
š Standar Bank Dunia vs BPS
ā©Garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia: USD 2,15/hari ā setara Rp1,25 juta/bulan
ā©Garis hidup layak Bank Dunia: USD 6,85/hari ā sekitar Rp4 juta/bulan
ā©Persentase penduduk Indonesia di bawah USD 6,85/hari: 60,3%, alias ~170 juta jiwa
Nah loh? Jadi menurut dunia, 170 juta orang Indonesia hidup tidak layak. Tapi menurut BPS, hanya 24 juta yang tergolong miskin. Statistik macam apa yang bisa menyembunyikan lebih dari 140 juta orang dari radar pengentasan kemiskinan? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Miskin itu hanya soal definisi statistik.
Sekarang mari kita intip anggaran negara. Karena kalau ada yang konsisten naik di negeri ini, bukan cuma harga cabai atau tarif tol, tapi juga anggaran bansos.
šø Anggaran Bansos 2016ā2024
2016: Rp49,06 triliun
2018: Rp83,91 triliun (pemanasan menuju pemilu)
2019: Rp96,8 triliun (tahun Pilpres, tentu saja)
2020: Rp498,0 triliun (pandemi, banjir bansos)
2021: Rp468,0 triliun
2023: Rp439,1 triliun
2024: Rp496,8 triliun (pemilu lagi, déjà vu)
Naiknya anggaran bansos jelas bukan karena penduduk miskin makin banyak, justru makin sedikit, katanya. Tapi kenapa belanjanya tetap jumbo? Karena bansos, ternyata, bukan cuma soal sosial. Dia juga alat stabilitas politik, pengendali keresahan, dan kalau perlu, alat kampanye paling halus. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jumlah orang miskin berkurang menurut standar statistik BPS tapi kok jumlah bansos makin gede? Logis?
Apakah orang miskin memang sengaja dipelihara agar bisa dibeli suaranya pakai bansos? Entahlah, saya pun ndak ngerti gitu2an.
Dari sini kita bisa lihat adanya anomali dan mismatch yang terselubung rapi:
1. Angka kemiskinan turun, tapi jumlah penerima bansos justru naik.
2. Standar miskin dibuat serendah mungkin agar grafiknya cantik.
3. Data DTKS (bansos) dan data BPS (kemiskinan) nggak pernah akur.
3. Bansos dibagi rata ke semua, asal jangan bikin ribut alias asal terdata.
4. Anggaran bansos meledak pas krisis dan pemilu, bukan pas rakyat paling butuh.
Jadi, apakah Indonesia makin sejahtera? Di atas kertas Excel, kita makin kaya luar biasa. Di meja makan rakyat, belum tentu. Di neraca keuangan APBN, anggaran bansos makin berat. Di statistik Bank Dunia, definisi BPS kita tidak sejalan dengan definisi bank dunia. Di warung dekat kost mahasiswa, mie instan masih jadi makanan pokok. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dan yang paling lucu, saat orang miskin didefinisikan hanya dari seberapa sedikit dia bisa bertahan hidup, bukan dari seberapa besar dia bisa hidup layak. Jadi kalau kamu punya penghasilan Rp700 ribu sebulan, tinggal di kontrakan petak, dan masih bisa beli kuota 2 GB, maka tenang, negara akan bilang kamu sudah aman dan tidak perlu dibantu lagi. Karena definisinya memang sesempit itu.
Apakah kita ini negara bansos? Kalau 88 juta orang dari 281 juta dapat bantuan, dan negara rutin menggelontorkan hampir Rp500 triliun per tahun, jawabannya simpel, Indonesia bukan sekadar negara yang kasih bansos. Apakah Indonesia adalah negara yang kerja keras biar rakyatnya tetap butuh bansos? Hanya sekedar bertanya. Saya pun tak tahu jawabannya. Ndak ngerti saya gitu2an.
Karena kalau semua rakyat mandiri dan sejahtera, siapa lagi yang bisa dibantu tiap jelang pemilu? Lagi - lagi hanya sekedar bertanya š
Kalau investor cuma lihat IHSG, EPS, dan PER doang, lalu tutup mata sama data kemiskinan dan bansos, itu sama aja kayak supir truk yang cuma liatin spion kiri tapi lupa ada truk gandeng di kanan. Di Indonesia, duit negara yang mengalir lewat jalur bansos itu besar banget dan langsung masuk ke kantong masyarakat kelas bawah, yang jumlahnya bukan main. Buktinya? Per Maret 2024, 24 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin versi BPS, tapi yang dapat bansos tembus 96 juta orang. Artinya, hampir separuh penduduk Indonesia hidup dengan sokongan negara. Dan ini bukan teori doang, karena alokasi APBN 2024 untuk perlindungan sosial hampir Rp500 triliun, termasuk untuk PKH, BPNT, BLT, subsidi energi (LPG, listrik, BBM), dan bantuan tambahan menjelang Pemilu. Nah, duit sebanyak itu tentu tidak disimpan, tapi dipakai belanja. Maka, tugas investor bukan cuma nunggu laporan keuangan kuartalan, tapi juga mantau tanggal cair bansos. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Terus, duit bansos dipakai buat apa? Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pengeluaran masyarakat miskin mayoritas lari ke makanan (beras, telur, mie instan, minyak goreng), lalu non-makanan seperti pulsa, listrik, ongkos, dan rokok. Bahkan menurut data BPS, pengeluaran rokok di rumah tangga miskin sering lebih besar daripada sayur dan lauk. Jadi jangan heran kalau ada orang yang gizi buruk tapi tetap ngerokok sambil nunggu kiriman PKH masuk ke rekening.
Ini menciptakan ironi ekonomi, bantuan sosial untuk kesehatan dan kesejahteraan justru sebagian dibakar lewat rokok. Siapa yang untung? Ya GGRM dan HMSP, perusahaan rokok yang pangsa pasarnya mayoritas kelas bawah. Data laporan keuangan mereka pun kadang stabil bukan karena naiknya pendapatan masyarakat, tapi karena rutin disubsidi lewat bansos. Tapi sekarang ada rokok ilegal tanpa cukai yang dilindungi oknum aparat sehingga cuan rokok lari ke oknum bukan ke GGRM dan HMSP. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lalu bagaimana dengan judol (judi online)? Ini babak baru dalam babak drama kemiskinan Indonesia. Beberapa keluarga penerima bansos dilaporkan menggunakan dana bantuan untuk main slot, beli chip, atau top up e-wallet yang akhirnya lari ke aplikasi ilegal. Ada yang sampai jual motor dan HP demi balikin modal kalah. Akibatnya, keluarga makin miskin dan dapat bansos lagi.
Bahkan, Kemensos mengakui bahwa ada keluarga korban judol yang tetap dimasukkan sebagai penerima bantuan sosial karena secara data mereka layak. Jadi, bansos bisa jadi lingkaran setan, yakni dari negara ke e-wallet, dari e-wallet ke slot, dari slot ke kemiskinan lagi, lalu balik ke bansos. Dan di tengah semua itu, penyedia layanan pembayaran dan digital platform (seperti GOTO, BUKA, EMTK, bahkan bank digital recehan) ikut dapat remah cuan lewat fee transaksi.
Dari sisi pasar modal, ini bukan cuma soal moral, tapi cashflow nyata. Masyarakat miskin bukan cuma objek statistik, mereka juga konsumen aktif. Dan ketika 88 juta orang rutin dapat uang dari negara, maka arus belanja mereka, walaupun kadang absurd dan tak produktif,tetap menciptakan omzet untuk sektor-sektor tertentu. Saham-saham yang cenderung cuan dari fenomena ini antara lain:
ā©ICBP/INDF: mie instan dan makanan pokok murah.
ā©AMRT/MIDI: retail harian tempat masyarakat belanja bansos.
ā© $GGRM /HMSP: rokok yang konsumsinya malah makin dominan di segmen bawah.
ā© $BBRI /AGRO/BSI: bank penyalur bantuan dan penyedia e-money.
ā© $GOTO /BUKA/DNET: platform digital yang transaksi e-wallet-nya lonjak saat bansos cair.
ā©TLKM/ISAT/EXCL: penyedia kuota dan pulsa, kebutuhan utama generasi muda penerima bansos.
Investor saham harus peka terhadap angka kemiskinan dan jadwal pencairan bansos bukan karena simpati, tapi karena itulah denyut nadi ekonomi konsumsi Indonesia. Entah untuk beli mie instan, ngerokok, beli kuota TikTok, atau top up buat ngegas slot, semua butuh uang. Dan uang itu sebagian besar berasal dari negara. Dalam ekonomi Indonesia, bansos bukan sekadar jaring pengaman, tapi juga mesin penggerak konsumsi. Maka pertanyaannya bukan cuma siapa yang miskin, tapi siapa yang untung dari kemiskinan itu. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Cari bisnis dan perusahaan yang model ekonominya yang dibangun dari bansos dan kemiskinan. Itu sama seperti bisnis yang dibantu negara secara tidak langsung.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10