$IPCC LK Q1 2025: Hidup dari Sewa dan Deposito
Request salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk (IPCC) adalah contoh perusahaan BUMN anak yang operasionalnya sangat tertata rapi, tetapi juga sangat terkunci dalam satu ekosistem besar: Grup Pelindo. Model bisnisnya dari hulu sampai hilir nyaris seluruhnya dibentuk, disuplai, dan dikendalikan oleh grup yang sama. Di bagian hulu, mereka menyewa lahan dan dermaga dari induk perusahaan melalui kontrak jangka panjang 25 tahun senilai lebih dari Rp1,3 triliun. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Mereka juga tidak memiliki karyawan sendiri untuk operasional pelabuhan, seluruh pekerjaan bongkar muat ditangani oleh 1.100 orang yang merupakan tenaga penugasan dari Pelindo. Sistem IT yang digunakan untuk mengelola traffic kendaraan di pelabuhan disediakan oleh ILCS dan EDII, keduanya juga anak usaha Pelindo. Bahkan listrik, pemeliharaan fasilitas, dan beberapa jasa lain diambil dari entitas berelasi seperti LEGI dan JPPI.
Di sisi hilir, 90 % pendapatan IPCC berasal dari satu titik geografis yakni Pelabuhan Tanjung Priok. Sisanya berasal dari Belawan, Patimban, dan Makassar, namun porsinya masih terlalu kecil untuk disebut diversifikasi. Dengan kata lain, IPCC adalah anak kos yang semua kebutuhan hidupnya, mulai dari kamar, makanan, listrik, sampai internet, semuanya dikontrak dari induk semata.
Laporan keuangan kuartal I 2025 mencatat pendapatan Rp203,3 miliar, naik 15,8 % yoy dari tahun sebelumnya. Laba bersih melonjak lebih tinggi, sebesar 33 % yoy menjadi Rp51,2 miliar. Pendapatan utama masih datang dari terminal kendaraan (90 %), dengan sisanya dari cargo, jasa misc, dan utilitas. Menariknya, laba usaha sebesar Rp58,3 miliar bahkan lebih tinggi dari kombinasi laba segmen, karena segmen pusat (misc, overhead) justru rugi Rp19,5 miliar, jadi laba utamanya tetap ditopang segmen terminal. Margin bruto naik menjadi 38,3 %, margin operasi 28,7 %, dan margin bersih duduk nyaman di 25,2 %. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Semua laba ini tidak hanya bagus di atas kertas, tapi juga didukung oleh arus kas yang kuat. Cash flow from operation (CFO) mencapai Rp85 miliar, artinya uang benar-benar masuk, bukan hanya angka akuntansi. Konversi kas terhadap laba bersih mencapai 166 %. Bahkan setelah dikurangi capex yang sangat kecil (Rp2,2 miliar), free cash flow tetap besar.
Tapi dari sinilah mulai muncul cerita di balik angka yang tampaknya indah ini. Sebagian besar keuntungan non-operasional IPCC datang dari parkir kas di bank yang juga milik BUMN. Total kas dan setara kas mencapai Rp881,6 miliar dan 96 % dari itu ditanam di deposito jangka pendek dengan bunga mengambang sekitar 6,6-7,1 %. Pendapatan bunga ini saja memberi Rp13,6 miliar, sekitar 26 % dari laba sebelum pajak. Artinya, IPCC bisa mencetak ¼ labanya hanya dengan menyimpan uang di bank sesama keluarga sendiri. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sementara utang berbunga? Nol. Yang ada hanya liabilitas sewa (lease liabilities) sebesar Rp431,4 miliar, dengan bunga tetap. Jadi ketika suku bunga tinggi, mereka dapat bunga dari deposito, tapi beban bunganya tetap flat, itulah alasan kenapa margin keuangan mereka bagus. Namun ini juga menyimpan risiko karena jika BI-rate turun 100 basis poin, IPCC bisa kehilangan Rp8-9 miliar cuan bunga setiap tahun, atau sekitar 10 % dari labanya.
Di sisi neraca, profil IPCC sangat konservatif. Cash ratio 4,8 × dan current ratio 5,3 × membuat mereka jauh dari krisis likuiditas. Tapi justru karena kas begitu besar, muncul pertanyaan, kenapa tidak digunakan untuk investasi? Di saat aset hak guna (dermaga dan fasilitas) disusutkan sekitar Rp27 miliar per kuartal, capex yang dilakukan hanya Rp2 miliar. Artinya, IPCC seperti orang yang punya rumah besar tapi hanya beli pel untuk bersih-bersih, tanpa rencana renovasi. Jika ini berlanjut, maka 2–3 tahun ke depan bisa timbul backlog peremajaan aset, dan ini bisa menggerus margin. Sementara itu, pelabuhan-pelabuhan pesaing atau lokasi baru bisa mulai mencuri pangsa pasar jika IPCC tidak segera ekspansi keluar dari dominasi Tanjung Priok. Risiko geografis ini sangat besar karena 90 % pendapatan IPCC bersumber dari satu titik. Gangguan kecil di Tanjung Priok bisa membuat seluruh arus pendapatan IPCC macet. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Transaksi pihak berelasi memang sangat tinggi, tapi sejauh ini tidak terlihat penyimpangan harga atau praktik transfer pricing. Biaya jasa vendor berelasi hanya 18,3 % dari total COGS, bahkan turun dari 23,4 % di 2024. Utang usaha ke pihak berelasi turun 27 % kuartal-ke-kuartal menjadi Rp29,7 miliar. Namun seluruh saldo kas disimpan di bank milik grup, dan kontrak-kontrak utama seperti sewa lahan dan pekerja hanya disampaikan garis besarnya di LK tanpa rincian rate per unit atau jangka waktu rinci. Ini menciptakan potensi masalah governance jika nanti terjadi konflik kepentingan atau perubahan manajemen Pelindo. Hingga kini, tidak ada kasus hukum, provisi lingkungan, atau gugatan terbuka yang tercatat di laporan.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa laporan keuangan IPCC Q1 2025 memang tampak bagus, bahkan sangat bagus secara margin, konversi kas, dan kekuatan neraca. Namun, kualitas laba ini sebagian bergantung pada faktor eksternal seperti suku bunga tinggi dan keengganan untuk membelanjakan kas untuk capex.
Ibarat warung bakso Pak Toto yang ramai karena nongkrong di trotoar jalan, ramai bukan karena promosi, tapi karena semua aliran kendaraan lewat situ. Begitu jalan tol dialihkan atau macet karena renovasi, bisa-bisa warung itu kehilangan semua pelanggannya. Sama halnya dengan IPCC, selama Tanjung Priok tidak terganggu dan suku bunga tetap tinggi, perusahaan ini akan terus untung. Tapi kalau dua variabel itu berubah, investor akan menagih janji diversifikasi, ekspansi pelabuhan baru, dan monetisasi proyek-proyek masa depan seperti Belawan, Patimban, dan Makassar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sebagai investor, harapan kita adalah agar IPCC tidak hanya menjadi terminal pasif yang hidup dari sewa lahan dan bunga deposito. Tapi berubah menjadi operator aktif yang menciptakan value melalui efisiensi, diversifikasi pelabuhan, perluasan jasa logistik, dan pemanfaatan kas untuk pertumbuhan jangka panjang. Kalau harapan ini terwujud, kita akan melihat kenaikan revenue non-Tanjung Priok, belanja capex yang sejalan dengan depresiasi, dan penurunan kontribusi finance income terhadap laba. Tapi kalau tidak? Maka laporan keuangannya akan tetap cantik, sampai suatu hari bunga deposito turun, kas habis dipakai dividen, atau Pelindo mengganti tarif. Dan saat itu terjadi, investor retail baru sadar bahwa mereka tidak sedang berinvestasi di terminal pelabuhan, melainkan di rekening tabungan jumbo dengan risiko tak terlihat.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10