Menjelang Lebaran lalu, sebuah pemandangan dramatis viral di media sosial.

Bertempat di lokasi pabrik Sri Rejeki Isman (SRIL), karyawan Sritex bersama dengan pimpinan - alias pemiliknya - berkumpul bersama dan menangis bersama tanda perpisahan alias PHK sepenuhnya. Sang Komisaris Utama pun juga ikut menangis saat itu. Ceritanya, Sritex saat itu diputus pailit, dengan segala akibatnya, karena kesepakatan PKPU sebelumnya digugat kembali oleh krediturnya - biasanya sih ini mentok hubungannya antara kreditur dan debiturnya (dalam hal ini Sritex) - dan gugatan yang sudah sampai ke Mahkamah Agung akhirnya mentah. Manajemen Sritex kalah dan saat itu dalam keterbukaan informasi, mereka menyebut masih mengupayakan tindak lanjut, namun yang terjadi malah situasi dramatis itu.

Situasi Sritex yang sempat menuai perhatian pemerintah, sampai diwacanakan upaya penyelesaian dan penyelamatan, hingga kini belum jelas. Sempat ada isu bahwa aset aset Sritex akan dijalankan oleh investor baru, tapi hingga kini juga belum jelas.

Situasi masih ngga jelas, baru baru ini plot twist malah muncul. Kejaksaan Agung mendeteksi penyalahgunaan kredit bank BUMN kepada Sritex, yang kemudian disebut sebagai korupsi - meski Sritex bukanlah milik pemerintah. Sang Direktur Utama, yang masih bersaudara dengan Komisaris Utama, kemudian ditahan oleh Kejaksaan, bersama beberapa pihak lain.

Sisi lain, setelah pada laporan keuangan 2024 Pan Brothers (PBRX) akhirnya ekuitas negatif - setelah bertahan ekuitas positif dengan modal kerja negatif sepanjang 2020-2024, secara “ajaib” pada laporan keuangan kuartal 1 2025 PBRX kembali memperoleh ekuitas positif. Padahal, PBRX menghadapi masalah serupa dengan Sritex dan banyak perusahaan tekstil serupa di beberapa tahun ini. Kok bisa?

Ini adalah cerita bumi dan langit antara kedua emiten terkemuka di bidang tekstil ini.

======

Oke, sebelumnya saya bikin beberapa paragraf penjelasan sebelum masuk ke topik kali ini.

Mungkin ada keheranan kenapa Sritex, bukan BUMN atau lembaga pemerintah, kok kena kasus korupsi?

Jawabannya karena korupsi bukan hanya terjadi di apapun yang berkaitan dengan pemerintahan. Swasta dikira ngga ada korupsi? Ada. Tapi ngga heboh beritanya kayak pemerintah. Selain itu, penyelesaiannya biasanya antara pidana dan perdata atau salah satunya. Swasta cenderung no drama, sehingga kalau sudah ada kasus, karyawan terlibat atau manajemen terlibat akan langsung dipecat. Contoh yang saya ingat adalah ketika ada penyelewengan dana di emiten ritel elektronik Electronic City (ECII) yang menyeret beberapa manajemen dan salah satu pemilik emiten ini. Setelah penyelidikan internal, manajemen yang diduga terlibat dipecat dan digantikan dengan dewan Komisaris untuk sementara, sebelum digelar RUPS untuk menetapkan manajemen definitif. Kasus ini sudah selesai dengan settlement menggunakan aset dan pengembalian dana ke perusahaan.

Yang lain, di swasta umumnya mereka ada prosedur atau SOP dan seperangkat aturan yang membentengi diri dari potensi korupsi. Hal ini secara konsekuen dijalankan, dan memang harus dijalankan karena kalau ngga ancamannya dipecat dan dipenjara langsung tanpa ampun. Tentu ini akan bikin mikir mikir, karena akan jauh lebih sulit cari duit dan pekerjaan.

Lalu, Sritex ini kena kasus bukan karena masalah Sritex secara internal, tapi karena ada keterkaitan dengan bank BUMN. Kerugian negara berpotensi terjadi disini. Sama seperti halnya dulu ada kasus korupsi korporasi yang melibatkan emiten konstruksi Duta Graha Indah (DGIK) - kini Nusa Konstruksi Enjiniring - yang terlibat dalam kasus korupsi berkaitan dengan pembangunan proyek pemerintah - RS milik universitas negeri, Universitas Udayana. Ini ada kerugian negara. Jika isunya secara internal semata, tentu penyelesaiannya akan ke kepolisian atau pengadilan. Begitu ya.

Yang lain, kasus Sritex ini (jika memang benar ada korupsi), bukan berarti meminggirkan bahwa sektor TPT atau tekstil di Indonesia bener bener sedang menghadapi masalah sejak beberapa tahun ini. Masalah Sritex dan masalah sektor ini harus dipisahkan, sehingga kita bisa menaruh perhatian pada masing-masing masalah. Bukan berarti karena ada masalah Sritex, pemain tekstil lain ngga ada masalah - atau bahkan kita langsung menjudge bahwa masalah Sritex juga dilakukan pemain lain. Seperti yang saya bilang, jikapun memang pemain lain kelakuannya mirip, yang penting berkaitan dengan pemerintah atau ngga? Kalau berkaitan, kita bisa ketemu kasus serupa, tapi dengan spotlight pemberitaan berbeda, tapi kalau ngga ya masalahnya cuma jadi masalah internal.

Jadi, Sritex ini memang sama sama bermasalah dengan pemain lain, akibat impor tekstil ilegal dan kondisi ekonomi secara global, namun masalah internal seperti ini memperberat kondisi mereka untuk bangkit. Akhirnya, bisa dipahami mengapa upaya penyelamatan yang dibantu pemerintah ngga bisa jalan.

Kembali ke laptop.

Sritex atau SRIL ini sebenernya sudah pernah saya bahas secara umum masalahnya di konten saya awal tahun 2024 lalu. Bro and sis bisa baca ceritanya secara lengkap di s .id/sritexplbk. Dalam akhir postingan tersebut, saya menulis “harapan” bahwa “situasi nampak bisa dikendalikan dengan baik dan bisnis berjalan seperti biasanya”, yang sayangnya justru tidak berjalan mulus. Situasi makin memburuk karena kondisi ekonomi, terutama pasar ekspor, masih macet. Sementara penggalangan dana yang diharapkan manajemen tidak lancar, yang nampaknya karena kebutuhan permodalan yang besar - sekadar merestart ekuitas kembali ke positif butuh minimal Rp 16 Triliun (+/- USD 1 milyar), belum termasuk kebutuhan modal kerja untuk menyambung produksi setidaknya beberapa bulan hingga setahun awal. Kalau situasinya secara sektoral oke sih mending, gampang cari investor. Lah kalau kondisinya kayak sekarang? Belum lagi kasus perusahaan tekstil Delta Merlin beberapa tahun lalu makin bikin citra tekstil secara sektoral suram.

Yang jadi lebih sulit, PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) yang telah disepakati pada 2022 tidak ada satupun yang dikonversi jadi saham, hanya perubahan penjadwalan pembayaran hutang maupun syarat syaratnya - hutang usaha dan hutang bank. Situasi akan nampak agak mudah kalau sudah ada kesepakatan perubahan jadi saham. Jadilah Sritex kejepit, dan kasus hukum ini bakal makin mempersulit upaya kebangkitannya.

Jauh sebelum ekuitas negatif Sritex di 2021 dan masalah masalah sekarang ini, sebenernya sudah ada asumsi “bau amis” yang disebut di forum saham - dimana ini murni berkaitan dengan laporan keuangannya. Salah satunya berkaitan dengan pertanyaan besar : “laba terus terusan tiap tahun - dan bagi dividen meski kecil kecilan, tapi kok pinjamannya nambah terus terusan ya?”. Ada kecenderungan “sulit” mengendalikan pinjaman berbunga/pinjaman bank yang mendominasi liabilitas Sritex selama ini. Namun, yang tidak disangka memang adalah kasus hukum ini, yang disebut berkaitan dengan penyalahgunaan pinjaman Sritex yang kemungkinan digunakan untuk kepentingan pribadi dari pemiliknya. Karena ini masih mentah, dan belum ada peradilan terkait dengan hal ini, maka saya memilih menghindari membahas soal ini.

Asumsi saya masih positif, bahwa ini semua berawal dari kesalahan strategi di masa silam. Tapi apakah asumsi ini akan hanya berhenti disini saja? Hmm ~

Satu sisi, emiten tekstil lainnya yaitu Pan Brothers (PBRX) mencatat “keajaiban”. Ini setelah drama panjang sejak 2020 lalu, dimana manajemen PBRX mulai mengeluhkan tekanan bisnis akibat tantangan ekonomi dan pasar ekspor - meski masih mencatat kenaikan pendapatan dan masih bisa untung tipis tipis. Pada 2024 lalu, manajemen PBRX pun akhirnya menyerah pada keadaan. Upaya restrukturisasi hutang yang sudah dijalankan, namun agak buntu karena kondisi pasar dan masih menghadapi gugatan berulang dari salah satu kreditur, pun “memaksa” mereka mereset bisnis, sehingga sejumlah pos di aset harus dicadangkan/dihapus dan menyebabkan kerugian pertama dalam 10 tahun terakhir. Kerugian ini membuat mereka akhirnya menghadapi ekuitas negatif USD 121 juta (+/- Rp 2 Triliun)

(soal PBRX, bro and sis bisa baca ceritanya di s .id/panbrothersplbk)

Namun ekuitas negatif ini hanya berlangsung 1 kuartal saja. Secara “ajaib”, ekuitas PBRX kembali ke angka positif USD 147 juta (+/- Rp 2,3 Triliun) per laporan keuangan kuartal 1 2025, meski ini hanya sekitar setengah dari ekuitas PBRX di tahun 2023 yaitu positif USD 330 juta (sekitar Rp 5 Triliunan). Ada apa? Jawabannya karena adanya putusan PKPU yang efektif dijalankan 3 Januari 2025, dimana dalam putusan tersebut ada sebagian hutang PBRX yang akan dikonversi jadi ekuitas, dan sisanya dijadwalkan ulang waktu pembayaran maupun bunga yang dikenakan. Disebut akan, karena formatnya (saat tulisan ini dibuat) masih dalam bentuk Obligasi Wajib Konversi (OWK), sehingga ini menyebabkan adanya pos baru di ekuitas yaitu komponen ekuitas lainnya, yang berasal dari OWK ini dan secara otomatis memperbaiki ekuitas PBRX jadi positif kembali.

Meski sudah mulai tercapai kesepakatan restrukturisasi yang baru, namun demikian kinerja PBRX masih terus menghadapi tekanan sejak 2023, dimana penurunan pendapatan masih harus dialami. Pada kuartal 1 2025 ini saja, PBRX masih menghadapi penurunan pendapatan dari USD 92 juta menjadi USD 51 juta (sekitar Rp 1,47 Triliun jadi Rp 810 Milyar). Meski ada kenaikan laba bersih akibat penyesuaian restrukturisasi yang baru, namun demikian PBRX menghadapi kerugian usaha USD 1,9 juta (versus keuntungan usaha di kuartal 1 2024 USD 5 juta atau dalam Rupiah rugi Rp 30 Milyar vs untung Rp 81 Milyar).

Kondisi ini, tentu saja, semakin membuktikan bahwa kondisi industri tekstil di Indonesia masih bermasalah dan sangat membutuhkan perhatian pemerintah untuk bisa mendukung mereka, di luar apa yang terjadi pada Sritex sekarang. Let's see ~

Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi, serta Twitter/X @plbkinvestasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.

$SRIL $PBRX $BBNI

Read more...

1/2

testes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy