Mengais Asa di Tengah Perubahan Global
________________________________________
A Brief Thesis Investment of PT. Adaro Andalan Indonesia Tbk.
Part 2/2
Analisa Kualitatif
Saat ini, kita tengah berada di era elektrifikasi, di mana hampir seluruh aspek kehidupan modern sangat bergantung pada energi listrik. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan teknologi dan kenyamanan, konsumsi energi listrik diperkirakan akan terus mengalami peningkatan di masa mendatang. International Energy Agency (IEA) memproyeksikan bahwa pada tahun 2030, permintaan energi global akan naik sebesar 45 persen, dengan sekitar 80 persen di antaranya masih dipenuhi oleh sumber energi berbasis bahan bakar fosil. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada pergeseran menuju penggunaan energi listrik, ketergantungan terhadap energi fosil masih sangat tinggi.
Hampir tidak mungkin bagi kita untuk sepenuhnya meninggalkan listrik (kecuali ditemukan sumber energi lain yang lebih efisien). Oleh karena itu, kebutuhan akan pembangkit listrik akan terus berkembang, tinggal bagaimana kita memilih untuk memanfaatkan sumber energi bersih atau tetap bergantung pada energi kotor.
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa kondisi Climate Change merupakan ancaman nyata bagi peradaban umat manusia. Dan salah satu penyumbang terbesar atas proses Climate Change adalah penggunaan Bahan Bakar Fosil yang meninggalkan jejak karbon.
Dunia sadar, bahwa jika kondisi ini tidak segera diatasi. Maka masa depan dunia akan menjadi taruhannya. Oleh sebab itu dalam beberapa dekade terakhir mulai digaungkan kampanye green energy yang berfokus pada lingkungan. Namun disisi lain bahan bakar fosil masih menawarkan nilai ekonomis dan reliabilitas yang sangat tinggi.
Negara-negara OECD sudah memulai transformasi energi nya menuju energi bersih dan perlahan-lahan mengurangi kebutuhan pada sumber energi kotor. Namun kondisi yang berbeda terjadi di negara Non OECD yang justru menaikkan penggunaan energi kotornya. Negara-Negara yang masih masif dalam mengembangkan industri pembangkit listrik batubaranya seperti India, negara-negara di ASEAN, dan Afrika Selatan.
Salah dua dari pasar batu bara terbesar di dunia adalah Tiongkok dan India. Tiongkok menyumbang sekitar 51% dari total produksi global, sementara India berkontribusi sekitar 11%. Meskipun produksi mereka sangat besar, hal itu masih belum mencukupi kebutuhan domestik, sehingga kedua negara tersebut juga termasuk dalam jajaran importir batu bara terbesar di dunia, dengan Tiongkok mengimpor sekitar 34% dan India 16%. Di sisi lain, Indonesia memimpin pasar batu bara seaborne dengan porsi ekspor mencapai 36%.
Pada tahun 2024 IEA memproyeksikan bahwa batubara akan memasuki trend reversal pada 2025 dan 2026 setelah mengalami peningkatan signifikan pasca Covid-19. Tesis utamanya adalah peningkatan EBT akan melampaui kebutuhan energi Nasional di berbagai Negara. Meskipun India dan ASEAN masih terus menumbuhkan demand akan batubara, namun pengurangan permintaan dari USA, Eropa, Korea dan Jepang akan memberatkan laju pertumbuhan tahunan.
Namun pada beberapa waktu kebelakang IEA “merevisi” proyeksinya dan menyatakan bahwa batubara akan terus bertumbuh dan melampaui rekor all time high nya setidaknya hingga tahun 2027. Namun komitmen dari Paris Agreement yang mengharuskan adanya penurunan penggunaan energi fosil pada dekade ini diprediksi akan menekan permintaan batubara.
Kelanjutan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya, bayu, dan hydropower diprediksi akan menekan demand batubara di masa depan. Prediksi ini sedikit tercermin pada Q1 2025 dimana China melaporkan penurunan produksi listrik dari bahan bakar fosil sebesar 4.7% YoY yang mengakibatkan impor batubara turun 13.1% YoY
Baru-baru ini pemerintah China telah memperbarui standar nasional efisiensi konsumsi energi bagi pembangkit listrik tenaga batubara. Pemerintah menetapkan ambang batas yang lebih ketat baik untuk pembangkit listrik existing maupun yang baru akan dibangun.
Berbeda dengan China, India justru sedang gencar-gencarnya menaikkan penggunaan batubaranya. India menganggap EBT belum mampu untuk menggantikan energi batubara di tengah ekspansi industri yang terjadi di dalam negeri.
Dari segi supply, Indonesia sebagai market leader seaborne masih terus berekspansi dalam peningkatan jumlah produksinya. Pemerintah juga masih mendorong penggunaan energi kotor sebagai sumber utama energi nasional dikarenakan masih berlimpahnya cadangan batubara nasional serta masih minimnya investasi pada EBT.
Dari sisi China juga terdapat penumpukan stok yang diakibatkan oleh kebijakan strategis demi mengamankan kebutuhan energi. Kondisi serupa juga terjadi di India, dimana mereka tengah gencar dalam melakukan produksi domestik dan berusaha mengurangi porsi impor.
Atas situasi ini, Fengkuang Coal Logistic mengatakan sentimen pasar cukup pesimistis sehingga menyebabkan harga acuan jatuh dan pembeli menjauh dari pasar spot sambil menunggu harga mencapai titik terendah. Sementara itu pembelian masih didasarkan pada kebutuhan yang kaku dan permintaan hanya didorong oleh harga yang relatif rendah
Jumlah kapal yang berlabuh di pelabuhan pun hanya mencapai level separuh dari titik yang sama di tahun lalu. Industri China yang masih lemah ditambah dengan peningkatan produksi tahun 2024 dan menghangatnya cuaca pada musim dingin 2024 kesemuanya berkontribusi pada kondisi oversupply di market dan akhirnya mengakibatkan penurunan harga acuan batubara.
BloombergNEF melaporkan pada 2024 Investasi yang telah dikucurkan untuk transisi energi telah melebihi angka USD 2 Trilliun. Pertumbuhan ini menjadi titik tertinggi dalam sejarah meskipun secara Growth terdapat perlambatan. Angka ini disumbang mayoritas oleh China yang mengusur posisi USA, EU dan UK.
Masifnya pertumbuhan ditopang oleh EV (USD 757 Miliar), Reneweables Energy (USD 728 Miliar) dan Power Grids (USD 390 Miliar). BloombergNEF melaporkan bahwa investasi terbesar jatuh kepada teknologi yang telah matang dibanding teknologi yang masih dalam tahap pengembangan. Alhasil teknologi electrified heat, hydrogen, CCS, dan nuklir hanya meraih investasi sebesar USD 155 Miliar atau turun 23% YoY.
Tren pembangkit listrik dunia telah bergeser dalam beberapa dekade ke belakang. Apabila dahulu batubara masih menjadi market leader dengan prosentase diatas 40% dan pesaing terdekat hanya gas, hydropower dan nuklir yang masing-masing berada di bawah 20%. Tetapi kondisi di 2024 telah sedikit berubah, Batubara turun menjadi 35%, sementara gas mengalami kenaikan perlahan sedangkan angin dan surya naik secara eksponensial dalam 10 tahun terakhir.
Investasi EBT di China telah menyentuh USD 818 Miliar atau naik 20% YoY. Angka ini menyumbang ⅔ dari total kenaikan investasi global secara YoY. Lebih lanjut, menurut laporan Carbon Brief kontribusi sektor EBT telah menyumbang 10% PDB di China pada 2024. Angka ini naik dari 9% pada tahun sebelumnya.
Sejalan dengan China, India juga telah mulai gencar untuk melakukan investasi pada EBT. Kementerian Keuangan India baru saja meneken draf Taksonomi Keuangan Iklim yang berisi pengarahan investasi ke sektor ramah lingkungan dan mencegah praktik greenwashing. India membutuhkan dana sebesar USD 2.5 Triliun guna mencapai target pengurangan emisi 45% di 2030 dan Net Zero Emission di 2070.
BloombergNEF menambahkan bahwa diperlukan rerata USD 5.6 Triliun investasi setiap tahun dari 2025-2030 untuk mencapai Net Zero Emission di 2050. Sedangkan laju investasi global saat ini baru menyentuh 37% dari kebutuhan.
Tantangan
Tekanan terhadap batu bara semakin besar akibat dampak negatifnya terhadap iklim global. Batu bara memang telah lama menjadi sumber energi utama karena infrastrukturnya yang luas dan biayanya yang relatif murah. Namun, jika dampak lingkungan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tidak segera diatasi, dunia berisiko menghadapi perubahan iklim ekstrem yang pada akhirnya mengancam kelangsungan hidup manusia.
Sebagai bentuk upaya untuk mencegah krisis iklim, pada Desember 2015 lebih dari 200 negara menandatangani Paris Agreement, sebuah perjanjian internasional yang salah satu tujuannya adalah menahan laju kenaikan suhu rata-rata global agar tidak melebihi 1,5°C pada tahun 2030.
Perjanjian ini menuntut transformasi besar dalam aspek ekonomi dan sosial yang berbasis pada ilmu pengetahuan. Selain itu, negara-negara maju juga didorong untuk memberikan bantuan keuangan dan penguatan kapasitas kepada negara-negara berkembang dan miskin sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif.
Indonesia turut ambil bagian dalam komitmen global ini melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) dengan menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Komitmen ini diperkuat melalui Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021, yang mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Salah satu implementasi dari kebijakan ini adalah peluncuran bursa karbon.
Mekanisme bursa karbon cukup sederhana: pelaku usaha yang ditetapkan oleh pemerintah akan diberikan alokasi emisi dalam jangka waktu tertentu. Jika emisi yang dihasilkan melebihi kuota, mereka dapat membeli unit karbon dari pelaku usaha lain yang memiliki kelebihan kuota.
Di sisi lain, industri batu bara global menghadapi tantangan yang cukup kompleks, terutama yang berasal dari dinamika geopolitik dan tingkat permintaan di negara-negara konsumen utama seperti Tiongkok dan India. Meski Tiongkok telah merevisi standar energi nasional untuk keempat kalinya, mereka masih mengizinkan pembangunan PLTU baru setidaknya hingga tahun 2027. Sementara itu, India terus meningkatkan permintaan terhadap batu bara, menjadikannya sebagai sumber energi utama di dalam negeri.
Namun, tren investasi besar-besaran Tiongkok dalam Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi sinyal penting bagi para investor di sektor batu bara. Diperkirakan, EBT akan mencapai tingkat efisiensi yang melebihi PLTU dalam waktu dekat. Di sisi lain, meskipun konsumsi energi India diperkirakan akan menyamai Tiongkok, peningkatan produksi batu bara domestik mereka diperkirakan akan sedikit menekan permintaan batu bara di pasar seaborne.
Valuasi
Salah satu cara paling relevan untuk memvaluasi emiten batubara adalah dengan menghitung nilai asset nya. Per 2024 AADI memiliki cadangan reserved 917.4 Juta Ton. jika kita asumsikan produksi pertahun di 65.8 Juta ton dari tahun ke tahun, maka kita dapati sisa umur tambang AADI di 14 tahun. Dengan menggunakan asumsi ASP USD 75 Mton maka kita dapati fair value AADI di 15000. Tinggal kita gunakan MOS sebesar 50% sehingga harga beli maksimal diangka 7500.
Di sisi lain posisi EPS Annualized 1647 dan harga penutupan (23/05) 7200 menunjukkan Earning Yield 22.8% atau PE 4.3X. Sedangkan dari sisi dividen, AADI tidak lagi membagikan dividen untuk tahun buku 2024. Namun diharapkan akan mulai membagikan dividen mulai tahun buku 2025 denga payout ratio 45% atau potensi Dividen Yield 10%.
Kesimpulan
Saat ini, dunia tengah memasuki masa transisi dari energi berbasis fosil menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Komitmen global terhadap perubahan ini tercermin dalam Paris Agreement, yang mendorong negara-negara untuk menahan laju kenaikan suhu global di bawah 2°C. Sebagai respon, banyak negara telah melakukan investasi besar-besaran di sektor energi terbarukan.
Namun demikian, reliabilitas energi fosil, khususnya batu bara, masih menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan energi dunia. Bahkan menurut proyeksi dari International Energy Forum (IEF), permintaan batu bara diperkirakan akan terus meningkat dan mencetak rekor penjualan tertinggi (All Time High) setidaknya hingga tahun 2027.
Di tengah tren penurunan harga acuan dan ketidakpastian ekonomi global, investor perlu mengandalkan strategi dasar dalam pengambilan keputusan, salah satunya melalui pendekatan Margin of Safety (MOS) dan dividen yield.
Margin of Safety berfungsi sebagai pengaman terhadap volatilitas pasar maupun kesalahan dalam penilaian nilai wajar suatu aset. Sedangkan Dividend yield di sisi lain memberikan arus kas yang stabil sembari menunggu situasi pasar membaik.
Dengan MOS sebesar 22,8% dan potensi dividend yield mencapai 10%, apakah $AADI ini cukup menarik untuk dipertimbangkan sebagai bagian dari portofolio investasi Anda?
Bukan rekomendasi jual-beli
Always Do Your Own Research!
Random Tag
$BBRI
$SPTO
1/5