IHSG – Anak Sultan, Bapak Diskonan - Misteri Conglomerate Discount
Bayangkan Anda bersilaturahmi ke sebuah rumah mewah nan megah. Tapi yang menyambut justru sang ayah renta, duduk di kursi rotan sambil menyeduh kopi sachet di beranda rumah petakan.
Sementara itu, mobil Alphard dan Mercy terparkir di halaman—milik sang anak yang tinggal di rumah sebelah, lengkap dengan kolam renang dan lift pribadi.
Ironisnya, seluruh aset sang anak tercatat atas nama sang ayah—tapi justru si ayah yang dianggap miskin oleh tetangga. Aneh, bukan?
Inilah paradoks dunia pasar modal. Inilah conglomerate discount, ketika si bapak (induk usaha) dihargai lebih rendah daripada kekayaan anak-anaknya (anak usaha) yang justru menjulang tinggi di lantai bursa.
Apa Itu Conglomerate Discount?
Secara teori, jika Induk A memiliki 90% saham Anak B yang nilai pasarnya Rp100 triliun, maka seharusnya nilai wajar kepemilikannya adalah Rp90 triliun.
Tapi jika pasar hanya menghargai si induk sebesar Rp50 triliun, maka selisih Rp40 triliun itulah yang disebut conglomerate discount—ibarat membeli satu keluarga, tapi hanya membayar harga sewa kosan.
“Pasar jangka pendek adalah mesin voting. Tapi dalam jangka panjang, ia adalah timbangan.” — Benjamin Graham
Namun dalam kasus conglomerate discount, bahkan timbangan itu pun tampaknya miring — atau sengaja dimiringkan.
Mengapa Diskon Bisa Terjadi?
Dalam akuntansi, laporan keuangan induk mencerminkan konsolidasi seluruh anak usaha. Tapi dalam penilaian pasar, justru yang terjadi adalah fragmentasi nilai.
Beberapa penyebab umum dari fenomena ini:
• Beban utang yang berat berada di tingkat induk
• Struktur keuangan kompleks dan minim transparansi
• Risiko tata kelola yang lemah serta praktik pencatatan silang
• Asimetri informasi dan manipulasi harga saham anak demi kepentingan induk
Ini seperti pohon besar yang menaungi banyak cabang. Jika batang utamanya rapuh, maka meski daunnya hijau dan rindang, kepercayaan tetap luntur.
Pasar menilai bukan hanya dari daun yang mekar, tapi dari kekuatan akar dan batangnya.
Tiga Studi Kasus: Ketika Bapak Kalah Pamor
Mari kita telusuri struktur konglomerasi bursa seperti geolog menelusuri lapisan bumi:
mencari di mana tekanan menciptakan berlian, dan di mana tersembunyi jurang.
1. $BRPT – TPIA & BREN
• Kepemilikan:
TPIA: 299,6 juta lot
BREN: 865,1 juta lot
• Nilai pasar total kepemilikan: Rp891,4 triliun
• Market cap BRPT: Rp108,2 triliun
• Diskon: 87,9%
Catatan: Saham anak dijaminkan — sinyal tekanan likuiditas.
2. $MEDC – AMMN
• Kepemilikan: 151,7 juta lot AMMN
• Nilai pasar kepemilikan: Rp104,7 triliun
• Market cap MEDC: Rp30,3 triliun
• Diskon: 71,1%
Catatan: Struktur bersih, tanpa jaminan — sinyal manajemen sehat.
3. $INDF – ICBP & SIMP
• Kepemilikan:
ICBP: 93,9 juta lot
SIMP: 94,3 juta lot
• Nilai pasar total: Rp105,7 triliun
• Market cap INDF: Rp68,9 triliun
• Diskon: 34,8%
Catatan: Dividen rapi, transparansi tinggi — keluarga harmonis.
Diskon ≠ Murah
Diskon bukan berarti layak beli. Bisa jadi seperti jaket branded palsu: murah, menarik, tapi benangnya mudah putus.
“Harga adalah apa yang Anda bayar. Nilai adalah apa yang Anda dapatkan.” — Warren Buffett
Investasi bukan soal mengikuti sorotan. Tapi soal menyelami substansi. Dan untuk itu, kita perlu menghitung nilai intrinsik.
Studi Kasus: MEDC – Diskon, Nilai, dan Masa Depan Energi
Mengapa saya menggunakan MEDC untuk contoh valuasi? Sebab nilai conglomerate discount-nya relatif besar dan sedang dalam proses transisi menuju industri masa depan: transisi ke energi terbarukan.
Valuasi Rata-rata Industri (IDX sektor Oil, Gas & Coal):
• PER: 8,15
• PBV: 2,54
Estimasi Harga Wajar MEDC:
• EPS: Rp231,64
• => Harga wajar (PER): Rp231,64 × 8,15 = Rp1.888
• BVPS: Rp1.361
• => Harga wajar (PBV): Rp1.361 × 2,54 = Rp3.459
Estimasi DCF (Discounted Cash Flow)
• FCF 5 tahun terakhir: Rp8,42 triliun
• Pertumbuhan terminal: 3%, WACC: 8,29%
• Enterprise Value: Rp255,7 triliun
• Net Debt: Rp83,1 triliun
• => Nilai intrinsik per saham ≈ Rp6.888
Margin of Safety:
• Harga pasar: Rp1.205
• => Margin terhadap harga wajar (PBV): Rp2.254
• => Margin terhadap DCF: Rp5.683
Kesimpulan: Diskon besar, tapi berisi. Jika yakin pada masa depan EBT dan kualitas manajemen, ini bisa jadi peluang.
Kelebihan Kompetitif MEDC
1. Diversifikasi energi (migas + EBT)
2. Operasi lintas negara
3. Rekam jejak akuisisi besar
4. FCF positif meski fluktuatif
5. Arah masa depan jelas: EBT menjanjikan
Risiko yang Harus Diwaspadai
1. Harga minyak fluktuatif
2. Risiko geopolitik & hukum internasional
3. Diversifikasi belum seimbang (migas dominan)
4. Struktur utang tinggi (DER > 2x)
5. FCF tidak selalu stabil (turun di 2023)
Apakah Saatnya Membeli Sang Bapak?
Ini bukan ajakan membeli. Melainkan ajakan berpikir. Pasar seringkali seperti anak kecil — lebih tertarik pada yang mengkilap, bukan yang bernilai.
“Investing is most intelligent when it is most businesslike.” — Benjamin Graham
Atau kalau kata bapak-bapak investor:
“Kalau anaknya udah naik Alphard, tapi bapaknya masih naik angkot… siapa tahu, tinggal tunggu warisan.”
Penutup: Diskon Adalah Misteri, Tapi Juga Peluang
Pasar bisa keliru. Tapi waktu dan fundamental akan berbicara.
Nilai, seperti air tanah, akan muncul ke permukaan ketika waktunya tiba.
Nilai tidak pernah hilang. Ia hanya berpindah bentuk, menunggu ditemukan.
Jika Anda bersabar, menghitung dengan cermat, dan tetap rasional, maka di balik conglomerate discount, bisa tersembunyi conglomerate opportunity.
Karena sejatinya, di pasar modal seperti dalam hidup: yang hari ini tampak remeh, bisa jadi pewaris sejati di masa depan.