Laporan Keuangan $TUGU Kurang Transparan
Diskusi hari ini tentang TUGU di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Bayangkan kamu seorang analis atau fund manager yang baru saja menerima laporan keuangan PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (TUGU) Q1 2025. Dirilis tanggal 15 Mei 2025, laporan ini datang terlambat dibanding mayoritas perusahaan asuransi lain misalnya $AMAG, yang sudah rilis sejak 29 April 2025. Tapi kita tahu, telat kadang bisa dimaklumi kalau isinya berkualitas. Sayangnya, begitu kamu membuka satu per satu halaman laporan TUGU, kamu tidak hanya menemukan data yang tidak lengkap, tapi juga potensi penyembunyian risiko besar. Ini bukan sekadar laporan lambat. Ini laporan yang cacat fundamental dalam struktur dan substansi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kita mulai dari liabilitas kontrak asuransi dan reasuransi yang sebesar Rp17,84 triliun, ini adalah liabilitas terbesar perusahaan, mewakili 93% dari total liabilitas TUGU. Tapi coba tebak, tidak ada satu halaman pun yang menjelaskan rincian isinya. Tidak ada informasi tentang berapa porsi cadangan premi yang belum diakui (UPR), klaim terbuka yang belum dibayar, klaim yang belum dilaporkan (IBNR), utang koasuransi, atau utang ke reasuradur. Semua hanya digabung dalam satu angka tunggal. Tidak ada breakdown. Tidak ada catatan. Ini pelanggaran prinsip keterbukaan dalam akuntansi asuransi. Coba bandingkan dengan AMAG, mereka menyajikan rincian UPR, IBNR, outstanding claim bahkan sampai maturity band-nya. TUGU? Seolah-olah bilang: "Pokoknya Rp17 triliun, percaya aja."
Lanjut ke sisi investasi. Total portofolio efek-efek TUGU adalah Rp7,46 triliun, ditempatkan pada reksa dana, saham, dan obligasi. Dari situ, hasil investasi Q1 cuma Rp95,9 miliar, turun tajam dari Q1 tahun lalu yang Rp145,9 miliar (-34%). Tapi yang bikin geleng-geleng kepala, di antara portofolio tersebut, TUGU masih mencatat MTN SNP Finance senilai Rp100 miliar, masing-masing Rp50 miliar untuk seri A dan B, tanpa impairment sama sekali. Padahal SNP sudah resmi default sejak 2018, bahkan izin usahanya dicabut OJK. Seluruh industri keuangan tahu ini kasus gagal bayar besar-besaran. Perusahaan seperti Jiwasraya, Taspen, dan BPJS sudah menghapus nilai instrumen ini dari laporan. Tapi TUGU tetap mempertahankannya di buku seolah-olah tidak ada yang terjadi. Ini bukan hanya red flag akuntansi. Ini bisa jadi indikasi penundaan pengakuan kerugian, atau lebih buruk adalah window dressing untuk menjaga neraca tetap terlihat wajar.
Sekarang mari kita buka laporan laba rugi. Revenue usaha sebesar Rp442,53 miliar, yang terdiri dari jasa asuransi (Rp227,71 miliar), pendapatan lain-lain (Rp118,88 miliar), dan hasil investasi (Rp95,94 miliar). Revenue jasa asuransi memang tumbuh 8,7% dibanding tahun lalu. Tapi semua komponen lainnya turun. Pendapatan dari jasa survei turun 35%, penjualan kendaraan bekas turun 14%, dan hasil investasi turun drastis. Jadi secara kualitas, pertumbuhan laba ditopang hanya oleh satu kaki, dan sisanya mulai ambruk pelan-pelan.
Laba bersih yang dilaporkan memang Rp271 miliar. Tapi pertanyaannya seberapa nyata laba itu? Arus kas dari aktivitas operasi hanya Rp124,68 miliar, artinya hanya 46% dari laba yang benar-benar masuk jadi uang kas. Sisanya adalah angka akrual, yang belum tentu bisa ditagih. Ini masalah serius, karena dalam industri asuransi, uang kas sangat penting untuk menjamin kewajiban jangka pendek.
Beralih ke sisi ekuitas, naik Rp549 miliar. Tapi jangan terkecoh. Sebagian besar kenaikan itu berasal dari OCI (Other Comprehensive Income), yaitu kenaikan nilai properti dan efek AFS. Artinya, itu bukan uang yang bisa digunakan untuk bayar klaim. Itu hanya nilai kertas. Kalau pasar turun besok, OCI bisa menguap.
Yang bikin makin janggal, tidak ada data EPS (Earnings per Share) di laporan laba rugi. Padahal EPS adalah komponen standar dalam PSAK 56 dan wajib untuk emiten publik. Tidak disajikannya EPS menunjukkan bahwa penyusunan laporan ini asal jadi atau setidaknya tidak diperiksa dengan teliti. Dan ini bukan satu-satunya yang hilang. Tidak ada rekonsiliasi ekuitas. Tidak ada rincian perubahan arus kas metode tidak langsung. Tidak ada segmentasi pendapatan menurut produk. Tidak ada rincian loss ratio atau cadangan teknis. Bahkan beberapa akun besar seperti “aset lain-lain” senilai hampir Rp1 triliun juga tidak dijelaskan isinya.
Dan terakhir, mari bicara tentang beban jasa asuransi sebesar Rp1,51 triliun. Di laporan keuangan lain, beban ini biasanya dirinci menjadi klaim aktual, perubahan cadangan, manfaat polis, komisi, hingga kontribusi kontrak reasuransi. Tapi di TUGU, semuanya disatukan begitu saja. Tidak ada penjelasan teknikal. Bahkan beban dari kontrak reasuransi tiba-tiba turun dari Rp1,56 triliun ke Rp212 miliar tanpa penjelasan, apakah kontraknya berubah? Apakah belum dicatat? Apakah pihak reasuransi menolak bayar? Tidak tahu. Karena tidak dijelaskan.
Ini bukan cuma laporan telat. Ini laporan yang strukturalnya lemah, transparansinya buruk, dan isinya tidak menjawab pertanyaan paling mendasar investor, sebenarnya perusahaan ini sehat karena operasionalnya, atau karena angka-angka akrual yang dipoles rapi? Laba besar dan margin tinggi tidak berarti apa-apa kalau detailnya gelap gulita.
Dan dalam dunia pasar modal, ketika angka besar tidak didukung transparansi, itu bukan lagi pertanyaan keuangan. Itu pertanyaan integritas.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BBRI
1/10