Memahami Laba Rugi dari Gerobak Nasi Goreng
Versi visual di IG : Fadhilmenulis
Laba rugi adalah rangkaian cerita bisnis yang berlangsung selama periode waktu tertentu. Bisa tiga bulanan (kuartal), bisa juga tahunan. Ceritanya selalu dimulai dari pendapatan (revenue) di bagian paling atas, dan berakhir di laba atau rugi di bagian paling bawah. Di tengah-tengah, ada berbagai “plot” penting yang membentuk alur cerita bisnis.
Salah satu bagian awal yang krusial adalah gross profit margin. Ini menunjukkan seberapa efisien perusahaan mengubah bahan mentah menjadi uang. Caranya, pendapatan dikurangi langsung dengan harga pokok penjualan (HPP). Bayangkan kamu adalah abang nasi goreng. Dari harga jual sepiring nasi goreng, GPM ini menghitung berapa yang tersisa setelah beli beras, telur, minyak, kecap, dan gas. Kalau bahan bakunya boros atau harganya naik tapi kamu tidak menaikkan harga jual, GPM-mu bisa tergerus habis duluan.
Lalu cerita berlanjut ke operating profit margin, yang mencerminkan seberapa sehat bisnis setelah semua biaya operasional masuk hitungan. Kalau kamu menganggap dirimu digaji karena tiap malam ngedorong gerobak, lalu kamu sisihkan uang buat ganti ban gerobak (anggap saja ini penyusutan), atau kamu bayar uang keamanan ke RT biar tidak digusur saat mangkal, semua itu masuk ke beban operasional. OPM ini menghitung setelah semua itu dibayar, masih ada sisa atau tidak. Di sinilah kelihatan, apakah bisnis nasi gorengmu memang untung karena sistemnya rapi, atau untungnya cuma numpang lewat karena banyak biaya bocor sana-sini.
Setelah semua beban operasional dibereskan, cerita belum selesai. Masih ada biaya-biaya di luar dapur yang harus dibayar. Misalnya, kalau abang nasi goreng pernah ngutang buat beli gerobak baru, ada bunga yang harus dicicil tiap bulan. Lalu kalau usahanya makin laris dan omzetnya sudah lumayan, bisa juga mulai kena pajak UMKM meski tarifnya kecil. Setelah semuanya dibayar, barulah ketemu angka paling bawah: net profit margin. Ini sisa uang paling bersih yang benar-benar bisa dibawa pulang. Kalau ini positif, tandanya bisnisnya sehat. Tapi kalau negatif, berarti tiap malam ngangkat wajan cuma buat nutupin utang dan kewajiban, bukan buat nabung.
Tapi cerita bisa jadi bias kalau si abang nasi goreng mulai milih-milih mana yang mau dicatat. Misalnya, dia tidak menghitung gaji untuk dirinya sendiri karena merasa “ya sudah rejeki saya saja”, atau tidak mau mengakui penyusutan ban dan gerobak karena merasa itu bukan pengeluaran tunai. Padahal bannya sudah botak dan gerobaknya mulai reyot, jalannya miring ke kiri kalau didorong. Angka yang muncul dari perhitungan yang setengah-setengah begitu sering disebut adjusted EBITDA. Ini semacam OPM versi suka-suka abang, yang kadang dipoles demi alasan tertentu. Entah buat mengajukan pinjaman ke koperasi supaya bisa nambah gerobak baru, atau sekadar pamer ke calon mertua biar kelihatan mapan dan usahanya tampak cemerlang. Padahal kenyataannya belum tentu seindah itu.
Sebaliknya, bisa juga ceritanya berbalik. Si abang nasi goreng justru terlalu rajin menyisihkan uang tiap malam untuk persiapan ganti gerobak dalam tiga tahun. Padahal gerobaknya ternyata awet dan baru benar-benar perlu diganti di tahun kelima. Akibatnya, catatan labanya jadi tampak kecil, atau malah kelihatan rugi, padahal uang di dompet masih aman-aman saja. Ini mirip dengan perusahaan yang harus patuh pada standar akuntansi seperti PSAK. Kadang aturan menyuruh mengakui penyusutan atau beban dalam jangka waktu tertentu, meskipun di lapangan kenyataannya tidak secepat itu. Jadinya, laporan keuangan bisa terlihat lesu hanya karena perusahaan terlalu taat hitung-hitungan, bukan karena bisnisnya benar-benar bermasalah.
Memahami cerita di balik laporan laba rugi membuat investor jadi lebih bijak dalam menyimpulkan. Karena dari situ, kita bisa mengenali macam-macam tipe abang nasi goreng. Ada yang benar-benar harus efisien, menyisihkan laba untuk menafkahi keluarga hari ini sekaligus menabung modal buat tahun depan. Ada juga yang sebenarnya sudah tercukupi, karena gaji istri dan anak-anak sudah dicantumkan di beban administrasi, meski mereka tidak ikut dorong gerobak. Dan mungkin saja, gerobaknya hanya formalitas, karena ada bisnis sampingan cuci pakaian di belakang rumah. Sebagai investor, tugas kita adalah memahami cerita itu dengan jernih, agar tidak berharap di ending yang salah.
$GOTO $FAST $SRAJ