@juhaeri Ketika sebuah emiten ngumumin buyback saham, reaksi pasar biasanya kebagi dua: yang satu langsung angkat tangan teriak “bullish!”, yang satunya ngelus dada sambil bilang, “ini pasti akal-akalan lagi.” Buyback, kalau dipikir-pikir, mirip banget kayak mantan yang tiba-tiba ngajak balikan. Katanya sih cinta, padahal bisa jadi cuma panik karena yang sekarang nggak sebagus dulu. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari kacamata investor dividen, buyback itu kayak gebetan yang janjiin cinta tapi nggak ngasih kepastian. Kalau kamu tipe investor yang senang lihat rekening terisi tiap tahun karena dividen, kamu mungkin agak sewot. Misalnya gini, perusahaan punya kas Rp1 triliun, dan mereka pilih buat beli saham sendiri daripada bagi dividen. Artinya, kamu yang setia pegang saham nggak dapat sepeserpun. “Duitnya ke mana, bos?” Ya ke saham treasury, yang nggak bisa ngasih kamu dividen dan nggak punya kontribusi apa-apa selain nempel di neraca sebagai ekuitas minus. Padahal, kalau dibagi ke pemegang saham, Rp1 triliun itu bisa kasih dividen Rp100 per lembar buat 10 miliar saham. Tapi ya sudahlah, katanya buyback lebih “strategis”—buat siapa? Bukan kamu, jelas.
Sementara itu, value investor mungkin ngangguk-ngangguk pelan. Mereka lebih mikir logis, kurang drama. Kalau saham perusahaan dihargai Rp800 di pasar padahal nilai wajarnya menurut DCF atau PBV cuman 0,7, ya buyback bisa masuk akal. “Daripada duit nganggur, mending dibeli aja sahamnya,” pikir mereka. Apalagi kalau EPS tahun lalu Rp100, dan setelah buyback bisa naik ke Rp115 tanpa laba berubah, gara-gara jumlah sahamnya dikurangi. Ini bisa bikin PER kelihatan lebih menarik, valuasi makin cakep, dan pasar bisa sadar, “Oh ternyata saham ini undervalued.” Tapi tetep, value investor juga punya batas toleransi. Kalau emiten pake utang buat buyback, atau labanya turun tapi EPS dipoles naik pakai buyback, ya mereka juga bisa males. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau dari sudut pandang emiten, buyback itu alat kosmetik yang luar biasa. EPS bisa naik tanpa harus kerja lebih keras. Cukup kurangi jumlah saham, boom—angka di layar investor langsung kelihatan kinclong. Contohnya, perusahaan punya laba Rp1 triliun dan jumlah saham 10 miliar → EPS Rp100. Tapi setelah buyback 1 miliar saham, EPS naik jadi Rp111. Padahal bisnisnya sama aja, laba nggak nambah sepeserpun. Jadi buat manajemen, buyback bisa jadi jalan pintas buat bikin angka laporan keuangan terlihat sehat tanpa harus benerin operasi. Apalagi kalau direksi punya bonus berbasis EPS—nah ini udah bukan strategi lagi, tapi konflik kepentingan terselubung yang disulap jadi "good governance."
Nah, yang paling nikmat mungkin justru spekulan. Buat mereka, buyback itu sinyal teknikal, bukan fundamental. “Wah ada buyback, beli cepet, nanti naik!” Mereka masuk sebelum sekuritas penunjuk mulai belanja, ikut dorong harga naik, terus cabut pas euforia naik ke puncak. Spekulan nggak peduli buyback-nya buat treasury, buat dimusnahkan, atau nanti dibagi ke ESOP manajemen—yang penting ada momentum. Tapi tentu aja, spekulasi yang sukses itu cuma buat yang bisa keluar lebih cepat dari yang lain. Yang telat keluar ya nyangkut, karena begitu buyback selesai, biasanya harga langsung melambai turun. Karena tanpa dukungan fundamental, buyback cuma jadi pemicu sementara kayak caffeine shot buat saham yang lagi ngantuk. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jadi buyback ini ibarat pisau dapur. Di tangan chef (emiten jujur), dia bisa bikin masakan lezat (nilai investor naik). Di tangan tukang tipu (emiten nyari pencitraan), dia bisa dipakai buat nutupin bangkai. Bagi investor dividen, buyback sering jadi penundaan THR. Buat value investor, bisa jadi kesempatan. Buat emiten, jadi alat sulap EPS. Dan buat spekulan, jadi pemicu euforia sesaat—yang penting naik, urusan nyangkut nanti aja. Makanya, sebelum seneng denger buyback, selalu tanya dulu: niatnya tulus… atau cuma acting belaka? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
$RALS $ADRO $MYOR