Minggu lalu kabar gelap dari sektor media dan konten, kali ini saya sajikan yang kabar baiknya. Pelanginya gitu ya.
Meski era viralnya mulai redup perlahan lahan, namun antusiasme penonton film Indonesia terhadap film animasi Jumbo, produksi Visinema Pictures, definisi masih kuat.
Film ini, yang akhirnya menjadi film animasi Indonesia pertama terlaris sepanjang masa, sekaligus menjadi top 3 film Indonesia terlaris sepanjang masa (di bawah KKN di Desa Penari ($FILM - MD Entertainment) dan Agak Laen), membuat film animasi asli Indonesia mulai menemukan momentum breakthroughnya, setelah sekian banyak percobaan dan hasilnya tidak terlalu memuaskan. Situasi ini makin heboh, mengingat lawan Jumbo adalah film film horor yang masih tetap saja ngetren di bioskop, meski - tentu saja - tidak semua film horor itu laku juga.
Belum selesai antusiasme, sudah ada yang buru buru terinspirasi bikin animasi serupa (Biasalah, latah wkwkwk). Produser KK Dheeraj, atau nama aslinya Dheeraj Kalwani, yang selama ini memproduksi film film horor dan kontroversial seperti Vina, Norma (menantu selingkuh dengan mertua) hingga film tentang Presiden Jokowi di masa lalu *eh, disebut sebut akan membuat animasi serupa bekerjasama dengan kreator Tung Tung Sahur. Hmmm…
Namun demikian, apakah memang ini benar benar momentum bagus untuk dunia animasi di Indonesia? Sebagai seorang penonton animasi semata, ini komentar saya.
======
Antusiasme penonton sudah ada. Ini kabar bagus memang, mengingat di antara banyak genre film di Indonesia, genre animasi ini ngga terlalu banyak berkembang. Yang berkembang, lagi lagi adalah film animasi dari luar, baik Asia maupun Amerika, yang industrinya sudah lebih kuat dan ada track recordnya dibandingkan dengan Indonesia. Dari Indonesia, yang menonjol paling hanya beberapa nama, misalnya Adit dan Sopo Jarwo (lagi lagi $ FILM). Dari grup $MNCN - Media Nusantara Citra, ada Kiko dan Si Entong (yang secara unik menguasai rating TV di bulan Ramadan beberapa tahun terakhir). Kiko maupun Adit dan Sopo Jarwo sempat dibuat versi filmnya, tapi kurang menggembirakan. Ngga seboom Jumbo. Ada sih yang cukup boom, tapi jauh di bawah Jumbo, semisal filmnya Si Juki (Falcon), karakter komik yang terkenal di media sosial.
Memang betul, satu teori utama di dunia konten, mau apapun mediumnya, adalah soal momentum. Momen ini ngga bisa sengaja dicari untuk seakurat mungkin berhasil dan dikejar dengan duit sebanyak-banyaknya. Ini yang membuat apakah sebuah konten, film, program TV, bisa menempati posisi teratas di industrinya atau tidak. Istilah kerennya adalah trendsetter. Jumbo memperoleh momen bagus, mengingat penayangan pertamanya di tanggal Lebaran (hari H) - hari dimana keluarga semua berkumpul, terutama anak anak yang jadi segmen utama film ini - dan film ini menjadi satu satunya film non drama dan non horor (meski di dalam Jumbo ada tokoh hantunya sih) yang menjadi pembeda sendiri. Sebuah kenekatan, karena kalau sekali flop (gagal), hancur sudah kerja keras timnya selama 5 tahunan terakhir + $UNVR - Unilever Indonesia - yang membuat produk produknya jadi cameo (muncul sekilas) di film ini.
Namun, upaya marketingnya yang cukup agresif, didukung promosinya oleh pemerintah, ditambah dengan adanya gimmick sejumlah nama aktor aktris terkenal yang ikut bermain dalam sejumlah adegan film ini (termasuk Chico Jericho yang cuma jadi kambing wkwkwk), rupanya cukup berhasil. Apalagi ketika lagu soundtrack film ini, yang kemudian diviralkan oleh sejumlah penyanyi, seperti pasangan Mahalini dan Rizky Febian, membuat keterkenalan film ini makin kuat. Saling memperkenalkan satu sama lain, intinya.
Oh ya, ternyata ada sebagian penonton yang baru menyadari bahwa anak anak menjadi potensi baru/pasar baru di dunia film. Hal ini sebenernya sudah terjadi duluan di televisi, dimana dengan maraknya stasiun TV yang fokus menayangkan kartun atau animasi, dari MNCTV-GTV hingga RTV, Mentari TV dan BTV, membuktikan bahwa pasar anak anak bener bener ada. Namun, yang sebenernya digarap bukan si anak anaknya, karena secara konsumen mereka belum bisa memutuskan pembelian, jadi yang ditargetkan adalah bapak atau ibu mereka yang digaet secara tidak langsung.
Itu alasannya kenapa $ UNVR memplacement di Jumbo bukan hanya Walls (untuk anak anaknya), tapi juga Buavita dan Bango (untuk keluarga). Begitupun strategi brand brand yang beriklan di televisi yang saya sebut tadi, dimana kebanyakan adalah pemain sektor konsumer (FMCG).
Meski demikian, gelombang viral film ini menurut saya masih ada unsur FOMOnya, sehingga tentu ini bukan menjadi 100% acuan untuk siapapun kreator film animasi berikutnya. Istilah kasarnya, kalaupun nanti ada lagi yang lain, jangan harap bisa setinggi ini lagi - bukan bermaksud menggagalkan mimpi, tapi realistis menjadi penting. Antusiasme belum tentu setinggi Jumbo, dan momentum sangat berpengaruh. Lagipula, menjaga antusiasme untuk film animasi selanjutnya menjadi lebih menantang, karena film animasi ngga bisa diproduksi secepat dan dalam jumlah masif seperti film live action (film yang menggunakan manusia sebagai pemainnya, seperti kebanyakan film yang kita tonton).
Untuk film Jumbo sendiri, keseluruhan produksinya butuh 5 tahun - yang kemungkinan menjadi lambat karena dampak pandemi. Sementara untuk animasi Adit dan Sopo Jarwo sendiri, membutuhkan waktu beberapa bulan untuk jumlah episode yang sedikit. Ngga heran pada saat penayangan di televisi, animasi ini kebanyakan direrun penayangannya. Apalagi Si Entong, yang tayangannya bener bener diulang terus menerus, karena MNC Animations tidak lagi memproduksi animasi ini dengan episode baru (setidaknya hingga post ini dibuat). Televisi yang sekarang “dipaksa” menayangkan stripping format (kejar tayang tiap hari) tentu berbeda dengan cara kerja animasi.
Kenapa produksi tayangan film animasi lambat dan tidak bisa banyak dalam waktu singkat?
Pertama, biaya produksi yang lebih besar dibanding live actions. Film Jumbo mengestimasikan biaya minimal sekitar Rp 20 Milyar atau lebih, yang meski sebenernya ini angka umum di perfilman sekarang, namun mengingat bahwa produksi animasi lebih rumit, maka biaya ini menjadi “besar” dan sulit dikompromikan seperti film live actions yang bisa dihemat di bagian bagian tertentu. Itu asumsinya kalau mau cerita bagus, animasi bagus dan kualitas bagus. Dalam skala lebih kecil, biayanya tentu tetep bisa milyaran juga.
Dengan biaya sebesar itu, maka target pengembalian investasi dari film ini menjadi lebih besar pula. Resiko menjadi besar, karena ngga semua film animasi itu bisa laku di penonton, dan ini lebih menyakitkan dibandingkan film live actions. Itulah sebabnya, pilihan pun harus diambil : produksi sekali kali (tidak bersifat rutin), tapi cari duitnya sekalian besar besaran atau produksi rutin dengan biaya yang lebih efisien, namun potensi pendapatan yang stabil. Ini juga alasan utama mengapa tidak banyak produksi film animasi di Indonesia.
Contoh menarik soal ini adalah bagaimana iklan Marjan, di televisi, yang beberapa tahun terakhir mulai memasukkan unsur animasi, tetap konsisten hanya hadir sekali setahun di bulan puasa. Selain menyesuaikan dengan peak season (musiman) Marjan laku di pasaran, tentu ini membuat biaya promosi bisa lebih besar dan maksimal, sehingga menyebabkan Marjan bisa memproduksi iklan dengan konten yang demikian.
Kedua, konten animasi membutuhkan tenaga ahli, kreator kreator dan teknologi yang mumpuni, dan jumlahnya banyak. Film Jumbo sendiri dikerjakan sekitar 400 orang. Rata rata film animasi umumnya bisa menyerap minimal 100 orang untuk berbagai kebutuhan produksi. Angka ini adalah angka rata rata maksimal untuk produksi film live action, sehingga dengan jumlah resources yang lebih banyak, artinya biaya produksi animasi untuk tenaga tenaga tersebut menjadi lebih besar. Belum lagi dengan tantangan mencari tenaga berpengalaman dan memiliki kekuatan yang dibutuhkan, dimana ini ngga mudah ditemukan, yang menghasilkan biaya yang lebih besar lagi dan waktu untuk mencari - yang mempengaruhi waktu produksi.
Ketiga, persepsi animasi hanya untuk anak anak. Bagi produser film, memproduksi animasi sering sering tentu akan dianggap kurang benefitnya, karena pasar anak anak tidak sebesar pasar orang dewasa. Sudahlah biaya besar, eh pendapatan tidak pasti (berbeda dengan animasi atau kartun di televisi yang cenderung pasti), tapi pangsanya kecil banget. Pasti akan kalah. Kenyataannya di luar negeri, kartun atau animasi justru pasarnya besar, hingga ke orang dewasa. Sayangnya, pasar penonton Indonesia sudah kadung menyebut animasi sebagai konten anak anak. Film Jumbo pun, juga disebut sebagai konten anak anak, meski dari sisi penceritaan masih bisa diikuti orang dewasa - dan kenyataannya semua film di bioskop secara experience memang lebih ramah buat orang dewasa, semisal sound system yang kencang + bergema yang sensitif buat anak kecil.
Karena itu, meski Jumbo bisa memantik motivasi dan momentum penting bagi para produser film untuk melakukan hal yang sama, namun demikian produser film tetap mesti realistis dari sisi strategi. Apalagi jika kondisi ekonominya seperti sekarang. Tinggal bagaimana produser produser tersebut melakukan strategi untuk bisa memenangkan penonton dan menemukan momentum pemutarannya. Begitu.
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi, serta Twitter/X @plbkinvestasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
1/2