Krisis Ormas: Apakah Prajogo Pangestu Orang Terkaya di Indonesia dan Juga Pemilik $TPIA $BRPT dan $BREN Sekaligus Kawan Presiden Prabowo dan Jokowi Dipalak Ormas? Hanya Sekedar Bertanya 🙏
Link Youtube https://cutt.ly/1rzIipxd
Kasus Chandra Asri Alkali di Cilegon adalah gambaran nyata dari bagaimana impian industrialisasi Indonesia yang modern dan berkelas dunia bisa tersandung bukan karena kekurangan teknologi, dana, atau tenaga kerja—melainkan karena tarik-menarik kepentingan lokal yang terasa begitu… klasik. Di atas kertas, proyek ini adalah proyek teladan: nilai investasi mencapai 15 triliun rupiah, masuk daftar Proyek Strategis Nasional, dikerjakan oleh anak usaha dari PT Chandra Asri Pacific Tbk, perusahaan petrokimia terbesar Indonesia, yang dimiliki oleh konglomerat papan atas Prajogo Pangestu. Proyek ini ditargetkan memproduksi 400.000 ton kaustik soda per tahun, bahan vital untuk industri tekstil, kertas, hingga pembuatan sabun. Ditambah janji menyerap 3.250 tenaga kerja selama masa konstruksi dan membawa multiplier effect besar ke kawasan industri Cilegon. https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Secara teknis dan finansial, proyek ini sudah punya semua kuncinya: partner asing dari China melalui Chengda Engineering Co, sokongan dari INA (Indonesia Investment Authority) sebagai pendana strategis, dan dukungan penuh dari pemerintah pusat. Tapi kemudian, cerita ini berbelok drastis. Bukan karena gagal tender, bukan karena mundurnya investor, tapi karena beredarnya video viral yang memperlihatkan pertemuan antara Kadin Cilegon dan sejumlah ormas lokal—HIPPI, HIPMI Baja, GAPENSI, HNSI—dengan pihak Chengda. Dalam video itu, terdengar permintaan agar Rp3 hingga Rp5 triliun proyek diberikan kepada pihak lokal, tanpa melalui proses lelang. Salah satu tokoh Kadin bahkan terdengar menggebrak meja, menegaskan bahwa mereka tak ingin menunggu lagi janji-janji manis yang belum terealisasi.
Tentu, klarifikasi datang cepat. Ketua Kadin menyatakan bahwa pertemuan tersebut semata-mata bertujuan memastikan agar pengusaha lokal bisa terlibat dalam proyek besar ini dan tidak hanya jadi penonton. Mereka mengklaim bahwa ini adalah bentuk pengawalan kepentingan daerah, agar manfaat proyek benar-benar dirasakan masyarakat lokal. Pernyataan yang tampaknya masuk akal secara normatif. Tapi publik sudah terlanjur menyaksikan suasana video yang lebih menyerupai negosiasi tekanan dibandingkan dialog kemitraan. Dalam ruang publik, muncul dugaan bahwa ini bukan sekadar advokasi keterlibatan, melainkan bagian dari pola lama: permintaan jatah proyek secara informal—di mana siapa yang merasa paling “berhak secara sosial” berusaha mengambil porsi tanpa mekanisme terbuka.
Yang membuat ironi ini semakin tajam adalah siapa pengendali proyek ini: Prajogo Pangestu, orang terkaya di Indonesia. Ia adalah pemilik dari grup Barito Pacific yang mengendalikan Chandra Asri dan Barito Renewables. Ia dikenal memiliki kedekatan dengan pemerintahan Jokowi dan kini juga terlihat intensif di lingkaran Presiden Prabowo Subianto. Bahkan baru-baru ini, Prajogo duduk satu meja dengan Prabowo dan Bill Gates dalam forum eksklusif di Istana Negara. Ia bukan pengusaha sembarangan, bukan juga pemain baru. Ia adalah representasi kapitalisme terorganisir Indonesia: modal kuat, jaringan politik dalam, dan ekspansi agresif ke sektor strategis.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Namun demikian, kejadian di lapangan membuktikan bahwa bahkan proyek milik orang sekuat Prajogo pun tidak imun terhadap tekanan lokal. Ini memunculkan satu dugaan yang jauh lebih besar: bahwa siapa pun pemiliknya, sebesar apa pun nilainya, dan sekuat apa pun koneksinya, proyek di Indonesia tetap harus melalui “proses sosial” informal jika ingin berjalan mulus di level daerah. Bukan hanya izin AMDAL atau sertifikat tanah, tapi juga “izin sosial” dari entitas yang mengklaim sebagai representasi daerah—baik dalam bentuk ormas, asosiasi dagang, hingga tokoh informal setempat.
Masalah ini bukan sekadar insiden. Ia membuka realitas besar tentang bagaimana proyek-proyek strategis nasional bisa terhambat bukan karena ketidakmampuan negara, tapi karena struktur informal yang paralel dengan sistem resmi. Bahkan ketika negara bicara industrialisasi 4.0, pembangunan hilirisasi, dan transisi energi bersih, tetap ada mekanisme “jatah” yang tidak tercatat dalam UU atau PP, tapi berlaku seperti hukum tak tertulis. Dalam mekanisme ini, lelang dianggap lambat, keterbukaan dianggap ancaman, dan kompetensi bisa dikalahkan oleh kedekatan.
Pemerintah pusat pun seolah gamang. Di satu sisi, mereka ingin menarik investasi dan membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang ramah investor. Tapi di sisi lain, mereka tidak selalu bisa mengendalikan dinamika daerah, terutama jika tekanan dilakukan oleh entitas yang memiliki legitimasi lokal. Hal inilah yang menciptakan dualitas tata kelola proyek: satu di atas kertas yang diatur regulasi formal, dan satu lagi di lapangan, yang diatur lewat relasi kuasa informal dan “kompensasi sosial.”
Kasus Chandra Asri Alkali menunjukkan bahwa industrialisasi Indonesia bukan hanya soal membangun pabrik dan mencetak tenaga kerja. Ini juga soal membongkar dan membenahi kultur distribusi rente yang sudah terlalu lama dibiarkan mengakar. Apakah semua proyek besar harus menyisihkan “porsi” tertentu agar tak diganggu? Apakah semua investor harus memahami peta ormas lokal sebelum masuk ke wilayah proyek? Dan yang paling menyedihkan, apakah kita akan terus membiarkan proyek-proyek masa depan kita ditentukan bukan oleh studi kelayakan, tapi oleh siapa yang paling cepat mengetuk meja? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau kita tidak belajar dari kasus ini, maka ke depan akan muncul lebih banyak proyek ambisius yang berhenti bukan karena gagal secara ekonomi, tapi karena “gagal menyenangkan” pihak-pihak yang merasa harus dapat bagian. Kita sedang membangun industri masa depan, tapi dengan cara-cara masa lalu. Dan selama kita tidak berani menyentuh akarnya, maka pabrik senilai triliunan pun akan tetap bisa digoyang oleh suara lantang yang mengaku mewakili daerah—meski tak pernah lolos uji kompetensi apa pun.
Apakah Ormas adalah Mahluk maha kuasa di Indonesia? Hanya sekedar bertanya 🙏. Semoga Pak Prabowo dan Gibran punya jawabannya.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU