Danantara Ngikutin Tren atau Jaga Stabilitas? Negara Nggak Boleh FOMO.
Halo kamu yang lagi baca ini, hari ini aku mau ajak kamu ngobrol soal sesuatu yang katanya keren banget: usulan biar Danantara, lembaga pengelola dana investasi negara, beli Bitcoin buat cadangan strategis. Iya, kamu nggak salah baca. Negara disuruh beli Bitcoin! Awalnya aku juga mikir, “Wah, keren nih idenya!” Tapi makin dibaca, makin digali, makin banyak hal yang justru bikin dahi berkerut.
Bagaimana Ceritanya Bisa Sampai ke Bitcoin?
Jadi gini, ceritanya ada masukan dari beberapa tokoh ada dari HIPMI, dari pelaku industri kripto, bahkan CEO bursa kripto lokal. Mereka ngasih usulan ke pemerintah, lewat Danantara, buat masukin Bitcoin sebagai bagian dari cadangan strategis. Alasannya? Karena rupiah terus melemah, terus juga karena katanya negara-negara lain udah mulai melirik Bitcoin. Dan pastinya, biar Indonesia “nggak ketinggalan kereta”.
Pihak OJK juga kasih komentar diplomatis banget katanya mereka “menghargai usulan inovatif” itu. Tapi ya nggak langsung bilang setuju juga sih. Maklum, badan pengawas pasti harus kalem.
Nah, ini nih yang menarik. Karena pas kita denger kata “Bitcoin”, otak kita tuh langsung lompat ke kata “cuan”. Rasanya kayak ada alarm di kepala: “Wah, jangan sampai kelewatan nih! Negara-negara kaya aja mulai nyicil beli BTC, masa kita enggak?”
Bahkan tokoh-tokoh yang kelihatan keren dan berpengaruh mulai angkat suara. Ada juga yang bilang, “Liat dong, BlackRock aja beli Bitcoin, masa Danantara enggak?” Wah, sekilas kayaknya masuk akal banget ya. Tapi yuk kita coba bedah bareng-bareng dengan kepala dingin dan logika sehat. Kadang, hal yang kelihatannya canggih, justru bisa menjerumuskan kalau dasar berpikirnya salah.
Jadi gini, kita mulai dari awal ya. Danantara ini apa sih? Gampangnya, Danantara itu semacam lembaga pemerintah non-kementerian yang bertugas menyalurkan dan mengelola investasi negara, semacam "super holding" BUMN. Tugasnya bukan cuan doang, tapi juga jaga kepentingan ekonomi nasional.
Nah, yang lagi rame itu kan karena ada usulan supaya Danantara punya cadangan Bitcoin. Katanya bisa jadi strategi buat memperkuat rupiah dan juga melunasi utang negara. Di atas kertas? Keliatannya keren. Tapi ayo kita cek satu per satu, kira-kira ini logis enggak sih?
1. Kesalahan Berpikir: Bandwagon Effect “Karena BlackRock beli, maka Danantara juga harus beli.”
Ini tuh kayak logika "temen aku beli sepatu model itu, berarti aku juga harus beli." Padahal konteksnya beda banget. BlackRock itu perusahaan investasi swasta terbesar di dunia, dan mereka beli Bitcoin bukan buat jadi “cadangan strategis negara.” Mereka beli buat produk ETF jadi itu bagian dari strategi diversifikasi buat klien mereka, bukan keputusan negara.
Sementara Danantara? Dia bukan fund manager pribadi. Dia itu entitas yang tugasnya strategis banget buat masa depan bangsa. Ngikutin tren kayak BlackRock tanpa mikirin konteks lokal itu ibarat kamu ikut-ikutan gaya hidup orang super kaya, padahal kondisi keuanganmu beda jauh.
2. Kesalahan Berpikir: False Analogy “Kalau Bitcoin bisa naik terus, artinya pasti aman buat cadangan.”
Ini bahaya banget. Mikir kayak gini tuh kayak bilang, “Karena emas mahal, berarti berlian sintetis juga aman.” Padahal beda banget. Bitcoin itu masih volatil banget. Turun 10%-20% dalam seminggu itu biasa. Dan ini yang orang suka lupa: cadangan strategis negara itu tugasnya menjaga kestabilan, bukan berspekulasi.
Bayangin kalau Danantara taruh 100 triliun di Bitcoin, lalu harganya jeblok 30% dalam sebulan. Negara rugi 30 triliun. Mau ditutupin pakai apa? Dibilang ke rakyat, “Maaf ya, uang kita lenyap karena Bitcoin merah?” Gak lucu, bro.
3. Kesalahan Berpikir: Overconfidence Bias “Bitcoin pasti naik karena jumlahnya terbatas.”
Yes, jumlah Bitcoin memang cuma 21 juta. Tapi kamu tahu enggak, nilai suatu aset itu bukan cuma soal kelangkaan, tapi juga soal persepsi pasar. Sekarang mungkin banyak orang percaya Bitcoin itu emas digital. Tapi lima tahun lagi? Siapa yang jamin?
Overconfidence itu bikin orang merasa dia pasti benar. Padahal, sejarah pasar udah penuh dengan contoh aset “terbatas” yang akhirnya nggak bernilai lagi. Ingat tulip mania di Belanda abad 17? Atau dot-com bubble tahun 2000-an? Semua orang yakin banget waktu itu. Tapi akhirnya? Rontok juga.
4. Kesalahan Berpikir: Cherry Picking “Lihat dong, Bitcoin udah naik ribuan persen!”
Ini tuh ngambil data yang sesuai narasi doang, terus nutupin sisi buruknya. Ya, Bitcoin naik luar biasa sejak awal. Tapi itu enggak menjamin bakal terus naik. Kamu juga harus lihat masa-masa kelam Bitcoin: kayak 2018, atau 2022 pas FTX bangkrut, dan harga ambrol lebih dari 70%.
Kita harus adil dong. Kalau mau lihat potensi naiknya, ya liat juga potensi turunnya. Apalagi kalau ini soal uang negara. Gak bisa main untung-untungan doang kayak beli token meme di grup Telegram.
5. Kesalahan Berpikir: Salah Kaprah Tentang “Cadangan Strategis”
Nah ini. Cadangan strategis itu biasanya dalam bentuk aset yang stabil, likuid, dan diterima secara global: kayak emas, dolar, surat utang negara lain yang bonafid. Tujuannya apa? Buat jaga kestabilan moneter, lindungi ekonomi dari krisis, atau buat bayar utang darurat.
Bitcoin? Stabil aja belum. Diterima secara global juga belum. Likuid di pasar dalam negeri? Apalagi. Jadi kalau kita sebut Bitcoin sebagai “cadangan strategis,” ini kayak kamu nyebut celengan koin receh sebagai tabungan pensiun. Gak nyambung, bro.
6. Kesalahan Berpikir: Solusi Sederhana untuk Masalah Kompleks
Masalah utang Indonesia itu besar banget dan kompleks. Kita ngomongin angka Rp 8.400 triliun. Nah, ada yang bilang, “Beli Bitcoin biar bisa bantu bayar utang.” Ya ampun, ini kayak bilang, “Nabung di koin kripto biar bisa beli rumah tahun depan.”
Kita harus fair. Nggak ada satu instrumen ajaib yang bisa menyelesaikan masalah struktural ekonomi. Solusi utang ya perbaikan APBN, pajak, efisiensi belanja, reformasi fiskal. Bukan beli aset volatil yang harganya kayak roller coaster.
7. Kesalahan Berpikir: Mengabaikan Regulasi dan Risiko Sistemik
Kalau Danantara beli Bitcoin dalam skala besar, kamu tahu gak efek dominonya? Bayangin kalau harganya jatuh dan laporan keuangan Danantara merah. Lalu publik panik. Kepercayaan pasar hancur. Pemerintah bisa kehilangan kredibilitas.
Dan lebih parah lagi, kalau ini dijadikan contoh oleh daerah-daerah atau BUMN-BUMN lain. “Wah, pusat aja beli Bitcoin, kita juga ah.” Bisa-bisa nanti negara kita berubah jadi komunitas trader kripto.
8. Kesalahan Berpikir: Menyamaratakan Bitcoin dengan Emas
Ada yang bilang, “Kan Bitcoin kayak emas digital, jadi bisa jadi cadangan.” Tapi gini ya, emas itu udah ribuan tahun dipercaya, bisa dipakai buat jaminan, bisa dilebur, disimpan fisik, dan diterima di mana-mana. Bitcoin? Masih tergantung server, internet, dan sistem blockchain yang kompleks.
Lagipula, emas itu gak bisa diretas. Gak bisa di-hack. Bitcoin? Sudah banyak kasus dompet kripto dibobol. Dan pemerintah gak punya jaminan kayak di bank. Jadi risiko teknologinya masih tinggi.
9. Kesalahan Berpikir: Ketahanan Rupiah Akan Kuat karena Bitcoin
Ini lucu sih. Bitcoin itu berfluktuasi terhadap dolar, bukan terhadap rupiah. Kalau rupiah melemah, Bitcoin bisa naik, tapi itu bukan karena Bitcoin kuat, tapi karena rupiah yang lemah.
Kalau negara taruh Bitcoin, terus harganya naik, dan rakyat lihat, “Wah, mata uang kita kalah dong sama aset negara sendiri?” Gimana nggak makin bikin kepercayaan publik ke rupiah makin turun?
10. Kesalahan Berpikir: Ilusi Keamanan Teknologi
Banyak yang merasa karena Bitcoin berbasis blockchain, maka otomatis aman. Tapi mereka lupa: keamanan itu bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal governance dan kontrol manusia.
Kamu bisa bikin sistem blockchain super canggih, tapi kalau orang yang ngelola salah ambil keputusan atau disusupi kepentingan politik, ya tetap aja bisa berantakan. Gak ada sistem yang bisa 100% kebal dari kebodohan manusia.
11. Kesalahan Berpikir: Teknologi Baru Pasti Lebih Baik
Nah, ini juga sering kejadian. Banyak orang percaya bahwa karena Bitcoin itu teknologi baru, maka otomatis harus lebih baik dari sistem lama kayak emas atau dolar. Pola pikir ini sering banget ngebuat orang buru-buru ngadopsi sesuatu tanpa mikir panjang.
Padahal, gak semua yang baru itu selalu lebih bagus. Banyak teknologi baru yang ternyata gak matang dan gagal di pasar. Kayak Google Glass dulu hype banget, tapi akhirnya bubar. Atau Segway katanya bakal jadi transportasi masa depan, nyatanya malah gak kemana-mana.
Bitcoin itu masih muda banget dibanding sistem moneter global. Dia belum terbukti tahan uji dalam krisis ekonomi global, belum terbukti aman dari manipulasi teknologi, dan belum diakui secara resmi sebagai cadangan devisa oleh negara-negara besar. Jadi jangan mentang-mentang “baru” langsung disimpulkan “pasti lebih baik.”
12. Kesalahan Berpikir: Negara Gagal kalau Tidak Ikut Tren
Ada juga yang bilang, “Kalau Indonesia gak ikut beli Bitcoin, nanti ketinggalan zaman!” Wah, ini tuh pola pikir FOMO alias Fear of Missing Out. Seolah-olah kalau kita gak ikut beli sekarang, besok-besok bakal nyesel.
Padahal negara itu bukan influencer TikTok. Tugasnya bukan jadi yang paling update atau keren, tapi jadi yang paling stabil, hati-hati, dan berorientasi jangka panjang. Negara gak bisa ambil keputusan karena takut dibilang kudet (kurang update).
Kalau urusan pribadi sih silakan, kamu mau FOMO beli token kripto, itu risiko sendiri. Tapi kalau uang negara yang dipakai dan kebijakannya diambil hanya karena takut “ketinggalan zaman,” itu berbahaya banget. Karena efeknya bisa jangka panjang dan melibatkan jutaan orang.
13. Kesalahan Berpikir: Bitcoin Anti Inflasi, Jadi Pasti Cocok Buat Negara
Ini juga perlu dikritisi. Memang banyak penggemar Bitcoin yang bilang Bitcoin itu “hedge against inflation” alias pelindung dari inflasi. Tapi kenyataannya? Data gak selalu mendukung.
Contohnya waktu inflasi naik di AS tahun 2022, apa yang terjadi? Bukannya Bitcoin naik, malah jeblok. Emas justru relatif stabil. Kenapa? Karena Bitcoin itu belum cukup dewasa untuk benar-benar jadi pelindung nilai. Investor masih ngelihatnya sebagai aset spekulatif, bukan store of value sejati.
Jadi kalau alasan beli Bitcoin karena pengen lindungin negara dari inflasi, itu logika yang terlalu sederhana dan belum terbukti. Gak semua teori di forum Reddit bisa langsung diterapkan ke kebijakan negara.
14. Kesalahan Berpikir: Bitcoin = Desentralisasi = Aman
Banyak juga yang bilang, “Bitcoin itu sistem terdesentralisasi, jadi gak bisa dimanipulasi.” Kedengarannya keren, ya? Tapi kita harus bedain antara teori dan praktik.
Betul bahwa Bitcoin itu tidak dikontrol oleh satu entitas, tapi bukan berarti bebas dari manipulasi. Kamu tahu kan soal whale? Orang-orang atau institusi yang punya Bitcoin dalam jumlah besar bisa ngegerakin pasar hanya dengan satu transaksi.
Dan belum lagi soal mining pool. Sebagian besar kekuatan mining Bitcoin saat ini terkonsentrasi di beberapa kelompok besar. Kalau mereka berkolusi, bisa aja terjadi serangan 51% yang ngerusak jaringan. Jadi desentralisasi itu bukan berarti kebal dari risiko sistemik.
15. Kesalahan Berpikir: Semakin Banyak yang Pakai, Semakin Aman
Kamu pernah dengar kalimat ini: “Sekarang semua orang udah punya Bitcoin, jadi ini teknologi yang aman dan mapan.” Ini tuh ilusi popularitas. Hanya karena sesuatu banyak dipakai, bukan berarti itu aman atau cocok buat semua.
Banyak hal yang dulu populer, tapi akhirnya jatuh juga. Contohnya MySpace, Friendster, atau Blackberry. Dulu itu raja. Sekarang? Tinggal sejarah.
Popularitas itu bisa dibentuk oleh tren jangka pendek, bukan karena nilai jangka panjang. Jadi kita gak boleh ngelihat Bitcoin cuma dari banyaknya pengguna atau pemberitaan. Kita harus lihat apakah teknologi itu stabil, kuat, dan cocok untuk dijadikan fondasi keuangan negara. Dan sejauh ini, jawabannya masih belum meyakinkan.
16. Kesalahan Berpikir: Satu Solusi Untuk Semua Masalah
Ada juga yang mikir, “Kita punya banyak masalah ekonomi, jadi kita butuh satu solusi radikal yang bisa menyelesaikan semuanya.” Dan Bitcoin sering dijadikan “pahlawan tunggal.”
Tapi gini ya, masalah negara itu kompleks banget. Dari defisit anggaran, ketimpangan, subsidi, hingga utang luar negeri semua itu butuh pendekatan yang sistemik, terukur, dan realistis.
Bitcoin mungkin bisa jadi bagian dari portofolio pribadi atau instrumen investasi jangka panjang untuk individu, tapi bukan silver bullet buat menyelesaikan persoalan fiskal dan moneter negara. Kita gak bisa ngarep ada satu alat ajaib yang bisa nyelametin semuanya.
17. Kesalahan Berpikir: “Gak Nyoba Gak Tau”
Ada juga yang bilang, “Ya udah dicoba aja dulu, kalo rugi juga gak apa-apa, yang penting belajar.” Hmm… ini sih kalau uangnya pribadi ya silakan. Tapi kalau ini uang negara? Gak bisa dong.
Bayangin kamu jadi bendahara keluarga, lalu kamu bilang, “Kita taruh tabungan keluarga di kripto ya, biar kita belajar.” Terus harga turun 60%. Gimana tuh rasanya? Marah, kan?
Nah, apalagi ini levelnya negara. Negara gak boleh coba-coba pakai uang rakyat. Semua harus berdasarkan data, riset, dan pertimbangan jangka panjang. Gak bisa cuma karena penasaran atau pengen ikut tren.
18. Kesalahan Berpikir: Pemerintah Pasti Bisa Kendalikan Risiko
Kadang ada yang terlalu percaya bahwa pemerintah kita pasti bisa atasi risiko. “Tenang aja, toh kalau rugi, negara bisa atur ulang.”
Wah, ini sih ilusi kontrol. Negara itu bukan pesulap. Sekali uang hilang, reputasi rusak, atau kepercayaan publik anjlok, susah banget buat balikin. Dan kalau pemerintah terlalu banyak ikut main di aset berisiko tinggi, bisa-bisa dianggap tidak profesional sama investor asing. Implikasinya? Biaya utang naik, mata uang tertekan, dan efek dominonya ke seluruh rakyat.
19. Kesalahan Berpikir: Bitcoin Pasti Masa Depan
Sering juga ada klaim, “Bitcoin itu masa depan keuangan dunia, jadi kita harus masuk sekarang.” Tapi, ingat ya, masa depan itu gak pernah pasti. Dulu orang juga bilang Netscape browser itu masa depan internet. Atau Yahoo itu masa depan bisnis digital. Mana sekarang mereka?
Bitcoin bisa jadi punya peran penting di masa depan. Tapi bisa juga kalah oleh teknologi baru. Bisa juga digantikan oleh Central Bank Digital Currency (CBDC) yang dikeluarkan negara. Atau bisa juga diregulasi habis-habisan oleh pemerintah dunia.
Intinya, jangan terlalu yakin sama satu narasi. Selalu ada kemungkinan berubah. Dan negara gak boleh bertaruh segalanya ke satu kemungkinan aja.
20. Kesalahan Berpikir: Bitcoin = Sovereign Wealth Fund Baru
Beberapa orang punya ide ekstrem: “Kenapa Danantara gak jadiin Bitcoin sebagai dasar Sovereign Wealth Fund (SWF)?” Waduh, ini sih ngaco total. SWF itu dibentuk buat stabilitas, investasi jangka panjang, dan ketahanan ekonomi negara.
Kalau dasarnya Bitcoin? Yang bisa turun 20% dalam sehari? Lalu balik naik lagi? Itu bukan fondasi, tapi roller coaster. Bayangin kamu bangun rumah di atas trampolin. Gak bakal stabil.
21. Kesalahan Berpikir: Kalau Untung Gede, Negara Pasti Diuntungkan
Ini mirip kayak main judi. Emang kalau untung, untungnya besar. Tapi risikonya juga sepadan. Negara gak boleh ikut main spekulasi. Karena begitu negara ikut untung-untungan, lalu tiba-tiba rugi besar, yang nanggung itu seluruh rakyat.
Ingat kasus 1MDB di Malaysia? Negara ikut main investasi aneh-aneh, ujungnya malah jadi skandal dan beban politik. Kita jangan sampai ulangin hal yang sama hanya karena pengen “cuan instan.”
Penutup
Jadi gini, bro...
Aku bukan anti kripto. Aku juga paham kenapa orang tertarik sama Bitcoin, ada potensi, ada teknologi baru, dan narasinya kuat banget. Tapi kita harus bisa bedain mana ranah pribadi dan mana ranah negara.
Kalau kamu beli Bitcoin buat investasi pribadi? Sah-sah aja. Kamu tanggung sendiri untung ruginya. Tapi kalau Danantara atau institusi negara beli Bitcoin? Risikonya ditanggung bersama, dan keputusannya gak boleh didasari nafsu ikut tren.
Apalagi dengan dalih “karena BlackRock beli.” Itu sih udah kesalahan berpikir dari awal. Bandingin institusi beda negara, beda misi, beda aturan main, itu kayak bandingin Ferrari sama traktor. Sama-sama kendaraan, tapi fungsinya beda jauh.
Negara itu gak butuh keren, gak butuh viral, gak perlu punya aset paling nyentrik. Negara butuh stabil, dipercaya rakyat dan investor, dan punya pijakan ekonomi yang kuat.
Aku gak bilang Bitcoin itu jelek. Enggak sama sekali. Tapi kita harus jernih: Bitcoin sebagai aset spekulatif beda banget fungsinya dengan Bitcoin sebagai cadangan strategis negara. Kita harus hati-hati banget naruh uang publik. Risiko besar, volatilitas tinggi, dan belum ada preseden yang jelas bikin langkah ini jadi sangat berbahaya kalau dijadikan kebijakan.
Kalau kamu pribadi mau beli Bitcoin? Silakan. Tapi kalau negara yang pegang uang ratusan triliun mau ikutan beli pakai alasan “biar kayak BlackRock” atau “biar rupiah kuat,” nah itu sih logika yang perlu dipertanyakan.
Dan justru karena kita sayang sama negeri ini, kita harus bisa kritik dengan bijak. Gak semua yang kelihatan canggih itu baik buat negara. Jangan sampai karena salah berpikir, uang rakyat yang dikorbankan.
Jadi yuk, kita kritis. Jangan gampang terbuai sama narasi “pahlawan baru” yang seolah bisa menyelamatkan segalanya. Lebih baik pelan tapi aman, daripada ngebut tapi jatuh di tikungan.
Konteks: https://cutt.ly/HrzrKUOo
$IHSG $BTC $BTCIDR