Awan gelap seperti tidak mau buru buru menghilang dari dunia media dan konten.
Setelah perubahan NET-MDTV, efisiensi TVRI-RRI dan PHK di ANTV, beberapa waktu terakhir isu PHK atau layoff berlanjut di sejumlah grup media. Ada yang menyebut, bahwa ini terjadi di semua grup media tanpa terkecuali. Grup Emtek (EMTK-SCMA), grup Kompas Gramedia (Kompas TV dkk), Transmedia (CNN Indonesia-detikcom) hingga MNC Group (MNCN) menghadapi situasi ini. Layoff disebut terjadi mayoritas di divisi pemberitaan/newsroom.
Bahkan, isu layoff ini menyebabkan ucapan perpisahan news anchor Kompas TV dengan program yang digawanginya satu dekade terakhir - lengkap dengan tangisannya - yang sebenernya menjadi hal biasa di televisi (ada program dicut/dihentikan penayangannya), menjadi lebih sentimentil. Meski klaimnya ia saat ini masih tetap di Kompas TV - tapi tidak lagi di program itu, namun situasi geger ini jelas mungkin membuatnya bisa kepikiran juga akan potensi potensi serupa di kemudian hari.
Lalu, bagaimana kita memandang situasi ini? Apakah ini hanya sekadar memang tren penonton berubah? Apakah ini hanya soal tren digitalisasi? Atau ada alasan lain?
Topik serupa pernah saya bahas juga di podcast Cerita Dibalik Duit, bisa didengarkan di s .id/kondisisulitmediakontenplbk
========
Satu yang harus diklarifikasi disini adalah yang potensial kena PHK disini bukan hanya televisi, namun bahkan media berita online pun juga ikut terdampak. Tadi di atas saya sebut media yang juga punya media online kan? Artinya, opini netijen budiman yang mengatakan bahwa ini karena perubahan tren ke digital pun juga menjadi tidak valid. Apalagi dibumbui nyinyiran macam “masih ada yang nonton TV sekarang?” atau “TV di rumah sudah berdebu” atau opini opini serupa.
Saya merasa argumen ini bukan hanya soal tidak empati, karena tidak disampaikan di waktu yang tepat, namun juga menunjukkan ketidakpahaman akan lanskap media dan konsumen di Indonesia. Buat yang ngomong gitu, mungkin kalian sudah punya privileged untuk nonton Netflix dan yang lainnya, selalu terkoneksi dengan sumber informasi dari media sosial. Namun harus disadari bahwa ngga semua orang Indonesia punya kondisi yang seperti ini. Bahkan, untuk punya smartphone dan kuota aja, ada yang masih berjuang dari pagi ketemu pagi untuk beli itu. Televisi, di banyak daerah masih menjadi konsumsi masyarakat. Ini yang membuat saya masih optimis bahwa televisi bisa kuat menghadapi badai tantangan ini.
Kembali ke laptop.
Gelombang PHK ini sebenernya bisa disadari isunya bukan hanya soal digitalisasi semata. Kalau soal ini, kebanyakan media sudah mencoba mengikutinya. Bahkan, masih tetap menuai perhatian khusus di ranah digital, yang terbukti dari engagement dan jumlah followers yang besar yang membuktikan mereka tidak kalah bersaing. Apalagi untuk media berita, dimana tentu ini ranah yang agak sulit dimainkan sepenuhnya oleh influencer, mengingat resources influencer tentu terbatas dan influencer tidak meliput berita - serta bisa mengakses pihak pihak penting, seperti pemerintahan (tentu influencer dimaksud termasuk di luar pendukung atau relawan pemerintahan terpilih *eh). Mereka bisa bikin isu, bisa speak up, tapi mereka kan ngga punya akses ke pemerintahan secara khusus, seperti pers atau media, kan?
Disinilah tentu menjadi keheranan. Mungkin kalau media entertainment (hiburan), memang sudah banyak pesaingnya, sehingga yang ngga bisa mengamankan talent unggul dan ngga punya konsep kreatif yang trendsetter (mendobrak, mencipta tren), maka mereka akan kalah sama influencer. Tapi media berita? Kok bisa kena juga?
Kita kembali ke dasar dasar media berita, entah itu televisi, media online, media sosial, radio, media cetak dsb. Meski sepertinya saya pernah bahas ini di konten saya yang lain, tapi saya coba ulang dan perdalam lagi.
Media berita, atau kemudian saya sebut saja sebagai newsroom, adalah media yang isinya itu serius semua. Hampir ngga ada keriuhan selayaknya media entertainment. Keriuhan yang ada hanya keriuhan argumentasi soal berita yang diangkat harusnya seperti apa dan bagaimana membuatnya menarik pembaca atau penonton. Keseriusannya juga menjalar ke divisi sales atau penjualan mereka, karena ngga mudah untuk jualan konten newsroom yang penontonnya atau pembacanya terbatas dari sisi segmen pasarnya. Meski berita adalah kebutuhan umum, namun dari sisi penjualan segmen pasar newsroom umumnya kelas menengah dan menengah ke atas, segmen berpendidikan dan umumnya berusia matang.
Sementara segmen pasar entertainment adalah semua umur dan semua kalangan. Meski tentu kalau mau diperdalam lagi, segmen pasarnya pun akan dikotak kotakkan lagi sesuai dengan genre konten, tipikal selera penonton atau pembaca dan umur yang sesuai untuk genrenya. Tapi in total, segmen ini bisa menjangkau semua orang, bahkan termasuk segmen pasar newsroom sendiri. Keterbatasan penjualan ini membuat pelaku sales konten newsroom harus kerja keras 2-3x lipat, dan perlu strategi kreatif untuk jualan. Sama seperti media entertainment, pendapatan mereka yang utama adalah iklan. Namun, di newsroom ada alternatif pendapatan lain yaitu subscription atau berlangganan. Hal ini terjadi di media cetak dan mulai diikuti di beberapa media berita online.
Masalahnya, situasi menjadi menantang. Pendapatan iklan tentu akan kecil, karena yang nonton atau baca relatif rendah. Artinya target harus realistis, yang penting jadi nomor 1 dulu atau top 3 minimal. Sementara pendapatan subscription tentu bukan soal mudah diimplementasikan di Indonesia, dan lagi lagi yang melakukan subscription adalah “kaum 1%” (orang berprivileged tadi). Sementara dengan situasi ini beban bisnis harus seefisien mungkin, terutama optimalisasi sumber daya manusia alias kebutuhan jumlah karyawannya. Tapi, masalahnya, pers atau newsroom ngga bisa terlalu efisien banget, mengingat ada yang disebut sebagai etika dan level di newsroom yang harus dipatuhi.
Etika dimaksud misalnya adalah tidak boleh ada 1 orang jadi 10 jabatan, jadi reporter, jadi kameramen, jadi produser, jadi editor, jadi koordinator peliputan dsb, seperti layaknya tim influencer atau content creator. Setiap jabatan, setiap level harus diisi 1 orang. Selain memastikan pemberitaan sudah aman dan terseleksi/fact check di tiap level jabatan, hal ini memastikan setiap fungsi bekerja secara independen untuk memutuskan angle/perspektif berita yang diangkat seperti apa. Belum lagi, di televisi misalnya, ada kewajiban siaran lokal oleh biro daerah setempat dan ini tentu menambah jumlah pekerja. Yang lain, karena menjangkau seluruh Indonesia, sehingga kehadiran reporter dan kontributor banyak pun harus dilakukan. Karena semua hal tersebut, menyebabkan jumlah personil newsroom menjadi “lebih banyak” dibandingkan personil di entertainment.
Situasi ini, tentu berpotensi menciptakan inefisiensi. Akhirnya sejumlah cara pun dilakukan, misalnya dengan status kontributor (peliputan berita di daerah daerah yang tidak terjangkau) yang freelance dan dibayar dengan dikalikan jumlah berita, misalnya. Kontributor ini bisa menyuplai berita juga untuk newsroom lain, sehingga ini membuat newsroom bisa membayar agak murah dengan asumsi bahwa ada “subsidi” dari kompetitornya. Cara ini cukup lumrah dilakukan. Namun media media ini, newsroom tetap mempertahankan kehadiran mereka di kota kota besar di Indonesia dengan organisasi redaksi atau newsroom yang khusus untuk lokal setempat, mengingat ada unsur ekonomi di dalamnya, melalui potensi pendapatan iklan lokal, misalnya.
Selain sejumlah hal tadi, newsroom juga bekerja sama dengan tim sales dan marketing untuk mengelola event atau acara acara yang berpotensi menghasilkan uang. Event ini misalnya acara konser, panggung budaya, talkshow/seminar, olahraga hingga acara penghargaan. Event event ini biasanya bisa mengundang sponsor dan bahkan event tersebut bisa “dibook” oleh pihak tertentu, termasuk pemerintah sebagai salah satu klien terbesar newsroom. Event event inilah yang menjadi sumber pendapatan lainnya.
Apa yang terjadi di media media tersebut sekarang adalah kombinasi antara masalah pendapatan iklan, akibat situasi ekonomi saat ini plus sejumlah pengiklan mulai memotong belanja iklan, dengan efisiensi yang sudah semaksimal mungkin tapi masih menyebabkan masalah keuangan, dan masalah klien terbesar media berita, yaitu pemerintah yang melakukan efisiensi. Mungkin ada yang agak heran dengan yang terakhir, kok bisa?
Bagi media media yang teraffiliasi dengan MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition alias event, meeting dan pameran) maupun hotel, seperti grup Kompas Gramedia dengan Santika-Amaris dan ICE BSD (ini bersama Sinarmas), efisiensi pemerintahan Presiden Prabowo menyebabkan event dan hotel tertekan. Ini di luar kenyataan bahwa jumlah hotel sudah oversupply (kelebihan permintaan, setelah dikurangi order pemerintah) di sejumlah tempat yang memperburuk keadaan. Situasi ini menyebabkan “subsidi silang” tidak terpenuhi. Sementara, event event jualan media tersebut pun juga tidak banyak yang bisa didukung pemerintah lagi, sehingga membuat perolehan pendapatan bisa jadi lebih rendah lagi.
Akhirnya jalan yang ditempuh pun sulit. Efisiensi minimal ya, dengan mengurangi produksi program atau konten, seperti yang dilakukan stasiun TV berita, yang mulai banyak program rerun/ulangan. Pucuk pimpinan/level pun juga mulai dikurangi dan resources yang ada pun dimaksimalkan, dengan seminimal mungkin rekrut orang baru. Berikutnya memaksimalkan pendapatan lain lain, seperti monetisasi YouTube atas konten konten mereka dan ikut dalam gelombang affiliate yang berkembang, dimana konten mereka pun disusupi barang barang e-commerce. Upaya memaksimalkan pendapatan inilah, yang nampaknya membuat, misalnya, Metro TV membuat program Meet Nite Live yang viral di media sosial itu. Meski sampai sekarang belum ada tanda penambahan jumlah hari tayang di televisi - nampaknya faktor efisiensi, dimana masih tayang 2 kali seminggu, namun konten mereka yang viral itu jelas bisa menambah monetisasi di Youtube dan potensi sponsor di kemudian hari. Pola yang sebelumnya dilakukan juga oleh program entertainment, seperti Lapor Pak.
Sampailah di jalan terakhir yang dibenci para budak korporat, termasuk para jurnalis yang juga memberitakan fenomena ini - PHK. Ini cara efisiensi yang mungkin dampaknya paling besar, tapi paling kelihatan secara keuangan.
Ngerti ya sekarang netijen, bahwa isunya bukan soal pindah ke dunia digital semata.
Yah, memang pada akhirnya media dan konten kedepannya akan bekerja dengan efisiensi terbaiknya. Ngga bisa seperti media sosial sih, dimana 1 orang merangkap jadi semuanya (seperti saya wkwkwk), namun mereka akan punya pola dan organisasi yang cenderung unik dengan mengedepankan efisiensi, sesuai dengan kondisi masing-masing pemain yang ada. Sisanya, tentu kita berharap perbaikan ekonomi akan bisa terjadi, karena sektor ini sangat bergantung pada kondisi ekonomi yang baik dan ekspansif. Begitu.
Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi, serta Twitter/X @plbkinvestasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.
$SCMA $MNCN $NETV
1/2