Apakah Rakyat Indonesia Akan Jadi Kelinci Percobaan Lagi?
Tadi baru baca berita yang di Share salah satu user Stockbit di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Mari kita mulai dari judul bombastis yang bikin kening berkerut: “RI Bakal Jadi Tempat Uji Coba Vaksin TBC Besutan Bill Gates.” Di satu sisi, terdengar seperti kebanggaan—negara kita dipercaya jadi lokasi riset global, digandeng langsung oleh salah satu filantropis paling terkenal sedunia. Tapi di sisi lain, bau-bau “kelinci percobaan” juga langsung tercium, apalagi kalau kita ingat betapa seringnya negara berkembang dijadikan ajang eksperimen dengan dalih “bantu kesehatan masyarakat.” Kali ini giliran Indonesia. Lagi-lagi, kita menyodorkan tubuh rakyat sebagai test-bed. Bedanya sekarang, bukan buat cari minyak atau rempah, tapi buat validasi vaksin. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Presiden Prabowo menyampaikan bahwa Bill Gates akan menguji coba vaksin TBC di Indonesia. Vaksin ini disebut sebagai upaya global melawan tuberkulosis, penyakit yang masih merenggut sekitar 100 ribu nyawa setiap tahun di Indonesia. Itu jumlah yang luar biasa besar, bahkan lebih tinggi dari kematian akibat kecelakaan atau beberapa jenis kanker. Tentu saja, secara epidemiologi, Indonesia memang termasuk endemik TBC. Jadi secara logika medis, kita memang cocok jadi tempat uji coba. Tapi cocok secara statistik, belum tentu cocok secara etika dan geopolitik.
Uji coba vaksin adalah proses ilmiah yang panjang. Harus melewati pra-klinis, fase 1 (uji keamanan), fase 2 (dosis dan respons imun), hingga fase 3 (uji efikasi pada populasi besar). Kalau uji coba yang dimaksud adalah fase akhir, artinya vaksin sudah dianggap cukup aman dan tinggal lihat seberapa efektif. Tapi... kalau masih di fase awal? Maka kita bisa berdebat keras soal risiko. Dan karena belum ada penjelasan detail dari Kementerian Kesehatan tentang fase mana yang dimaksud, kita dipaksa berspekulasi. Dan setiap kali Indonesia diminta uji coba sesuatu, pertanyaannya selalu sama: siapa yang benar-benar mengendalikan protokol? Siapa yang pegang data? Siapa yang dapat paten dan cuan? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Bill Gates memang terkenal dengan bantuan kemanusiaannya lewat Bill & Melinda Gates Foundation. Tapi bantuannya bukan tanpa agenda. Vaksin, kesehatan, pangan, bahkan digital ID—semuanya ada dalam portofolio yayasan tersebut. Kita tentu berterima kasih atas niat baik dan hibah USD 159 juta (sekitar Rp2,5 Triliun), tapi kita juga tidak bisa buta pada fakta bahwa kekuatan modal bisa mempengaruhi arah kebijakan. Dan Indonesia seringkali terlalu manis menerima “bantuan,” padahal belum tentu kita yang untung paling besar.
Lalu bagaimana sisi optimisnya? Kalau memang ini adalah kolaborasi sejajar, ini bisa jadi momentum emas. Indonesia butuh terobosan TBC. Vaksin BCG yang sudah puluhan tahun dipakai belum cukup efektif mencegah TBC dewasa. Sistem deteksi dini kita masih lemah. Stigma terhadap penderita TBC juga tinggi. Jadi kalau ada vaksin baru yang terbukti lebih manjur, dan kita dapat akses awal, maka ini berkah. Tapi akses awal harus jelas: bukan sekadar “uji coba gratis, lalu selesai tanpa hasil.” Harus ada transfer teknologi, pembagian data klinis, dan jaminan bahwa Indonesia bukan hanya pasar uji coba, tapi juga produsen dan pengguna utama vaksin ini.
Kita juga harus bicara soal regulasi. Apakah BPOM siap mengawasi proses ini dengan ketat? Apakah etikanya disetujui oleh komite etik lokal? Apakah masyarakat yang ikut uji coba mendapatkan kompensasi dan perlindungan hukum? Ini bukan cuma soal suntik-suntikan. Ini soal kepercayaan publik. Dan dalam era informasi seperti sekarang, satu kesalahan bisa memicu teori konspirasi berantai yang mengacaukan seluruh program vaksinasi.
Sementara itu, para pejabat tersenyum di depan kamera saat menyambut Bill Gates di Istana—lengkap dengan jajaran menteri dan staf presiden. Tapi senyum mereka harus dibarengi dengan transparansi. Jangan sampai publik cuma dikasih headline, tanpa tahu apa isi dokumen kerja samanya. Kalau rakyat jadi subyek riset, rakyat juga berhak tahu detailnya. Bukan cuma elite yang diundang makan siang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jadi apakah Indonesia jadi kelinci percobaan? Jawabannya: tergantung. Bisa iya, bisa tidak. Kalau semua dikendalikan asing, tanpa kendali dan keuntungan jangka panjang untuk kita, maka ya, kita cuma jadi kelinci. Tapi kalau pemerintah berani pasang posisi tawar, atur main, dan pastikan rakyatnya terlindungi serta dilibatkan dalam hasil, maka kita bisa ubah peran dari kelinci jadi partner riset global.
Masalahnya, sejarah belum banyak berpihak pada skenario kedua. Jadi pesimis? Wajar. Optimis? Boleh—asal tetap kritis. Karena dalam dunia global, yang “gratis” jarang benar-benar gratis. Kalau kita tak hati-hati, bisa-bisa vaksin selesai, penyakit belum tentu sembuh, tapi data dan patennya sudah diam-diam dibawa pulang.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$KLBF $TSPC $PRDA
1/10