Valuasi Dua Arah: Dari Graham, Reverse DCF, hingga Forward Thinking

Saya pertama kali mengenal The Intelligent Investor karya Benjamin Graham sebagai bacaan wajib untuk memahami nilai intrinsik. Tapi jujur, beberapa bagian buku itu terasa berat dan terkesan 'jadul'. Hingga suatu hari, saya terjebak cukup lama di satu kalimat Graham:

"In the short run, the market is a voting machine. But in the long run, it is a weighing machine."

Kalimat ini menancap di kepala. Apakah harga saham hari ini adalah suara (opini) atau bobot (nilai)? Dari sinilah saya mulai mengeksplorasi pendekatan yang menghubungkan masa lalu, ekspektasi pasar hari ini, dan kemungkinan masa depan. Salah satunya: Reverse DCF.


Apa Itu Reverse DCF?

Jika DCF tradisional mengasumsikan pertumbuhan dan mendiskonto ke masa kini untuk mendapatkan nilai wajar, maka Reverse DCF menempuh arah sebaliknya: mengambil harga pasar saat ini dan menghitung mundur berapa pertumbuhan yang diharapkan pasar agar harga itu masuk akal.

Metode ini menjawab pertanyaan penting:

"Dengan harga saham sekarang, apa ekspektasi pasar terhadap masa depan perusahaan ini?"

Itulah kekuatannya — membongkar narasi pasar dari dalam angka. Reverse DCF bukan soal mencari kepastian, melainkan soal membingkai ulang narasi pasar sebagai hasil dari perhitungan tersembunyi.


Dari Excel ke Ruang Rapat

Saya membayangkan para eksekutif di ruang rapat, menatap layar berisi grafik valuasi. Mereka tahu:

Harga saham hari ini lebih merupakan cerminan ekspektasi pasar terhadap masa depan, bukan sekadar warisan dari kinerja masa lalu.

Momen itulah ketika fair value bukan lagi tujuan akhir — melainkan titik awal dari tanggung jawab. Investor, analis, bahkan manajemen sendiri harus sadar bahwa harga pasar menyimpan pesan tersirat: harapan, keraguan, bahkan tekanan.


Contoh Nyata: ICBP vs UNVR

Untuk memperjelas bagaimana pendekatan dua arah ini bekerja dalam praktik, mari kita bandingkan dua emiten besar, $ICBP (Indofood CBP Sukses Makmur Tbk) dan $UNVR (Unilever Indonesia Tbk), yang pada harga sahamnya tergambar harapan dan keraguan pasar.

Awal Mula: Bintang Sektor Konsumer

Di awal 2010-an, keduanya — ICBP dan UNVR — sama-sama dianggap sebagai bintang konsumsi defensif. Saham mereka banyak dipilih karena stabilitas, pangsa pasar besar, dan citra perusahaan kuat.

Tapi arah keduanya mulai berbelok.


ICBP: Konsistensi di Tengah Krisis

ICBP selama dekade terakhir menunjukkan pertumbuhan pendapatan yang stabil. Dengan lini produk seperti Indomie dan Pop Mie, perusahaan ini tetap relevan bahkan saat daya beli menurun. Saat pandemi melanda, ICBP justru mencetak pertumbuhan laba dan ekspansi bisnis ke luar negeri melalui akuisisi Pinehill.

Valuasi?

ICBP tidak pernah dihargai murah, tetapi juga tidak terlalu overvalued. Pasar menaruh harapan wajar atas pertumbuhan 5%–7% per tahun — dan perusahaan membuktikannya.


UNVR: Ketika Moat Tak Lagi Menjamin

UNVR pernah menyentuh harga Rp8.575 per saham. Dengan margin laba tinggi, produk yang dominan di pasar, dan reputasi global, banyak yang percaya ini saham “tanpa risiko.” Tapi pasar berubah. Konsumen bergeser ke produk lokal yang lebih murah, margin menipis, dan pertumbuhan stagnan.

FCF UNVR:

2020 Rp7,7 T

2023 Rp6,3 T

2024 Rp2,9 T


Harga saham kini hanya Rp1.790, turun 78% dalam 5 tahun. Pasar tidak hanya “mem-vote”, tapi juga memberi “bobot” baru atas ekspektasi masa depan UNVR.


Reverse DCF: Apa yang Dipercaya Pasar?

Berdasarkan perhitungan Reverse DCF, jika pertumbuhan FCF UNVR hanya berkisar 2%–3% per tahun selama 10 tahun ke depan, valuasi saat ini sebesar Rp 68,3 triliun tidak akan tercapai. Agar setara dengan valuasi pasar saat ini, UNVR perlu tumbuh sekitar 7% FCF CAGR selama 10 tahun.

Pertanyaannya adalah: Apakah asumsi pertumbuhan 7% FCF CAGR selama 10 tahun ke depan masuk akal, mengingat tren FCF yang justru menurun drastis dari Rp 7,7 triliun ke Rp 2,9 triliun (2020–2024)? Ini merefleksikan keraguan besar pasar terhadap kemampuan manajemen UNVR mengembalikan pertumbuhan.

Sementara untuk ICBP, di harga sekarang, pasar mengimplikasikan pertumbuhan konservatif yang masih positif. Dan itu masih sesuai dengan data historis mereka.


Pelajaran dari Valuasi Dua Arah

ICBP dan UNVR menunjukkan dua sisi mata uang dari narasi valuasi:
✓ ICBP: Harga yang mencerminkan pertumbuhan realistis, dan perusahaan yang memenuhinya.

✓ UNVR: Harga yang dulu penuh harapan, tapi kini mencerminkan pesimisme tajam — dan angka FCF terakhir seakan membenarkannya.

"Valuasi bukan sekadar hitungan, tapi cermin kolektif dari harapan dan kekecewaan."


Langkah-Langkah Reverse DCF (Studi Kasus UNVR)

Tujuan: Menjawab pertanyaan, “Dengan harga saat ini, berapa pertumbuhan FCF yang diasumsikan pasar?”


Input Data

Harga saham saat ini: Rp 1.790

Jumlah saham beredar: 38,15 miliar (asumsi publik, bisa dicek di laporan tahunan)

Market cap: Rp 68,3 triliun

FCF terakhir (2024): Rp 2,9 triliun

Horizon: 10 tahun

Terminal Growth: 2%

Discount Rate: 10%


Langkah Reverse DCF

✓ Tentukan Market Cap / Enterprise Value sebagai acuan: Rp 68,3 triliun

✓ Gunakan rumus DCF terbalik untuk mencari tingkat pertumbuhan FCF yang membuat nilai sekarang = market cap.

Iterasi (manual atau pakai solver Excel): Cari tingkat pertumbuhan tahunan (g) di mana:
NPV = t=1∑10​ FCFt/(1+r)t + FCF10​×(1+gterminal​)​/(r−gterminal​)(1+r)10

dengan FCFt​ = FCF2024​ × (1+g)t


Hasil Sementara (asumsi iteratif kasar):

Jika pertumbuhan FCF = 2%–3% per tahun, valuasi tidak mencapai Rp 68,3 triliun. Agar setara dengan valuasi pasar saat ini, UNVR perlu tumbuh sekitar 7% FCF CAGR selama 10 tahun.

Pertanyaannya: Apakah asumsi pertumbuhan 7% FCF CAGR selama 10 tahun ke depan masuk akal? Mengingat tren FCF justru menurun drastis dari Rp 7,7 triliun ke Rp 2,9 triliun (2020–2024).


Langkah-Langkah Forward DCF (Studi Kasus ICBP)

Tujuan: Mengestimasi nilai wajar ICBP berdasarkan proyeksi ke depan.

Input Data

FCF 2023: Rp 9,3 triliun

Pertumbuhan FCF konservatif: 7% CAGR

Horizon: 10 tahun

Terminal Growth: 3%

Discount Rate: 10%

Jumlah saham: 11,6 miliar


Langkah Forward DCF
✓ Proyeksi FCF 10 tahun ke depan dengan 7% growth:
FCFt​ = FCF2023​ × (1+0.07)t

✓ Diskonto semua FCF dan tambahkan terminal value:
NPV = 10∑t=1 FCFt/(1+0.10)t + FCF10​×(1+0.03)​/(0.10−0.03)(1+0.10)10

✓ Hitung nilai wajar per saham:

Fair Value = NPV/Jumlah Saham


Hasil Sementara:

NPV total: Sekitar Rp 125 triliun – Rp 140 triliun

Nilai wajar per saham: Rp 10.700 – Rp 12.000

Bandingkan dengan harga pasar saat ini (misal: Rp 11.000), valuasi ICBP terlihat lebih wajar atau sedikit premium tergantung asumsi pertumbuhan.


Kesimpulan Valuasi Dua Arah

✓ UNVR (Reverse DCF): Harga pasar tampak terlalu optimis jika dibandingkan dengan penurunan FCF nyata dan ekspektasi pertumbuhan yang tersirat sangat tinggi.

✓ ICBP (Forward DCF): Valuasi saat ini sejalan atau sedikit undervalued dibandingkan potensi FCF ke depan dengan asumsi pertumbuhan konservatif.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy