Is Indonesia’s Economy Doing Well?

It’s arguably one of the most talked-about questions in 2025 — and for good reason. Berbagai indikator pelemahan daya beli mulai bermunculan, belum lagi memperhitungkan dampak dari trade war.

Counting down the hours to Indonesia’s 1Q25 GDP release, I’ve compiled some observations (both micro and macro) to try and illustrate the current state of Indonesia.

Early disclaimer: Post ini merupakan pendapat pribadi. Meskipun membahas emiten, post ini tidak bertujuan untuk fokus ke kinerja/outlook masing-masing emiten.

----------------------------------------------------------------------

⬛ Spending Slows — Even on the Basics
Secara umum, sektor consumers menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat melalui: 1) Pertumbuhan laba bersih di bawah ekspektasi dan 2) Pergeseran dari impulse dan middle-up purchases ke kebutuhan yang lebih esensial dan terjangkau.

Pertumbuhan laba bersih di bawah ekspektasi – Kinerja 1Q25 mayoritas emiten consumer goods menunjukkan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih yang relatif lemah. Pelemahan ini tidak hanya terjadi secara tahunan, tetapi juga relatif lemah dibandingkan pola seasonality dua tahun terakhir. Emiten yang mencatat laba bersih di atas ekspektasi, seperti $UNVR dan $CMRY, didukung oleh perbaikan margin, bukan karena lonjakan pendapatan yang melampaui perkiraan. Di sisi lain, emiten sektor retail secara umum mengalami pertumbuhan pendapatan yang cukup baik dibandingkan dua tahun sebelumnya (kecuali MAPI). Namun, ACES mengalami penurunan laba bersih akibat tertekannya margin laba usaha.

Pergeseran dari impulse dan middle-up purchases – Konsumen mulai menunjukkan kecenderungan untuk menghindari impulse purchases atau pembelian barang di level middle-up demi memprioritaskan “essentials”. Salah satu contohnya adalah pertumbuhan pendapatan CMRY yang didorong segmen consumer food (sosis, nugget, bakso) bertumbuh +31% YoY, sementara segmen dairy (susu, yogurt) malah terkontraksi -12% YoY. Perlu diingat, bagi orang Indonesia, susu dan yogurt – apa lagi mengingat price point CMRY – bukan pembelian essential. Behavior ini kemungkinan juga tercermin dalam kinerja sektor ritel middle-up (ACES, MAPI) dengan results di bawah ekspektasi, sementara sektor ritel yang cenderung middle-low ($LPPF, RALS) justru mencatat pertumbuhan tinggi. Namun, hal ini juga dapat dipengaruhi oleh pergeseran seasonality lebaran.

⬛ Consumers Pause on Big Purchases
Di luar kebutuhan pokok, masyarakat tampak menahan "big purchases", tercermin melalui: 1) Marketing sales di sektor properti dan 2) Pembelian mobil/motor.

Marketing Sales (Properti) – Marketing sales selama 1Q25 cenderung lebih lemah dibandingkan rata-rata pencapaian kuartal pertama dalam tiga tahun terakhir. Relatif lemahnya capaian ini terjadi meskipun sejumlah emiten telah menetapkan target yang konservatif untuk tahun 2025. Padahal, insentif PPN DTP 100% masih berlaku hingga Juni 2025 — insentif yang sebelumnya hanya tersedia pada 2024. Sebagai perbandingan, insentif PPN DTP pada 2022 hanya menanggung 50% PPN, sementara pada 2023 baru tersedia di akhir tahun.

Penjualan Otomotif – Penjualan Otomotif pada 1Q25 secara seasonality tampak selaras dengan target tahunan, dengan capaian sekitar 23–27% untuk mobil dan 25–26% untuk motor. Namun, perlu diingat bahwa target mobil dan motor tahun 2025 cukup konservatif. Target penjualan mobil di range 750–900 ribu unit (nilai tengah 825.000), dibandingkan target 850 ribu unit pada 2024. Sementara itu, target motor memang naik secara moderat dari realisasi 6,3 juta menjadi 6,4–6,7 juta.

⬛ Cautious Signals from the Macro Front
Dari sisi makro, beberapa indikator yang dapat menggambarkan pelemahan mencakup sinyal dari consumer-side dan business-side, mencakup: 1) Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), 2) Indeks Penjualan Ritel (IPR), 3) Purchasing Manager’s Index (PMI), dan 4) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) – IKK turun tajam dari 124,3 di Februari menjadi 121,1 pada Maret — penurunan drastis menjelang periode Lebaran, yang biasanya lebih optimistis. Semua komponen mengalami penurunan, terutama Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja (IEKLK), Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK), dan IEKU (Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha). IPDG (Indeks Pembelian Barang Tahan Lama) juga menurun -3,1% MoM.

Indeks Penjualan Riil (IPR) – Pertumbuhan IPR turut melambat menjadi +0,55% YoY, padahal periode menjelang Lebaran biasanya mendorong kenaikan permintaan ritel. Secara historis, IPR akan meningkat menjelang Lebaran. Sebagai konteks, pertumbuhan yang rendah dan bahkan negatif pada April 2023 dan 2024 terjadi seiring pergeseran seasonality Lebaran (Lebaran 2021: 12–13 Mei 2021, Lebaran 2022: 1–2 Mei 2022, Lebaran 2023: 21–22 April 2023, Lebaran 2024: 9–10 April 2024, Lebaran 2025: 30–31 Maret 2025).

Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur – Indonesia mencatatkan penurunan PMI paling dalam sejak Agustus 2021 ke level 46,7 (vs. Mar 2024: 52,4), di mana level di bawah 50 menunjukkan kontraksi manufaktur.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan bahwa pihaknya mencatatkan pekerja yang terverifikasi PHK selama 3M25 sebanyak 49.843 orang. Jika memperhitungkan pekerja yang sedang menjalani pemeriksaan (belum terverifikasi), jumlah PHK 3M25 diperkirakan mencapai 60.000 orang. Sementara itu, Kemenaker mencatatkan pekerja yang mengalami PHK selama 2M25 sebanyak18.610 orang (vs. 2M24: 7.694 orang). Angka ini sudah setara ~23% dari PHK sepanjang 2024 sebanyak 77.965 orang. Sebagai konteks, Iqbal mengatakan bahwa data ini pasti berbeda dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) karena KSPI mengumpulkan data lapangan/serikat buruh, sementara Kemenaker tidak.

----------------------------------------------------------------------

Data sejauh ini menunjukkan tren yang jelas: konsumsi melemah di berbagai lapisan ekonomi — mulai dari kebutuhan pokok, properti, otomotif, hingga indikator makro secara umum. Meskipun belum mengarah ke krisis, ini menjadi sinyal bahwa permintaan domestik mulai tertekan, dan sentimen mengarah ke cautious instead of optimistic.

However, let’s wait and see for 1Q25 GDP results and any optimistic catalysts for a turnaround. Cheers!

Read more...

1/4

testestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy