$ANTM $BBRI $BMRI 

"Aset BUMN yang Low Value"

Era periode Jokowi berkuasa, memang terjadi peningkatan Asset BUMN yang sangat tinggi. 

Tahun 2013, Asset BUMN sudah sebesar Rp. 4557 Triliun.

Tahun 2025 sudah menjadi Rp. 14.670 Triliun.

Meningkat menjadi 3 (tiga) kali lipat lebih. Itu memungkinkan karena Likuiditas melimpah dan suku bunga yang rendah. "Tempalah besi selagi panas". Teruslah tambah Asset selagi kesempatan berutang masih ada.
Tentu prosesnya kurang transparan dan tidak akuntabilitas.
Dilaksanakan dengan perencanaan yang tidak berkualitas. Soal Laba, engga begitu peduli. Value, engga dipikirkan.

Dengan Asset BUMN per tahun 2024 sudah mencapai Rp. 10.950 Triliun. Tapi hanya menghasilkan Laba sebesar Rp. 304 Triliun.
Return on Asset atau tingkat pengembalian atas Asset hanya sebesar 2,7%. 
Dan lagi, Asset sebesar itu tidak didapat dari Laba yang dikumpulkan, tetapi dari penambahan utang.
Laporan konsolidasi utang BUMN mencapai Rp6.957,4 Triliun ( 2024). Dengan Debt to Asset Ratio (DAR) sebesar 64%. Itu artinya, lebih dari separuh Asset tersebut berasal dari utang.

Sangat tidak efisien. Udah pasti sulit dikatakan bisa bersaing secara global dengan industry sejenis.
Padahal BUMN itu berdiri dengan misi Agent of Development. Diawasi dan dikawal langsung oleh elite partai atau ring kekuasaan sebagai Komisaris Utama. 
Didukung fasiltas Business yang Secure. Mendapat modal tunai dari Negara lewat APBN.  Market yang monopoli. Akses ke Perbankan untuk Pembiayaan. Para Direksi yang Well Educated.

Mangkanya engga kaget, bila selama 10 (sepuluh) tahun kekuasaan Jokowi, uang APBN lewat PMN yang digelontorkan kepada BUMN mencapai Rp.226 Triliun tersebut sebagian besar digunakan untuk bayar utang.
Itu belum termasuk dana kompensasi PSO kepada Pertamina dan PLN yang mencapai ratusan Triliun. Kalau engga begitu, utang tidak bisa dibayar. 
Belum lagi Perbankan BUMN yang kalau tidak didukung skema Macroprudential lewat Repoline dengan BI, maka praktis sulit untuk melaksanakan fungsi Intermediary-nya. Karena Likuiditas yang sedang kering.

Jadi apa artinya ?
Asset besar BUMN yang dibanggakan CEO Danantara itu, tidak punya Value untuk di-Leverage dalam skema apapun.
Malah justru menimbulkan Moral Hazard dengan menguras uang APBN.
Apa pasal ? Memang Business Model BUMN bukan bertujuan Business as Usual.
Tidak berorientasi kepada Profit Oriented. Bukan sebagai Resource Revenue bagi Negara tetapi di-Design sebagai Resource bagi Elit Politik untuk memenuhi pundinya.
Tentu bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan dan membayar loyalitas kepada Ring Kekuasaan dan bagi oligarki yang sudah ongkosi Pemilu.

Saya tidak mengerti apa yang dibanggakan Danantara terhadap Asset yang hampir 2/3 berupa utang ini.
Tanpa proses Rasionalisasi secara Structural, Asset itu akan semakin "tergerus" oleh Beban Bunga dan Cost of Maintenance.
Moga tidak terjebak dalam skema Leverage Buy Out. Dimana Asset yang didapat secara inbreng dari BUMN dijual untuk dapatkan 30% Cash Equity, sehingga punya akses pembiayaan Bank lewat skema Non Recourse Loan sebesar 100%.
Memang Leverage (Debt to Equity Ratio) terjadi 3 (tiga) kali namun pasti tidak efisien dan menimbulkan Moral Hazard. Mengapa ?

Karena proses penjualan Asset BUMN menjadi uang tunai itu tidak mudah, karena  Danantara tidak bisa melepas Asset BUMN tanpa izin Pemegang Saham seri A dan itu prosesnya akan melibatkan DPR dan pasti diawasi BPK dan KPK.
Belum lagi akan sangat sulit menjaga disiplin standar kepatuhan lelang asset. Maklum, Asset jumbo itu mengundang mafia lelang yang pasti terhubung dengan Broker Elite dan Lingkaran Istana. Sangat mudah untuk terjadi skandal. Mega Skandal !

Sumber :

https://babo.lentera.biz/2025/04/aset-bumn-yang-low-value.html?fbclid=IwY2xjawKCQ1BleHRuA2FlbQIxMQBicmlkETBybGtqTTFTbjJMcDVvMThVAR5oqSIC4aADXOY8qWpiSFND6lPNG6mmwuhD-6d7V9mKUZdU0e0hL4jYhjWciQ_aem_FdH-byhMoMCl8xWIYvUtvQ

Terima kasih sudah membaca.