$DMAS Back To Basic Sebagai Dividend Investing Stock?
Request dari user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Buat para investor dividen yang sudah cukup lama nongkrong di BEI, nama PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) itu dulu bisa dibilang semacam "mesin ATM tahunan"—rajin setor dividen, payout tinggi, dan kas-nya tebal banget. Dari 2015 sampai 2023, DMAS rutin bagi dividen tiap tahun, kadang kecil, kadang besar, tapi selalu ada. Stabil dan konsisten, dua kata yang bikin investor dividen betah. Tapi mendadak di 2024 mereka stop. Nol. Gak ada pembagian dividen sama sekali. Buat banyak orang itu bikin kaget, karena perusahaan yang sebelumnya identik dengan pembagian kas tahunan tiba-tiba “puasa” tanpa pengumuman panjang lebar. Padahal di 2023, DMAS tetap mencetak laba dan punya kas gede. Maka wajar kalau waktu itu muncul berbagai spekulasi—dari mulai mereka mau ekspansi besar-besaran, sampai isu bahwa ada masalah fundamental di dalam. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Tapi kejutan justru datang lagi di 2025. Setelah satu tahun hilang dari radar investor dividen, DMAS tiba-tiba muncul dan ngumumin pembagian dividen tunai sebesar Rp1,4 Triliun. Kalau dibagi ke jumlah saham beredar, berarti investor akan terima Rp29 per saham. Dengan harga saham per 1 Mei 2025 di Rp174, yield-nya tembus 16,7%. Dan yang bikin heboh, dividen ini setara 98% dari laba bersih Q1 2025 yang kalau diannualkan jadi Rp1,42 Triliun. Itu artinya, nyaris seluruh untungnya dibagikan—tanpa potong-potong, tanpa ditahan, langsung setor ke pemegang saham.
Tapi di sinilah investor harus hati-hati. Pembagian dividen gede bukan selalu tanda kekuatan. Kadang justru bisa jadi upaya “bikin tenang” setelah tahun sebelumnya gak setor apa-apa. Yang perlu diperhatikan bukan cuma berapa yang dibagi, tapi apakah uang yang dibagi itu sustainable atau cuma sekali lewat. DMAS di Q1 2025 memang cetak angka yang lumayan kinclong. Revenue Rp508 Miliar, net profit Rp355 Miliar, net margin 70%—gak masuk akal untuk perusahaan properti biasa, tapi wajar buat DMAS yang jualan lahan ke perusahaan besar, bukan jual rumah tipe 36. Tapi kalau kita bongkar lebih dalam, revenue itu datang dari hanya tiga klien: STT GDC Indonesia, Templemore Real Estate, dan Kawanishi Warehouse. Mereka bertiga nyumbang 95% pendapatan. Jadi kalau tahun depan salah satu dari mereka gak beli, atau batal ekspansi, pendapatan bisa jeblok. Dan kalau pendapatan jeblok, ya gak mungkin bisa bagi Rp29 per saham lagi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Free cash flow (FCF) di Q1 juga besar: Rp343 Miliar. Kalau dikalikan empat, total FCF setahun bisa tembus Rp1,37 Triliun—cukup buat bayar dividen Rp1,4 Triliun, dengan sedikit bantuan dari kas. Dan DMAS punya kas tebal: Rp2,12 Triliun per Maret 2025. Jadi dividen Rp1,4 Triliun masih bisa ditutup dengan aman, dan masih ada sisa Rp700 Miliar buat jaga-jaga. Tapi kalau FCF di Q2–Q4 anjlok 30% aja, maka total FCF cuma Rp1,06 Triliun. Artinya, mereka bakal mulai ngambil dari kas buat bayar dividen penuh. Itu bukan akhir dunia, tapi kalau dilakukan dua-tiga tahun berturut-turut, maka kas bakal mulai terkikis. Dan kalau itu kejadian, investor gak cuma kehilangan yield, tapi juga kehilangan kepercayaan.
Inventory DMAS juga menarik untuk dicermati. Nilainya hampir Rp5 Triliun, alias 58% dari total aset mereka. Tapi dari jumlah itu, tanah siap jual cuma Rp2 Miliar—sisanya masih belum dikembangkan atau masih dalam proses. Artinya, mereka harus ubah inventory jadi lahan siap jual sebelum bisa hasilkan pendapatan. Dan proses itu nggak segampang sulap. Butuh perizinan, butuh biaya pengembangan, dan—karena ini Indonesia—sering juga butuh “negosiasi sosial” dengan ormas, warga sekitar, dan pemangku kepentingan lokal. Jadi kalau kamu pikir semua lahan itu bisa dijual kapan saja, mungkin kamu terlalu optimis.
Tapi yang bikin DMAS tetap menarik adalah valuasinya. Dengan harga saham Rp174 dan laba setahun diproyeksikan Rp1,42 Triliun, PER-nya cuma 5,9x. PBV-nya 1,11x. Dan hasil valuasi DCF konservatif menunjukkan nilai wajarnya di kisaran Rp387 per saham. Bahkan kalau kita asumsikan kondisi super pesimis—gak ada pertumbuhan, risiko tinggi, dan FCF stagnan—valuasi masih di Rp236. Artinya, margin of safety-nya masih lumayan gede. Tapi tetap, harga wajar hanya bisa tercapai kalau DMAS bisa konsisten jual lahan dan jaga margin tinggi. Tanpa itu, valuasi premium bakal luntur. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jadi DMAS ini mirip mantan pacar yang dulu royal banget, sempat hilang tanpa kabar, lalu tiba-tiba balik bawa hadiah mahal. Kamu senang, tapi juga harus waspada. Jangan buru-buru percaya kalau dia bilang "aku udah berubah." Kamu harus lihat konsistensinya. Kalau Q2–Q4 2025 mereka tetap cetak untung tinggi, tetap punya klien besar, dan inventory mulai dikonversi ke revenue, maka DMAS bisa balik jadi salah satu saham dividen terbaik di Indonesia. Tapi kalau semua ini cuma episode sekali bayar besar karena tekanan pasar atau sekadar tebus dosa setahun lalu, maka dividen Rp29 tahun ini bisa jadi perpisahan manis sebelum kembali ke era tanpa setor tunai. Sebagai investor dividen, kamu harus tahu: dividen itu bukan cuma soal dibayar—tapi soal bisa dibayar lagi, dan lagi, dan lagi.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/3