$ULTJ Kok Labanya Anjlok?
Pertanyaan salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kalau dibedah secara menyeluruh berdasarkan laporan keuangan ULTJ Q1 2025, maka bisa disimpulkan bahwa masalah terbesar perusahaan ini bukan cuma satu hal tunggal, tapi kombinasi dari tekanan margin, struktur biaya yang makin berat, manajemen modal kerja yang longgar, dan strategi promosi yang boros namun belum efektif. Kombinasi masalah ini menghasilkan efek domino: margin laba yang turun, arus kas operasi yang negatif, dan valuasi murah yang ternyata bukan berkah, melainkan sinyal bahwa pasar sudah menangkap risiko-risiko tersebut lebih dulu. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kita mulai dari sisi pendapatan. Penjualan ULTJ tercatat turun tipis sebesar 0,6% YoY menjadi Rp2,284 triliun di Q1 2025. Meskipun terlihat stagnan, namun penurunan ini mengindikasikan bahwa ULTJ tidak lagi punya daya dorong pertumbuhan yang kuat di pasar domestik. Volume penjualan susu UHT sebagai produk andalan sudah mulai tergerus oleh kompetitor private-label dari minimarket dan segmen sachet yang lebih murah. Sementara itu, ekspor juga tidak bisa diandalkan karena distribusi ke beberapa negara seperti Filipina dan Malaysia mengalami keterlambatan pengiriman. Tidak ada produk baru yang diluncurkan dalam skala signifikan, sehingga andalan utama tetap pada portofolio lama yang kini mulai kalah bersaing dalam harga maupun variasi.
Masalah semakin nyata ketika menengok struktur biaya. Beban penjualan ULTJ naik 30% menjadi Rp316 miliar, dan beban umum dan administrasi naik 33% jadi Rp82 miliar. Yang paling mencolok adalah iklan dan promosi yang melonjak 70% dari Rp104 miliar ke Rp176 miliar, dengan alasan kampanye besar “Ultra Milk 50 Tahun” dan berbagai insentif modern trade. Tapi yang bikin mengernyitkan dahi adalah kenyataan bahwa semua pengeluaran besar itu tidak menghasilkan pertumbuhan penjualan. Rasio A&P terhadap sales naik dari 4,5% ke 7,7%, yang artinya perusahaan menggelontorkan lebih banyak biaya untuk mempertahankan posisi—bukan untuk tumbuh. Ini bisa dibilang sinyal bahwa pasar mereka makin berat dan promosi semakin tidak efektif.
Tekanan selanjutnya datang dari sisi margin. Di Q1 2025, margin laba bersih turun dari 16% ke 14%, sementara margin usaha turun dari 21,6% ke 19,5%. Penyebab utamanya adalah beban pokok penjualan yang masih tinggi, meski secara angka turun tipis. Tapi di balik penurunan itu, struktur bahan bakunya tetap berisiko: 77% COGS berasal dari bahan impor seperti susu cair dan bahan kemasan aseptik yang sangat sensitif terhadap harga komoditas dan fluktuasi kurs. Harga whole milk powder global naik 18% YoY, dan rupiah melemah sekitar 6% terhadap dolar. Efek kombinasi ini langsung menekan margin karena sebagian besar pembelian dilakukan dalam USD, sedangkan penjualan tetap dalam rupiah. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Arus kas operasional juga terkena imbas. Di Q1 2024, ULTJ masih mampu mencatat CFO positif Rp492 miliar. Tapi di Q1 2025, berubah jadi minus Rp84 miliar. Penjelasannya ada di cash conversion cycle. DSO (Days Sales Outstanding) membengkak dari 32 ke 41 hari karena semakin lamanya penagihan dari retailer, sementara DPO (Days Payable Outstanding) menyusut dari 33 ke 25 hari akibat percepatan pembayaran ke pemasok—kemungkinan besar untuk mendapatkan diskon. Perubahan ini memperburuk CCC dari 83 ke 99 hari. Piutang naik Rp212 miliar, dan utang usaha justru turun Rp140 miliar. Ini berarti modal kerja tersedot keluar sebesar Rp352 miliar dalam tiga bulan pertama, menjelaskan kenapa arus kas bisa negatif walau labanya masih positif.
Masalah makin kompleks saat kita menyadari bahwa capex ULTJ juga cukup agresif. Belanja modal Q1 mencapai Rp81 miliar untuk pembelian mesin dan gedung, serta Rp88 miliar lagi untuk uang muka pembelian aset. Total aset dalam pembangunan (Construction in Progress) tercatat Rp782 miliar dan belum selesai. Proyek perluasan pabrik ini justru membuat tekanan terhadap kas makin besar. Kombinasi CFO negatif dan capex besar menghasilkan free cash flow yang juga negatif dua kuartal berturut-turut.
Dari sisi entitas asosiasi, kontribusi terhadap laba memang ada, tapi kecil. PT Kraft Ultrajaya Indonesia menyumbang sekitar Rp9,4 miliar laba bersih (30% kepemilikan), namun entitas lainnya seperti PT ITO EN Ultrajaya dan PT Menara Ultra justru masih rugi, dan PT Toll Indonesia sedang dalam proses likuidasi. Total share of profit dari asosiasi hanya Rp7,9 miliar, atau sekitar 1,7% dari laba sebelum pajak. Artinya, kontribusinya tidak cukup signifikan untuk mengangkat atau menjatuhkan laba. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sementara itu, transaksi pihak berelasi dalam CALK pun tidak menunjukkan anomali. Nilainya kecil, tidak ada tanda-tanda manipulasi harga transfer atau penggelembungan pendapatan. Bahkan tidak ada utang berbunga dari pihak berelasi yang signifikan, dan struktur pemegang saham maupun direksi relatif stabil.
Risiko paling besar ULTJ saat ini justru ada pada dua titik krusial: ketergantungan bahan impor dalam USD dan efektivitas promosi yang buruk. Perusahaan sangat rentan terhadap fluktuasi kurs dan harga susu dunia. Selain itu, strategi “bakar uang” lewat promosi belum terbukti bisa meningkatkan volume penjualan. Malah justru memperburuk margin. Di sisi lain, DSO yang makin panjang dan DPO yang makin pendek menandakan ketidakefisienan manajemen kas. Kombinasi tekanan margin, strategi marketing yang tidak efisien, dan struktur biaya yang membengkak membuat perusahaan seperti kehabisan bensin di tengah jalan.
Jadi, masalah terbesar ULTJ di 2025 bukan cuma karena "laba turun", tapi karena mereka terjebak di zona bahaya: margin makin tipis, biaya makin tinggi, kas mulai terkuras, dan promosi belum membuahkan hasil. Penjualan stagnan, pasar domestik makin padat, dan ekspansi belum terlihat hasilnya. Dengan valuasi PER 9,9× dan PBV 1,87×, pasar mungkin masih berharap. Tapi kalau strategi mereka tak berubah dan risiko-risiko ini tetap dibiarkan, diskon harga saham bukan lagi peluang, melainkan refleksi risiko yang nyata.
Meski laporan keuangan ULTJ Q1 2025 penuh tekanan dan bikin dahi berkerut, bukan berarti perusahaan ini nggak punya sisi positif. Justru di tengah semua tantangan—dari margin yang ketipisan, promosi yang boros, hingga kas yang mulai terkuras—masih ada beberapa fondasi kuat yang bikin ULTJ tetap bisa berdiri tegak dan nggak langsung tergelincir. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pertama, dari sisi neraca, ULTJ masih bisa dibilang salah satu perusahaan dengan struktur keuangan paling bersih di BEI. Total liabilitas mereka per Maret 2025 hanya Rp844 miliar, sementara ekuitas induk tembus Rp7,71 triliun. Artinya, debt-to-equity ratio-nya cuma 0,11x. Lebih dari itu, dari utang sebesar itu, hanya sekitar Rp36 miliar yang berbunga (dari sewa pembiayaan). Sisanya adalah utang usaha biasa dan kewajiban jangka pendek lainnya. Jadi bisa dibilang, ULTJ tidak punya beban bunga yang bisa menggoyang bottom line-nya. Dengan kas dan setara kas masih sebesar Rp2,18 triliun, perusahaan ini masih sangat likuid dan tidak tergantung pada pendanaan eksternal.
Hal positif lainnya datang dari brand equity. Di tengah serbuan private-label, ULTJ tetap mampu mempertahankan pendapatan hampir stabil di atas Rp2 triliun per kuartal. Artinya, meski persaingan makin brutal dan ada tekanan dari harga, konsumen masih percaya dan loyal terhadap Ultra Milk dan produk turunannya. Bahkan, kampanye besar-besaran “Ultra Milk 50 Tahun” meski boros, bisa dibilang sukses menjaga awareness—terbukti dari minimnya penurunan volume walau tidak ada produk baru. Ini memperlihatkan bahwa brand ini masih punya tempat di hati masyarakat Indonesia.
Selain itu, kontribusi dari entitas asosiasi juga layak diapresiasi, meski kecil. PT Kraft Ultrajaya Indonesia mencetak laba bersih Rp9,4 miliar yang ikut menyumbang positif ke laporan konsolidasi. Produk keju mereka, yang selama ini dianggap “pelengkap”, ternyata performanya stabil bahkan tumbuh, di saat produk utama stagnan. Hal ini membuka potensi diversifikasi produk yang lebih serius ke depan. Dan jangan lupa, perusahaan ini juga lagi dalam tahap ekspansi pabrik, yang bisa jadi modal penting buat meningkatkan efisiensi produksi dan volume jangka panjang. Nilai PPE dalam pembangunan sudah mencapai Rp782 miliar—memang menyedot kas, tapi sekaligus menunjukkan bahwa perusahaan tidak tinggal diam dan sedang mempersiapkan kapasitas masa depan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jadi, meski ULTJ sedang dihadapkan pada tantangan berat, perusahaan ini tidak sedang karam. Mereka masih punya posisi kas kuat, neraca sehat, brand yang dihargai pasar, dan aset produksi yang sedang berkembang. Masalah mereka memang nyata dan perlu dibenahi segera—terutama di sisi efektivitas promosi, efisiensi operasional, dan manajemen modal kerja. Tapi selama fondasi keuangan tetap sekuat sekarang, ULTJ masih punya banyak peluang untuk bangkit dan kembali mencetak pertumbuhan. Tinggal sekarang pertanyaannya: mau tetap bakar uang buat promosi tanpa arah, atau mulai fokus pada efisiensi dan monetisasi loyalitas pelanggan yang sudah ada?
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$CMRY
1/10